Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Perang Sudan Bukanlah Konflik Agama tetapi Perebutan Kekuasaan

Senin, 17 November 2025 | 14:25 WIB Last Updated 2025-11-17T07:30:14Z

TintaSiyasi.id -- Melalui Intellectual Opinion No. 025, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) merilis pandangannya bertajuk Membaca Konflik Sudan bahwa perang Sudan bukanlah konflik agama atau mazhab, tetapi perang saat ini adalah perebutan kekuasaan, ekonomi, dan kontrol teritorial, dengan emas, perdagangan lintas-batas, dan pelabuhan Laut Merah sebagai taruhannya.

 

“Perang Sudan bukanlah konflik agama atau mazhab, tetapi perang saat ini adalah perebutan kekuasaan, ekonomi, dan kontrol teritorial, dengan emas, perdagangan lintas-batas, dan pelabuhan Laut Merah sebagai taruhannya,” rilis HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Jumat (07/11/2025).

 

“Namun karena hampir seluruh pelakunya Muslim dan wilayahnya termasuk jantung dunia Islam di Afrika, krisis ini tetap menjadi cermin bagi kita—tentang bagaimana kekuasaan tanpa akuntabilitas dapat menghancurkan peradaban Islam sendiri,” imbuh HILMI.

 

Membaca Konflik Sudan

 

HILMI menjelaskan, Sudan adalah negeri besar di jantung Afrika Timur Laut, membentang dari gurun Sahara hingga tepi Laut Merah. Luasnya sekitar 1,89 juta kilometer persegi, menjadikannya salah satu negara terbesar di Afrika— lebih luas dari Indonesia, meskipun penduduknya hanya sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 90 persen adalah Muslim, sementara sisanya berasal dari komunitas Kristen dan animis, terutama di selatan dan beberapa daerah pegunungan.

 

“Sudan tergolong negara berpenghasilan rendah dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) sekitar 0,51, berada di peringkat bawah dalam skala global. Penduduknya masih bergantung pada pertanian, peternakan, dan perdagangan bahan mentah. Namun kondisi geografis yang ekstrem menjadikan negeri ini tidak mudah diatur secara seragam,” sebut HILMI.

 

HILMI mengatakan, sekitar setengah wilayah Sudan adalah gurun atau semi-gurun, terdiri dari pasir, batu, dan tanah tandus. “Hanya sekitar 11 persen lahannya yang bisa digarap untuk pertanian tanaman pangan, sementara hampir separuh wilayah lainnya berupa padang rumput (pasture)—sabana dan dataran luas tempat gembala berpindah bersama ternaknya,” beber HILMI.

 

“Hutan hanya meliputi sekitar 10–15 persen, tersebar di bagian selatan dan timur. Permukiman manusia hanyalah bintik kecil di lautan tanah luas yang kering dan panas, terutama di sekitar sungai Nil dan kota-kota besar seperti Khartoum, Omdurman, dan Port Sudan,” ulas HILMI.

 

Krisis Terbaru

 

HILMI mengatakan jika konflik Sudan yang meletus pada April 2023 adalah hasil langsung dari kegagalan mengintegrasikan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) ke dalam Sudanese Armed Forces (SAF).

 

“RSF dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), dan berasal dari milisi Janjaweed di Darfur, sementara SAF dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Meskipun sempat bersekutu, ambisi pribadi, perbedaan etnis, dan perebutan sumber daya memicu perang terbuka,” ungkap HILMI.

 

“Pembagian wilayah saat ini, Sudan terbagi dua secara praktis: SAF menguasai wilayah utara dan timur (termasuk Port Sudan), sementara RSF menguasai hampir seluruh Darfur dan sebagian Khartoum barat,” tulis HILMI.

 

Pada awal November 2025, HILMI menyebut jika RSF berhasil menguasai El-Fasher, ibukota Darfur Utara, setelah pengepungan selama sekitar 18 bulan. PBB menyebut situasi ini sebagai “krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini”,” papar HILMI.

 

“Milisi RSF dilaporkan melakukan berbagai kekejian, termasuk penjarahan, pembunuhan, dan kekerasan seksual. Akibat teror ini, 65.000 orang telah meninggalkan El-Fasher,” ungkap HILMI.

 

Dimensi Konflik Proksi Regional

 

“Konflik Sudan adalah perang proksi regional. RSF diduga menerima dukungan logistik dan finansial dari Uni Emirat Arab (UEA) melalui perdagangan emas dan jalur Chad–Afrika Tengah, meskipun UEA membantah tuduhan ini. Pemerintah Sudan bahkan menggugat UEA ke Mahkamah Internasional (ICG) pada tahun 2025,” ulas HILMI.

