Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Harga Beras Melangit, Hidup Rakyat Makin Sulit

Selasa, 18 Juni 2024 | 10:06 WIB Last Updated 2024-06-18T03:06:31Z

TintaSiyasi.id -- Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menerbitkan Peraturan Bapanas (Perbadan) tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium. Dengan terbitnya aturan ini, kenaikan harga beras yang ditetapkan melalui relaksasi HET sebelumnya, jadi berlaku permanen. 

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa penyesuaian HET beras tidak terpisahkan dari upaya stabilisasi pasokan dan harga beras, di mana kebijakan di hulu (tingkat petani) juga selaras dengan di hilir (tingkat konsumen). "Jadi, selaras dengan kepentingan di hulu, dimana kita juga mengeluarkan Perbadan terkait Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras, maka di hilir perlu juga melakukan penyesuaian. Karena harga di tingkat produsen (petani) juga akan seirama dengan harga di tingkat konsumen," ungkap Arief.

Di tengah penetapan kenaikan HET ini, pemerintah masih mengandalkan impor untuk memenuhi stok pangan dalam negeri. Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy, melaporkan kuota impor beras sepanjang 2024 dalam sistem nasional neraca komunitas atau SinasNK sebanyak 4,04 juta ton yang terdiri dari beras umum dan khusus. (www.tirto.id, 7/6/2024) 

Beras merupakan bahan pangan yang sangat dibutuhkan manusia khususnya di negeri ini, namun naiknya harga beras terus terjadi. Hal ini tentu semakin menambah beban ekonomi rakyat, mengingat hampir 30 juta warga negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan. Jika masyarakat hidup kelaparan, akan berefek pada rendahnya kualitas SDM. Rendahnya kualitas SDM, hanya mendekatkan bangsa ini dengan penguasaan bangsa-bangsa lain atau dengan kata lain mengancam kedaulatan negeri ini. Lebih dari itu, kemiskinan yang berujung kelaparan berpotensi menambah angka kriminalitas, sebab beras berkaitan dengan kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda pemenuhannya. 

Penetapan kenaikan HET telah menggambarkan restu pemerintah terhadap harga beras yang mahal, sementara alasan penyelarasan harga beras di hulu dan hilir, menunjukkan negara tidak mau memikirkan masalah rakyat dan menyelesaikan dari akarnya. Bahkan, negara gampang saja mematok harga beras di tengah beratnya beban ekonomi rakyat banyak. 

Hal ini sejatinya lumrah terjadi dalam kehidupan yang diatur oleh sistem Kapitalisme. Sistem pengelolaan kehidupan Kapitalisme telah meminggirkan peran negara dalam mengurus rakyat, tetapi di pihak lain memperbesar peran swasta. Hal ini menjadikan kelompok-kelompok swasta dan korporasi saling bersaing mengambil keuntungan dari pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Memang benar bahwa petani masih mendapat peluang untuk bertani, namun ketersediaan sarana produksi pertanian (saprotan) kini dikuasai oleh korporasi. Alhasil, biaya produksi petani sangat bergantung pada harga saprotan, termasuk pupuk dan bibit kepada pihak swasta. Harga gabah dan beras juga tidak boleh ditentukan oleh petani, bahkan petani tidak boleh menjual hasil panennya langsung ke konsumen. 

Di atas prinsip ini pihak swastalah yang diberi wewenang oleh negara untuk menyalurkan hasil panen tersebut. Di sinilah muncul para mafia pangan mulai dari penimbun, spekulan, hingga kartel pangan yang hingga kini tidak mampu diberantas oleh negara. Akibatnya, harga beras bukan lagi diatur dengan mekanisme supply dan demand, tetapi harga seenaknya dikendalikan spekulan dan kartel. Hal ini diperparah dengan hadirnya negara sebagai pelayan korporasi. Ketika harga beras naik dan sulit turun, negara menjawab dengan kenaikan HET.

Berbeda dengan sistem Islam yang memiliki konsep jelas dalam pengelolaan pangan, yaitu visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan. Dalam hal visi, Islam memandang pangan adalah salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara. Dalam Islam, negara bertugas sebagai pelayan urusan rakyat, sebagaimana hadits Rasulullah SAW: 

"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari) 

Sebagai wujud tanggung jawab mengurusi rakyat, Khilafah hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan, mulai dari aspek hulu sampai ke hilir. Pada aspek produksi, negara akan mendorong peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian, yaitu melalui ekstensifikasi pertanian seperti menghidupkan tanah mati (iqtha'), yakni pemberian tanah pertanian oleh negara. Negara juga mendorong kebijakan intensifikasi pertanian, yakni optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian, bisa melalui peningkatan kualitas benih, pemanfaatan teknologi, hingga membekali para petani dengan ilmu yang mumpuni. Semua aspek itu akan mendapat dukungan dan fasilitas dari negara. 

Pada aspek distribusi dan stabilitas harga, secara prinsip, distribusi dan pembentukan harga dalam pandangan Islam, mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami, tanpa adanya intervensi negara. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan jika terjadi kondisi yang tidak normal. Pada kondisi harga tidak normal, Khilafah akan mengambil dua kebijakan utama, yaitu:

Pertama, menghilangkan penyebab distorsi pasar, seperti penimbunan, kartel dan sebagainya. 

Kedua, dengan menjaga keseimbangan supply dan demand. Distribusi yang dikawal negara ini akan menciptakan pasar yang sehat. 

Demikianlah, Islam memberikan seperangkat sistem yang komprehensif dalam menstabilkan harga pangan, hingga bisa dijangkau oleh seluruh rakyat. Namun, sistem Islam ini hanya akan terwujud dalam institusi Khilafah Islam.  

Wallahu a'lam bishshawab. []


Sumariya
Aktivis Lisma Bali

Opini

×
Berita Terbaru Update