Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

WWF dan Pengelolaan Air untuk Kepentingan Siapa?

Kamis, 30 Mei 2024 | 06:51 WIB Last Updated 2024-05-29T23:52:04Z

TintaSiyasi.id -- Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Basuki HadiMuljono, menutup World Water Forum ke-10 Jumat (24/5/2024) di Bali International Convention Center (BICC) Nusa Dua, Bali. Seluruh agenda yang diusulkan Indonesia dikatakannya berhasil tercapai. Ia mengatakan berbagai komitmen yang dihasilkan harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata dan rasa memiliki yang kuat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah World Water Forum, Deklarasi Menteri memasukan Ringkasan Hasil-Hasil dan Tindakan yang mencakup 113 proyek air dan sanitasi. Proyek tersebut bernilai US$ 9,4 miliar, dengan 33 negara dan 53 organisasi internasional sebagai pendukung, donor, serta penerima manfaat air dan sanitasi. "Compendium yang diluncurkan pada tingkat menteri harus diwujudkan agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat," kata Menteri Ketua Harian World Water Forum ke-10. (balipost.com, 26/5/2024)

Air memang kebutuhan vital manusia. Dari aspek infrastruktur, ketersediaan infrastruktur air di Indonesia memang sangat rendah, demikian pula upaya menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat melalui pengawasan terhadap faktor lingkungan atau sanitasi juga masih sangat minim. Salah satu buktinya adalah dengan banyaknya sampah yang tidak diolah dengan baik hingga menimbulkan pencemaran lingkungan.  

Krisis air bersih di negeri ini, sejatinya bukan karena tidak tersedianya sumber-sumber air oleh masyarakat, sebab negeri ini sangat kaya akan sumber air. Diduga kuat, masih sulitnya rakyat mengakses air adalah akibat tata kelola air yang salah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. 

Pemerintah hari ini secara sadar menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ini telah menjadikan negara tidak memiliki sumber pendanaan dalam mengelola air, sebab sumber pemasukan yang besar dari pengelolaan SDA melimpah telah diserahkan kepada asing. Alhasil, negara mengakui tidak memiliki dana infrastruktur air untuk memenuhi ketersediaan air bagi seluruh rakyatnya. Inilah gambaran negara yang lepas tanggung jawab dari pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. 

Di sisi lain, negara membiarkan berbagai kerusakan-kerusakan sumber air terjadi melalui kebijakan ekonominya, seperti pembukaan hutan dan pembangunan tambang-tambang mineral oleh pihak swasta yang eksploitatif, hingga mencemari sumber air rakyat. Tak heran, jika negara menggandeng pihak swasta untuk memenuhi infrastruktur ketersediaan air. Hal tersebut juga terjadi pada sanitasi negeri ini, kebijakan negara terkait hal ini terkesan setengah hati. Biaya yang disediakan sangat kecil dan metode pengolahan limbah yang dipilih selalu yang paling sederhana. Tak heran, kondisi lingkungan hidup masyarakat jauh dari kata bersih dan sehat. Meski ada proyek untuk rumah tangga, seperti penyediaan air minum dan pengelolaan air limbah, namun jika telah diserahkan kepada swasta sejatinya tidak menyelesaikan persoalan. 

Pihak swasta sebagai investor, menganggap proyek penyediaan air maupun sanitasi sebagai ladang bisnis, sehingga mereka ingin mendapatkan keuntungan besar. Hal ini berimplikasi pada sulitnya rakyat sebagai konsumen menjangkau air yang tersedia. Kehidupan rakyat tentu akan semakin terhimpit, sebab rakyat harus membayar berbagai fasilitas yang bersumber dari air tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan-kesepakatan dalam forum WWF sejatinya hanya memperkuat kapitalisasi air di negeri ini yang merupakan buah penerapan sistem kapitalis. 

Sungguh, persoalan krisis air di negeri ini bahkan dunia hanya akan selesai di bawah penerapan sistem Islam yang akan membawa keberkahan dalam kehidupan manusia. Air adalah kebutuhan asasi setiap individu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan, minum membersihkan segala sesuatu seperti MCK (Mandi Cuci Kakus), termasuk thaharah (bersuci) dan sebagainya. Alhasil, ketersediaan air sangat berpengaruh pada kesehatan dan kualitas hidup manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan asas ini akan membawa mudharat atau keburukan besar bagi keberlangsungan hidup manusia, seperti kelaparan, penyakit hingga kematian. Setiap individu masyarakat, apapun latar belakangnya semestinya berhak mengakses air untuk kebutuhan hidupnya. Bahkan air bersih harusnya bisa diakses secara gratis, sebab mulai dari kebutuhan yang bersifat domestik, pertanian atau perkebunan, usaha, rumah sakit, instansi pemerintah pasti membutuhkan air.

Islam memandang air sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang (seperti pihak swasta), sebab penguasanya atas segelintir orang mengakibatkan terhambatnya masyarakat untuk mengakses air. Air termasuk harta milik umum yang bisa dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung dengan memanfaatkan mata air sungai, danau, hingga sumur. Seseorang juga boleh memasang alat pengatur air di sungai yang besar untuk kemudian dialirkan ke sawah-sawah atau kebun miliknya. Jika negara membangun infrastruktur air dan mengalirkannya ke rumah-rumah masyarakat, maka negara tidak boleh mengambil keuntungan darinya, sebab air adalah milik rakyat, pembangunan itu adalah bagian dari pelayanan negara untuk rakyat yang pendanaannya diambil dari kas Baitul Maal. Kalaupun negara meminta rakyat membayar hingga mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut harus dikembalikan seluruhnya kepada rakyat dalam berbagai bentuk, seperti pelayanan pendidikan, kesehatan dan lain-lain. 

Negara juga akan melakukan konservasi alam atau menjaga fungsi hutan sebagai penyangga, kemudian mengatur sanitasi dengan metode terbaik. Negara juga akan memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi, memberdayakan para pakar, seperti pakar ekologi, hidrologi, teknik kimia dan industri, ahli kesehatan lingkungan untuk menghasilkan produk air terbaik. 

Sungguh problem air d negeri ini, hanya akan terurai melalui penerapan Islam kaffah di bawah institusi Khilafah Islamiyah. Wallahu a'lam bishshawab. []


Sumariya
Aktivis Lisma Bali

Opini

×
Berita Terbaru Update