 

Tetapi HILMI menyebut, SAF diyakini menerima bantuan persenjataan dari Iran (termasuk drone Mohajer-6) serta dukungan diplomatik dari Mesir dan Turki. “Rusia juga terlibat, memiliki kepentingan pelabuhan di Laut Merah dan keterlibatan perusahaan keamanan seperti Wagner dalam perdagangan emas,” urai HILMI.

 

Kepentingan Amerika Serikat dan Agenda Pemecahan

 

HILMI mengatakan, Amerika Serikat (AS) bersikap seolah-olah netral karena pihak yang berkonflik ditopang oleh sekutunya di Timur Tengah (seperti Arab Saudi, Mesir, dan UEA).

 

“Padahal kepentingan utama AS adalah memastikan keamanan Laut Merah untuk jalur perdagangan dan mencegah Sudan menjadi lahan bebas penyelundupan senjata ke Palestina,” sebut HILMI.

 

Terdapat analisis yang menduga bahwa AS berada di balik rekayasa gencatan senjata baru-baru ini. “Melalui "Kelompok Empat" (AS, Arab Saudi, Mesir, UEA), AS diduga mengatur proses penyerahan El-Fasher kepada RSF,” kata HILMI.

 

“Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan RSF atas Darfur, yang dipandang sebagai persiapan untuk pembagian baru Sudan menjadi dua entitas (Darfur di bawah RSF dan Sudan Timur-Tengah di bawah SAF) demi kendali geopolitik strategis AS di kawasan Laut Merah dan Afrika Timur,” tandas HILMI.

 

Tanggung Jawab Transnasional

 

“Bagi negeri-negeri Muslim hari ini, Sudan seharusnya menjadi panggilan tanggung jawab. Pertama, kemanusiaan. Dunia Islam tidak boleh terjebak pada nasionalisme sehingga hanya diam melihat rakyat Sudan kelaparan, terjebak dalam pengepungan, dan kehilangan akses pada layanan dasar. Diperlukan koridor kemanusiaan permanen, dilindungi oleh perjanjian multilateral dan didukung pengawasan teknologi agar tidak mudah disabotase oleh pihak bertikai,” jelas HILMI.

 

Kedua, akuntabilitas finansial. “Negara-negara Muslim, terutama di Teluk, perlu meninjau rantai pasok perdagangan emas dan logistik yang berpotensi menjadi sumber pembiayaan perang. Menghentikan aliran dana kotor ke kelompok bersenjata sama artinya dengan menyelamatkan ribuan nyawa sipil,” saran HILMI.


Ketiga, diplomasi cerdas, tak hanya seruan moral. “Dunia Islam bisa membentuk “Task Force” lintas OIC, Uni Afrika, dan negara-negara tetangga, untuk memediasi dua lapis: antara pusat (SAF–RSF) dan antara kelompok lokal di Darfur serta Kordofan. Mediasi lokal sering lebih efektif karena berbasis pada jaringan etnis dan ekonomi nyata,” imbuh HILMI.

 

“Perlu membangun kembali kepercayaan pada ajaran-ajaran Islam dalam politik: amanah, ilmu, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Sudan pernah berusaha membangun “negara Islam” di atas fondasi militerisme dan kekuasaan, dan hari ini ia menuai buah pahitnya. Maka pelajaran terbesar dari Sudan bukanlah tentang siapa menang atau kalah, melainkan tentang bagaimana kekuasaan yang menanggalkan aqidah, ukhuwah, ilmu, syura’ dan ahlaq akhirnya menghancurkan rumahnya sendiri,” ulas HILMI.

 

“Jika negeri-negeri Muslim ingin membantu Sudan, maka bantuan itu tidak boleh berhenti pada logistik atau diplomasi; ia harus juga menghidupkan kembali cita-cita yang hilang—bahwa Islam bukan sekadar sistem hukum atau simbol politik, tapi amanah memakmurkan bumi (khalifatul fil ardh) dengan penerapan syari’ah kaffah (khilafah) agar menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamien),” lugas HILMI.

 

Sejarah

 

HILMI menjelaskan, dari sisi sejarah, Sudan memiliki posisi penting dalam lintasan peradaban Islam di Afrika. Sejak abad pertengahan, wilayah Nubia dan Sennar menjadi simpul perdagangan antara Mesir, Hijaz, dan Afrika Tengah, sekaligus pintu dakwah Islam yang berkembang pesat. Dalam masa kekuasaan Daulah Islam, Sudan berperan sebagai salah satu provinsi yang makmur di bawah kekhalifahan yang berganti dari Damaskus, Baghdad hingga Istanbul.

