TintaSiyasi.id -- Melalui Intellectual Opinion No. 025, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) merilis pandangannya bertajuk Membaca Konflik Sudan bahwa perang Sudan bukanlah konflik agama atau mazhab, tetapi perang saat ini adalah perebutan kekuasaan, ekonomi, dan kontrol teritorial, dengan emas, perdagangan lintas-batas, dan pelabuhan Laut Merah sebagai taruhannya.
“Perang Sudan bukanlah konflik agama
atau mazhab, tetapi perang saat ini adalah perebutan kekuasaan, ekonomi, dan
kontrol teritorial, dengan emas, perdagangan lintas-batas, dan pelabuhan Laut
Merah sebagai taruhannya,” rilis HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Jumat
(07/11/2025).
“Namun karena hampir seluruh
pelakunya Muslim dan wilayahnya termasuk jantung dunia Islam di Afrika, krisis
ini tetap menjadi cermin bagi kita—tentang bagaimana kekuasaan tanpa
akuntabilitas dapat menghancurkan peradaban Islam sendiri,” imbuh HILMI.
Membaca Konflik Sudan
HILMI menjelaskan, Sudan adalah
negeri besar di jantung Afrika Timur Laut, membentang dari gurun Sahara hingga
tepi Laut Merah. Luasnya sekitar 1,89 juta kilometer persegi, menjadikannya
salah satu negara terbesar di Afrika— lebih luas dari Indonesia, meskipun
penduduknya hanya sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 90 persen
adalah Muslim, sementara sisanya berasal dari komunitas Kristen dan animis,
terutama di selatan dan beberapa daerah pegunungan.
“Sudan tergolong negara
berpenghasilan rendah dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) sekitar 0,51,
berada di peringkat bawah dalam skala global. Penduduknya masih bergantung pada
pertanian, peternakan, dan perdagangan bahan mentah. Namun kondisi geografis
yang ekstrem menjadikan negeri ini tidak mudah diatur secara seragam,” sebut HILMI.
HILMI mengatakan, sekitar setengah
wilayah Sudan adalah gurun atau semi-gurun, terdiri dari pasir, batu, dan tanah
tandus. “Hanya sekitar 11 persen lahannya yang bisa digarap untuk pertanian
tanaman pangan, sementara hampir separuh wilayah lainnya berupa padang rumput
(pasture)—sabana dan dataran luas tempat gembala berpindah bersama ternaknya,”
beber HILMI.
“Hutan hanya meliputi sekitar 10–15
persen, tersebar di bagian selatan dan timur. Permukiman manusia hanyalah
bintik kecil di lautan tanah luas yang kering dan panas, terutama di sekitar
sungai Nil dan kota-kota besar seperti Khartoum, Omdurman, dan Port Sudan,”
ulas HILMI.
Krisis Terbaru
HILMI mengatakan jika konflik Sudan
yang meletus pada April 2023 adalah hasil langsung dari kegagalan
mengintegrasikan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) ke dalam
Sudanese Armed Forces (SAF).
“RSF dipimpin oleh Mohamed Hamdan
Dagalo (Hemedti), dan berasal dari milisi Janjaweed di Darfur, sementara SAF
dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Meskipun sempat bersekutu,
ambisi pribadi, perbedaan etnis, dan perebutan sumber daya memicu perang
terbuka,” ungkap HILMI.
“Pembagian wilayah saat ini, Sudan
terbagi dua secara praktis: SAF menguasai wilayah utara dan timur (termasuk
Port Sudan), sementara RSF menguasai hampir seluruh Darfur dan sebagian
Khartoum barat,” tulis HILMI.
Pada awal November 2025, HILMI
menyebut jika RSF berhasil menguasai El-Fasher, ibukota Darfur Utara, setelah
pengepungan selama sekitar 18 bulan. PBB menyebut situasi ini sebagai “krisis
kemanusiaan terburuk di dunia saat ini”,” papar HILMI.
“Milisi RSF dilaporkan melakukan
berbagai kekejian, termasuk penjarahan, pembunuhan, dan kekerasan seksual.
Akibat teror ini, 65.000 orang telah meninggalkan El-Fasher,” ungkap HILMI.
Dimensi Konflik Proksi Regional
“Konflik Sudan adalah perang proksi
regional. RSF diduga menerima dukungan logistik dan finansial dari Uni Emirat
Arab (UEA) melalui perdagangan emas dan jalur Chad–Afrika Tengah, meskipun UEA
membantah tuduhan ini. Pemerintah Sudan bahkan menggugat UEA ke Mahkamah
Internasional (ICG) pada tahun 2025,” ulas HILMI.
