TintaSiyasi.id -- Setidaknya ada tiga pasal karet (multitafsir) yang membahayakan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran versi Bahan Rapat Baleg 27 Maret 2024 yang bila disahkan berpotensi digunakan untuk (1) mengkriminalisasi upaya pengungkapan keterlibatan orang berpengaruh dalam suatu peristiwa kejahatan; (2) mengkriminalisasi dakwah penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah; serta (3) membelenggu konten kreator di media sosial.
Bahaya Pertama
Pasal karet yang membahayakan pertama adalah pasal larangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi sebagaimana tertuang pada Pasal 50 B ayat 2 huruf c di bawah ini:
(2) Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: … c. tayangan eksklusif jurnalistik investigasi;
Seperti diketahui, tayangan jurnalistik itu secara umum memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi. Sedangkan jurnalistik investigasi lebih dari itu karena berfokus kepada upaya mengungkap fakta yang disembunyikan dari suatu peristiwa yang terindikasi mengandung kejanggalan.
Bila Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi, itu artinya, SIS RUU Penyiaran ini melarang media massa menugaskan jurnalisnya melakukan investigasi untuk mengungkap kebenaran yang disembunyikan dari suatu peristiwa yang terindikasi janggal sekaligus melarang menayangkannya.
Padahal, peristiwa dimaksud yang mengandung kejanggalan tersebut umumnya adalah suatu kasus korupsi, pembunuhan; narkoba; dan kasus-kasus lainnya yang melibatkan orang yang memiliki pengaruh jabatan dan atau kekayaan.
Dengan kata lain, pasal ini berpotensi digunakan untuk mencegah jurnalis mengungkap keterlibatan orang berpengaruh dalam suatu peristiwa kejahatan. Sedangkan mengungkap pelaku sebenarnya dalam suatu peristiwa kejahatan itu sangat penting setidaknya untuk:
- menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya dalam suatu peristiwa kepada publik sehingga publik pun memahami permasalahannya kemudian turut mengawal kasus ini agar dapat dituntaskan oleh aparat penegak hukum dengan seadil-adilnya; dan
- mempermudah kinerja penegak hukum dalam menuntaskan kasus tersebut karena tidak sedikit whistleblower (orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada) yang awalnya lebih nyaman bercerita kepada jurnalis untuk diberitakan media massa sebelum akhirnya mau menyampaikannya kepada aparat penegak hukum.
Bahaya Kedua
Pasal karet yang membahayakan kedua adalah pasal larangan tayangan yang mengandung radikalisme sebagaimana tertuang pada Pasal 50 B ayat 2 huruf k di bawah ini:
(2) Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: … k. penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Radikal (mengakar) ataupun radikalisme (paham radikal) merupakan istilah yang dibuat Amerika Serikat dengan istilah war on radicalism (perang melawan radikalisme) untuk menyasar kaum Muslim yang menyerukan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.
Hal itu dilakukan setelah sebelumnya AS menyerukan war on terrorism (perang melawan terorisme) yang menyasar kaum Muslim yang melakukan perlawanan secara fisik terhadap kejahatan global AS.
Perang melawan radikalisme dilakukan karena ada saja kelompok-kelompok dakwah Islam yang tidak bisa dikait-kaitkan dengan terorisme tetapi dinilai AS sangat membahayakan eksistensi kapitalisme. Maka, perang melawan radikalisme ini digaungkan sembari tetap menghidup-hidupkan perang melawan terorisme agar memberikan efek horor dan menyeramkan pula pada diksi radikalisme.
Rupanya pemerintah Indonesia mengikuti agenda AS tersebut dengan melakukan progaganda yang sama, bahkan dalam RUU Penyiaran ini kedua diksi tersebut disatukan menjadi radikalisme-terorisme.
Pada 2022, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis lima ciri-ciri penceramah radikal. Dua ciri pertama saklek menyasar dan menista ajaran Islam, tiga ciri lainnya ambigu.
Yang saklek menyasar dan menista ajaran Islam itu mulai dari ciri pertama sampai ciri kedua. Pertama, “mengajarkan anti-Pancasila dan pro khilafah”. Padahal, khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang hukumnya fardhu kifayah untuk ditegakkan. Tentu saja ini merupakan penghinaan terhadap khilafah ajaran Islam.
Biar tampak lebih seram lagi, orang yang mendakwahkan khilafah disebut anti-Pancasila, bahkan sekadar larangan salam lintas agama sebagaimana yang difatwakan MUI Pusat malah dinilai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) telah mengancam Pancasila.