 

“Namun ketika kolonialisme datang, Sudan menjadi bagian dari kekuasaan Anglo–Mesir (1899– 1955), suatu bentuk kolonialisme ganda yang menempatkan Mesir sebagai mitra nominal tetapi Inggris sebagai pengendali sejati. Setelah kemerdekaannya pada 1956, Sudan menghadapi dilema: apakah hendak menjadi negara Islam, Arab, atau Afrika? Ketegangan identitas ini segera berubah menjadi perang saudara antara utara yang didominasi Muslim dan selatan yang lebih beragam etnis dan agama,” jelas HILMI.

 

“Pada 1989, seorang perwira muda bernama Omar al-Bashir merebut kekuasaan melalui kudeta, dan memerintah selama tiga dekade. Di bawahnya, Sudan mengalami islamisasi politik yang kuat, dengan dukungan ideologis dari Ikhwanul Muslimin versi Sudan, yang dikenal sebagai National Islamic Front. Bashir berusaha menjadikan Sudan sebagai laboratorium politik Islam di Afrika, menerapkan hukum syariah, dan mengintegrasikan elemen dakwah ke dalam sistem negara. Namun di balik itu, muncul jaringan ekonomi rente yang menguntungkan elit militer dan kelompok terdekatnya,” beber HILMI.

 

HILMI mengungkap, kebijakan keras terhadap pemberontakan di Darfur, Selatan, dan daerah pinggiran menimbulkan luka mendalam.

 

“Setelah perang panjang, Sudan Selatan akhirnya memisahkan diri pada 2011, dan membawa serta sebagian besar ladang minyak. Hilangnya sumber pendapatan utama itu membuat ekonomi Sudan terpuruk,” jelas HILMI.

 

“Sementara itu, di dalam negeri, struktur militer dan paramiliter yang dibentuk Bashir untuk mempertahankan kekuasaan justru menjadi bom waktu: pasukan reguler (SAF) dan pasukan cepat (RSF) tumbuh menjadi dua kekuatan bersenjata besar dengan kepentingan ekonomi dan etnis yang berbeda. Pada usianya yang ke-75 Bashir akhirnya dikudeta oleh militernya sendiri, buntut ketidakpuasan rakyat pada situasi ekonomi yang memburuk pasca pemisahan Sudan Selatan,” lanjut HILMI menerangkan.

 

Sumber daya alam Sudan, disebut HILMI adalah produsen minyak terbesar ke-4 di Afrika, sebelum Pemisahan Sudan Selatan (sebelum 2011). “Setelah Pemisahan Sudan Selatan (2011–2022) Kemerdekaan Sudan Selatan menyebabkan hilangnya ± 75 % ladang minyak dari kendali Khartoum,” ulas HILMI.

 

“Produksi anjlok menjadi 20.000–40.000 bph, pendapatan minyak turun di bawah US$ 1 miliar per tahun. Untuk menutup defisit, pemerintah Sudan beralih ke emas. Produksi emas melonjak dari menjadi sekitar 90 ton (2017), menjadikan Sudan produsen emas terbesar ke-3 di Afrika (setelah Ghana dan Afrika Selatan). Namun, 50–80 % ekspor emas diselundupkan, terutama ke UEA melalui Darfur dan Chad, di mana hasilnya dikuasai oleh jaringan RSF. Nilai ekspor emas resmi antara 2017–2020 berkisar US$ 2–3 miliar per tahun, tetapi potensi sebenarnya mencapai US$ 6–8 miliar bila penyelundupan dihitung,” ungkap HILMI.

 

“Setelah Perang SAF–RSF Konflik menyebabkan produksi minyak stagnan, bahkan beberapa terhenti total. Sementara itu, RSF menguasai wilayah Darfur dan Kordofan, yang mengandung sebagian besar emas. Produksi emas resmi Sudan 2024 mencapai 64 ton (≈ US$ 3,8 miliar), namun separuhnya tidak tercatat. Setelah gencatan senjata tiga bulan yang ditengahi AS (September 2025), kontrol ekonomi de facto terbagi dua: RSF menguasai sumber emas di barat (Darfur–Kordofan), sedangkan SAF mengontrol ekspor minyak minor dan pelabuhan Laut Merah (Port Sudan),” pungkas HILMI.[] Rere


 

Opini

×
Berita Terbaru Update