Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Filsafat Pendidikan Islam menurut Al-Ghazali

Sabtu, 22 November 2025 | 11:45 WIB Last Updated 2025-11-22T04:45:09Z
TintaSiyasi.id -- Hakikat Pendidikan untuk Mensucikan Jiwa dan Menghidupkan Akal

Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450–505 H) adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam tradisi intelektual Islam. Pemikirannya tentang pendidikan sangat komprehensif, menyatukan dimensi spiritual, moral, intelektual, dan sosial. Dalam karyanya seperti Ihya’ Ulumuddin, Ayyuha Al-Walad, dan Mizan al-‘Amal, Al-Ghazali menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan mengantarkan manusia menuju kesempurnaan akhlak dan kedekatan dengan Allah.

Di bawah ini adalah inti filsafat pendidikan Islam menurut Al-Ghazali.

1. Tujuan Pendidikan: Tazkiyatun Nafs dan Ma’rifatullah

Menurut Al-Ghazali, tujuan paling tinggi dari pendidikan adalah:

a. Mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs)

Ilmu harus membawa peserta didik menuju kebersihan hati dari penyakit seperti riya’, takabbur, tamak, dan dengki.

b. Mencapai ma’rifatullah

Puncak pendidikan adalah mengenal Allah secara benar, melalui ilmu, ibadah, dan penghayatan batin.

c. Melahirkan akhlak mulia

Pendidikan tidak boleh berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi harus membentuk karakter, adab, dan akhlak (khuluq).

Al-Ghazali berkata:
“Ilmu yang tidak memperbaiki hati adalah dalil bahwa Allah tidak menghendaki kebaikan bagi pemilik ilmu tersebut.”

2. Hakikat Ilmu Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua:

a. Ilmu Fardhu ‘Ain

Ilmu yang wajib dipelajari setiap Muslim untuk keselamatan akhirat, yaitu akidah, ibadah, akhlak, dan penyucian jiwa.

b. Ilmu Fardhu Kifayah

Ilmu untuk membangun kehidupan dan kemaslahatan sosial: kedokteran, matematika, pertanian, ekonomi, administrasi, politik, dan lain-lain.

Penting: Al-Ghazali tidak anti-filsafat dan tidak anti-sains. Ia menghargai logika, matematika, dan sains, kecuali pada titik-titik yang berbenturan dengan akidah.

3. Peserta Didik Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali memandang peserta didik sebagai:

a. Amanah Ilahi yang harus dibimbing

Setiap jiwa anak adalah amanah Allah bagi orang tua dan guru.

b. “Lembaran putih” yang siap dibentuk

Manusia lahir dalam fitrah kesucian; pendidikan menentukan arah perkembangannya.

c. Jiwa yang berkembang bertahap

Pendidikan harus sesuai marhalah (tahap usia) dan kesiapan mental anak.

Al-Ghazali menekankan bahwa anak tidak boleh dipaksa melampaui kapasitasnya karena pendidikan butuh kasih sayang, bukan pemaksaan.

4. Peran dan Karakter Guru Menurut Al-Ghazali

Dalam filsafatnya, guru adalah aktor sentral. Al-Ghazali menggambarkan guru sebagai:

a. Pewaris para nabi

Guru bukan sekadar pendidik, tetapi penuntun ruhani.

b. Akhlaknya lebih penting dari ucapannya

Nabi Saw. bersabda, “Didiklah dirimu sebelum engkau mendidik orang lain.”

c. Mengajar dengan kasih sayang

Guru harus mengajar tanpa niat duniawi, melainkan karena kemaslahatan murid.

d. Menjadi teladan (uswah) bagi murid

Cara guru hidup, shalat, berbicara, dan bermuamalah menjadi model bagi anak-anak.

5. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali menawarkan metode yang harmonis antara akal, hati, dan pengalaman. Metode tersebut mencakup:

1. Ta’lim (transfer pengetahuan)

Melalui penjelasan, pembacaan, hafalan, dan diskusi.

2. Tarbiyah (pembinaan karakter)

Pembiasaan ibadah, latihan disiplin, menahan diri, dan latihan akhlak.

3. Riyadhah al-Nafs (latihan spiritual)

Dzikir, muhasabah, muraqabah, dan membiasakan amal shalih.

4. Keteladanan (uswah hasanah)

Metode terkuat dalam pendidikan menurut Al-Ghazali adalah contoh nyata.

5. Penggunaan hikmah dan nasihat

Seperti dalam Ayyuha al-Walad, nasihat yang lembut dan menyentuh jiwa adalah sarana penyembuhan moral.

6. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali

Kurikulum menurut Al-Ghazali harus memadukan:

a. Ilmu agama → pondasi perbaikan hati

Akidah, tafsir, hadis, fikih, tasawuf, dan akhlak.

b. Ilmu rasional → penguatan logika dan peradaban

Matematika, filsafat dasar, logika, kedokteran, ilmu alam.

c. Ilmu sosial → pengembangan masyarakat

Etika, politik, ekonomi, psikologi.

Keseimbangan ini menghasilkan insan yang kuat spiritualnya, jernih akalnya, dan bermanfaat bagi masyarakat.

7. Etika Belajar Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Adab tersebut meliputi:

Ikhlas

Rendah hati

Menjauhi maksiat

Sabar dalam mencari ilmu

Menghormati guru

Mempraktikkan apa yang dipelajari

Membaca dengan merenung, bukan sekadar membaca teks

Ia berkata:
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”

8. Integrasi Akal dan Hati

Al-Ghazali memadukan filsafat, teologi, syariat, dan tasawuf. Dalam pandangannya:

Akal adalah alat memahami syariat

Hati adalah tempat turunnya cahaya Allah

Ilmu harus membawa pada kebenaran dan kesucian jiwa

Ia menolak pemisahan antara ilmu dan iman.

9. Pendidikan sebagai Jalan Kebahagiaan Dunia–Akhirat

Pendidikan tidak hanya untuk dunia kerja atau status sosial.
Tujuan akhirnya adalah sa’adah (kebahagiaan sejati):

a. Kebahagiaan dunia

Melalui ilmu yang bermanfaat, keterampilan, dan peradaban.

b. Kebahagiaan akhirat

Melalui kedekatan kepada Allah dan amal shalih.

Bagi Al-Ghazali, pendidikan adalah perjalanan suci menuju kebahagiaan abadi.

Kesimpulan Utama

Filsafat pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah sistem yang holistik:

Menggabungkan akal dan hati

Menyatukan ilmu dunia dan akhirat

Menekankan akhlak, adab, dan penyucian jiwa

Mengagungkan peran guru

Membentuk kepribadian muslim yang seimbang, cerdas, dan saleh

Ia menanamkan bahwa pendidikan sejati adalah membentuk manusia agar semakin dekat kepada Allah, semakin bermanfaat bagi sesama, dan semakin suci hatinya.

Dr Nasrul Syarif, M.Si. 
Penulis Buku Gizi Spiritual  dan Dosen Pascasarjana  UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update