Tetapi HILMI menyebut, SAF diyakini
menerima bantuan persenjataan dari Iran (termasuk drone Mohajer-6) serta
dukungan diplomatik dari Mesir dan Turki. “Rusia juga terlibat, memiliki
kepentingan pelabuhan di Laut Merah dan keterlibatan perusahaan keamanan
seperti Wagner dalam perdagangan emas,” urai HILMI.
Kepentingan Amerika Serikat dan
Agenda Pemecahan
HILMI mengatakan, Amerika Serikat
(AS) bersikap seolah-olah netral karena pihak yang berkonflik ditopang oleh
sekutunya di Timur Tengah (seperti Arab Saudi, Mesir, dan UEA).
“Padahal kepentingan utama AS adalah
memastikan keamanan Laut Merah untuk jalur perdagangan dan mencegah Sudan
menjadi lahan bebas penyelundupan senjata ke Palestina,” sebut HILMI.
Terdapat analisis yang menduga bahwa
AS berada di balik rekayasa gencatan senjata baru-baru ini. “Melalui
"Kelompok Empat" (AS, Arab Saudi, Mesir, UEA), AS diduga mengatur
proses penyerahan El-Fasher kepada RSF,” kata HILMI.
“Langkah ini dinilai sebagai upaya
untuk melegitimasi kekuasaan RSF atas Darfur, yang dipandang sebagai persiapan
untuk pembagian baru Sudan menjadi dua entitas (Darfur di bawah RSF dan Sudan
Timur-Tengah di bawah SAF) demi kendali geopolitik strategis AS di kawasan Laut
Merah dan Afrika Timur,” tandas HILMI.
Tanggung Jawab Transnasional
“Bagi negeri-negeri Muslim hari ini,
Sudan seharusnya menjadi panggilan tanggung jawab. Pertama, kemanusiaan.
Dunia Islam tidak boleh terjebak pada nasionalisme sehingga hanya diam melihat
rakyat Sudan kelaparan, terjebak dalam pengepungan, dan kehilangan akses pada
layanan dasar. Diperlukan koridor kemanusiaan permanen, dilindungi oleh
perjanjian multilateral dan didukung pengawasan teknologi agar tidak mudah
disabotase oleh pihak bertikai,” jelas HILMI.
Kedua, akuntabilitas
finansial. “Negara-negara Muslim, terutama di Teluk, perlu meninjau rantai
pasok perdagangan emas dan logistik yang berpotensi menjadi sumber pembiayaan
perang. Menghentikan aliran dana kotor ke kelompok bersenjata sama artinya
dengan menyelamatkan ribuan nyawa sipil,” saran HILMI.
Ketiga, diplomasi
cerdas, tak hanya seruan moral. “Dunia Islam bisa membentuk “Task Force” lintas
OIC, Uni Afrika, dan negara-negara tetangga, untuk memediasi dua lapis: antara
pusat (SAF–RSF) dan antara kelompok lokal di Darfur serta Kordofan. Mediasi
lokal sering lebih efektif karena berbasis pada jaringan etnis dan ekonomi
nyata,” imbuh HILMI.
“Perlu membangun kembali kepercayaan
pada ajaran-ajaran Islam dalam politik: amanah, ilmu, keadilan, dan tanggung
jawab sosial. Sudan pernah berusaha membangun “negara Islam” di atas fondasi
militerisme dan kekuasaan, dan hari ini ia menuai buah pahitnya. Maka pelajaran
terbesar dari Sudan bukanlah tentang siapa menang atau kalah, melainkan tentang
bagaimana kekuasaan yang menanggalkan aqidah, ukhuwah, ilmu, syura’ dan ahlaq
akhirnya menghancurkan rumahnya sendiri,” ulas HILMI.
“Jika negeri-negeri Muslim ingin
membantu Sudan, maka bantuan itu tidak boleh berhenti pada logistik atau
diplomasi; ia harus juga menghidupkan kembali cita-cita yang hilang—bahwa Islam
bukan sekadar sistem hukum atau simbol politik, tapi amanah memakmurkan bumi
(khalifatul fil ardh) dengan penerapan syari’ah kaffah (khilafah) agar menjadi
rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamien),” lugas HILMI.
Sejarah
HILMI menjelaskan, dari sisi sejarah,
Sudan memiliki posisi penting dalam lintasan peradaban Islam di Afrika. Sejak
abad pertengahan, wilayah Nubia dan Sennar menjadi simpul perdagangan antara
Mesir, Hijaz, dan Afrika Tengah, sekaligus pintu dakwah Islam yang berkembang
pesat. Dalam masa kekuasaan Daulah Islam, Sudan berperan sebagai salah satu
provinsi yang makmur di bawah kekhalifahan yang berganti dari Damaskus, Baghdad
hingga Istanbul.