Dari sini sudah jelas, BNPT dan BPIP mengonfirmasi bahwa Pancasila dan Islam itu bertentangan. Buktinya, BNPT menentang fardhu kifayah khilafah dengan menyandingkannya sebagai anti-Pancasila dan BPIP menentang keharaman salam lintas agama dengan menyatakan larangan salam lintas agama telah mengancam Pancaasila.
Maka tidak aneh, bila pada 2020 ketua dari badan yang paling otoritatif dalam pembinaan ‘ideologi’ Pancasila Prof. Dr. Yudian Wahyudi mengatakan, “Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Agama apa lagi yang dimaksud kalau bukan Islam?
Kedua, “mengajarkan paham takfiri atau mengkafirkan yang beda paham dan agama”. Padahal ajaran Islam dengan tegas dan jelas menyebutkan pemeluk agama selain Islam adalah kafir. Tapi BNPT memberi konotasi ajaran Islam tentang menyebut kafir kepada orang beragama selain itu sebagai konotasi negatif, jelas ini merupakan penistaan.
Sedangkan yang ambigu, mulai dari ciri ketiga sampai ciri kelima. Ketiga, “menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah”. Ciri ketiga ini sangat ambigu. Tapi yang jelas, Islam juga mewajibkan kaum Muslim melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi kepada penguasa) agar tetap dalam koridor Islam. Nah, jangan sampai saja ketika Muslim mengamalkan muhasabah lil hukkam ajaran Islam dianggap sebagai radikal karena dianggap sesuai ciri ketiga.
Keempat, “memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungannya”. Eksklusif seperti apa yang dimaksud. Karena, Islam juga menegaskan keeksklusifan akidah dan ibadah mahdah, tak boleh dicampur dengan kekufuran dan ibadah agama lain yang ada di lingkungan. Kalau ini dianggap sebagai ciri keempat radikal, tentu BNPT juga telah menista eksklusivitas akidah dan ibadah mahdhah ajaran Islam.
Kelima, “berpandangan antibudaya dan kearifan lokal keagamaan”. Antibudaya dan kearifan lokal keagamaan apa yang dimaksud? Pasalnya, Islam mengajarkan bahwa budaya dan kearifan lokal yang dilakukan kaum Muslim tidak boleh menyalahi syariat Islam, jadi kalau ada umat Islam menolak mengikuti budaya dan kearifan lokal yang bertentangan dengan Islam, jangan dinilai sebagai ciri kelima radikal. Kalau disebut radikal, fiks, memang BNPT menista Islam, karena itu ajaran Islam.
Jadi, pasal larangan tayangan yang mengandung radikalisme-terorisme berpotensi melarang dakwah penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah dengan dalih melarang radikalisme-terorisme. Padahal penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah merupakan fardhu kifayah sekaligus sebagai solusi total atas berbagai permasalahan kehidupan yang saat ini datang bertubi-tubi tanpa ada penyelesaian yang tuntas dan adil.
Bahaya Ketiga
Pasal karet yang membahayakan ketiga adalah pasal yang mewajibkan penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia sesuai dengan SIS sebagaimana tertuang pada Pasal 34 F ayat 2 huruf e di bawah ini:
(2) Kewajiban Penyelenggara Platform Digital Penyiaran dan/atau platform teknologi Penyiaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34C huruf b: … e. melakukan verifikasi Konten Siaran ke KPI sesuai dengan P3 dan SIS; …
Seperti diketahui, SIS dimaksud setidaknya melarang tayangan eksklusif jurnalistik investigasi dan melarang tayangan yang mengandung radikalisme.
Jadi, pasal ini berpotensi membelenggu (menyensor atau membatasi) konten kreator di media sosial (misal: youtuber, tiktoker) yang: (1) mengungkap keterlibatan orang berpengaruh dalam suatu peristiwa kejahatan dengan dalih melanggar tayangan eksklusif jurnalistik investigas; dan atau (2) mendakwahkan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah dengan dalih melanggar SIS yang melarang konten yang mengandung radikalisme.
Jangan Takut
Setidaknya karena tiga alasan tersebut maka RUU Penyiaran wajib ditolak dan jangan sampai disahkan menjadi UU. Namun bila tetap disahkan juga, maka kaum Muslim jangan menjadi lemah atau takut untuk terus mengungkap kebenaran maupun mendakwahkan kewajiban menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.
Karena, larangan dalam UU tersebut tidak menggugurkan kewajiban kaum Muslim untuk melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa zalim) dan mendakwahkan khilafah. Larangan tersebut justru harus membuat kaum Muslim semakin cerdas ‘bermain cantik’ dalam ruang digital mengaruskan opini Islam ideologis.