“Namun ketika kolonialisme datang,
Sudan menjadi bagian dari kekuasaan Anglo–Mesir (1899– 1955), suatu bentuk
kolonialisme ganda yang menempatkan Mesir sebagai mitra nominal tetapi Inggris
sebagai pengendali sejati. Setelah kemerdekaannya pada 1956, Sudan menghadapi
dilema: apakah hendak menjadi negara Islam, Arab, atau Afrika? Ketegangan
identitas ini segera berubah menjadi perang saudara antara utara yang
didominasi Muslim dan selatan yang lebih beragam etnis dan agama,” jelas HILMI.
“Pada 1989, seorang perwira muda
bernama Omar al-Bashir merebut kekuasaan melalui kudeta, dan memerintah selama
tiga dekade. Di bawahnya, Sudan mengalami islamisasi politik yang kuat, dengan
dukungan ideologis dari Ikhwanul Muslimin versi Sudan, yang dikenal sebagai
National Islamic Front. Bashir berusaha menjadikan Sudan sebagai laboratorium
politik Islam di Afrika, menerapkan hukum syariah, dan mengintegrasikan elemen
dakwah ke dalam sistem negara. Namun di balik itu, muncul jaringan ekonomi
rente yang menguntungkan elit militer dan kelompok terdekatnya,” beber HILMI.
HILMI mengungkap, kebijakan keras
terhadap pemberontakan di Darfur, Selatan, dan daerah pinggiran menimbulkan
luka mendalam.
“Setelah perang panjang, Sudan
Selatan akhirnya memisahkan diri pada 2011, dan membawa serta sebagian besar
ladang minyak. Hilangnya sumber pendapatan utama itu membuat ekonomi Sudan
terpuruk,” jelas HILMI.
“Sementara itu, di dalam negeri,
struktur militer dan paramiliter yang dibentuk Bashir untuk mempertahankan
kekuasaan justru menjadi bom waktu: pasukan reguler (SAF) dan pasukan cepat
(RSF) tumbuh menjadi dua kekuatan bersenjata besar dengan kepentingan ekonomi
dan etnis yang berbeda. Pada usianya yang ke-75 Bashir akhirnya dikudeta oleh
militernya sendiri, buntut ketidakpuasan rakyat pada situasi ekonomi yang
memburuk pasca pemisahan Sudan Selatan,” lanjut HILMI menerangkan.
Sumber daya
alam Sudan, disebut HILMI adalah produsen minyak terbesar ke-4 di Afrika, sebelum
Pemisahan Sudan Selatan (sebelum 2011). “Setelah Pemisahan Sudan Selatan
(2011–2022) Kemerdekaan Sudan Selatan menyebabkan hilangnya ± 75 % ladang
minyak dari kendali Khartoum,” ulas HILMI.
“Produksi
anjlok menjadi 20.000–40.000 bph, pendapatan minyak turun di bawah US$ 1 miliar
per tahun. Untuk menutup defisit, pemerintah Sudan beralih ke emas. Produksi
emas melonjak dari menjadi sekitar 90 ton (2017), menjadikan Sudan produsen
emas terbesar ke-3 di Afrika (setelah Ghana dan Afrika Selatan). Namun, 50–80 %
ekspor emas diselundupkan, terutama ke UEA melalui Darfur dan Chad, di mana
hasilnya dikuasai oleh jaringan RSF. Nilai ekspor emas resmi antara 2017–2020
berkisar US$ 2–3 miliar per tahun, tetapi potensi sebenarnya mencapai US$ 6–8
miliar bila penyelundupan dihitung,” ungkap HILMI.
“Setelah Perang SAF–RSF Konflik
menyebabkan produksi minyak stagnan, bahkan beberapa terhenti total. Sementara
itu, RSF menguasai wilayah Darfur dan Kordofan, yang mengandung sebagian besar
emas. Produksi emas resmi Sudan 2024 mencapai 64 ton (≈ US$ 3,8 miliar), namun
separuhnya tidak tercatat. Setelah gencatan senjata tiga bulan yang ditengahi
AS (September 2025), kontrol ekonomi de facto terbagi dua: RSF menguasai sumber
emas di barat (Darfur–Kordofan), sedangkan SAF mengontrol ekspor minyak minor
dan pelabuhan Laut Merah (Port Sudan),” pungkas HILMI.[] Rere