Penyiaran dalam Islam
Sudah seharusnya regulasi terkait penyiaran yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Islam. Ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah, maka khilafah membuat departemen penyiaran sekaligus regulasi yang mengatur tentang penyiaran.
Departemen penyiaran adalah departemen yang memiliki kewenangan untuk mengatur media massa berdasarkan syariah Islam yang meliputi kebijakan dalam negeri dan luar negeri.
Di dalam negeri, khilafah akan membangun masyarakat Islam yang kokoh dan kuat, melenyapkan unsur-unsur yang bisa menghancurkan sendi-sendi masyarakat Islam dan menonjolkan kebaikan dan keluhuran Islam.
Di luar negeri, ditujukan untuk menerangkan Islam, baik dalam keadaan damai maupun perang, dengan penerangan yang menampakkan keagungan dan keadilan Islam; kekuatan khilafah Islam, baik militer, ekonomi, serta peradabannya; serta menerangkan kerusakan sistem selain Islam, kezaliman dan kerusakannya, serta kelemahan negara-negara kafir, baik militer, ekonomi, dan peradabannya.
Tak hanya itu, khilafah juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan media massa, lalu lintas frekuensi dan gelombang, program siaran, pengaturan penyediaan jasa layanan internet (internet service provider) baik secara global maupun rinci.
Berkaitan dengan media massa konvensional (cetak dan elektronik), khilafah Islam menggariskan ketentuan sebagai berikut: Pertama, warga negara khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim tidak dilarang mendirikan penerbitan, stasiun radio maupun televisi. Hanya saja, asas, tujuan, dan kegiatannya tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
Kedua, pendirian media massa tersebut harus seizin dan sepengetahuan negara khilafah. Izin diberikan secara cuma-cuma, tanpa ditarik biaya sedikit pun. Tujuannya agar media-media tersebut berperan secara maksimal dalam memberikan informasi dan tayangan yang bermanfaat bagi rakyat, serta khususnya bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi-informasi secara khusus, seperti lembaga-lembaga negara khilafah Islam. Kemudahan dalam perizinan juga akan memudahkan tugas negara khilafah dalam konteks penyebaran dakwah Islam, edukasi umat, serta dakwah Islam ke luar negeri.
Ketiga, media massa yang didirikan oleh orang-orang kafir diawasi secara ketat agar tidak digunakan kecuali pada perkara-perkara yang memang disetujui oleh syariah Islam. Oleh karena itu, mereka dilarang mendirikan media-media tersebut untuk mendakwahkan atau mempropagandakan agama mereka; lebih-lebih lagi untuk menyerang, meragukan, dan mengkritik Islam. Khilafah bisa mencabut izinnya, dan menjatuhkan sanksi yang sangat keras kepada mereka, jika terbukti melakukan penyimpangan.
Keempat, setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, dilarang bekerja sama dengan warga negara daar al-kufr dalam pendirian media-media tersebut di dalam negara khilafah, kecuali mendapatkan izin secara khusus dari khalifah.
Kelima, khilafah Islam mendirikan penerbitan, stasiun radio dan stasiun televisi di pusat pemerintahan dan wilayah negeri khilafah yang dilengkapi dengan teknologi canggih dan mutakhir. Penggunaan satelit yang diorbitkan di angkasa luar merupakan bagian integral dan penting untuk mendukung teknologi informasi di negeri khilafah Islam. Program-program siaran tertentu, bisa saja diwajibkan untuk direlai seluruh stasiun televisi, dengan tetap memberikan keleluasaan bagi televisi-televisi daerah dan swasta untuk membuat program-program siaran yang bermutu tinggi.
Itulah gambaran umum kebijakan khilafah terkait penyiaran. Artinya, undang-undang penyiaran yang dibuat kelak, tidak boleh bertentangan dengan gambaran umum di atas. Adapun terkait masalah jurnalistik investigasi, media massa maupun konten kreator media sosial diperbolehkan melakukannya selama tidak melanggar gambaran umum di atas. Karena, jurnalistik investigasi merupakan salah satu uslub dari aktivitas muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Sedangkan muhasabah lil hukkam merupakan kewajiban yang agung dalam Islam.
Inilah salah satu kebijakan media massa khilafah Islam. Dengan kebijakan-kebijakan di atas, media massa menjadi sarana membentuk dan memperkuat masyarakat islami, serta menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Kebijakan di atas tentu saja bertentangan dengan kebijakan media massa dalam sistem kapitalis-sekuler yang tegak di atas kapitalisme-sekularisme. []
Oleh: Siti Aisyah, Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok dan Joko Prasetyo, Jurnalis
Referensi: dari berbagai sumber