TintaSiyasi.id -- Semakin marak kejahatan dan kekerasan yang dilakukan maupun yang menimpa. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi bangsa yang mencanangkan Generasi Emas 2045. Bagaimana mungkin akan tercapai jika kondisinya seperti ini? Kerusakan remaja seakan tidak bisa dikendalikan.
Berbagai upaya penelitian pun dilakukan untuk mencari penyebabnya. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi, sebagian besar penyebab dari kekerasan terhadap perempuan dan anak dipicu oleh media sosial atau gawai. Fenomena ini menjadi perhatian yang serius terhadap dunia digital yang tidak terkontrol dan tidak ada bimbingan yang memadai (Tempo.co, 11 Juli 2025).
Survei State of Mobile 2024 menemukan data yang mencengangkan bahwa rata-rata durasi penggunaan gawai di Indonesia paling tinggi di dunia, mencapai 6,05 jam per hari (Antara, 9 Juli 2025).
Sementara itu, menurut Menteri Kependudukan dan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, remaja Indonesia saat ini memiliki ketergantungan berlebih pada HP atau gawai. Penggunaan gawai yang terlalu masif pada remaja akan menjadikan generasi muda rentan terhadap ancaman siber (Info Tempo, 9 Juli 2025).
Pemerintah telah memperkenalkan PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP TUNAS sebagai regulasi yang menjadi acuan global dalam melindungi anak-anak di ruang digital.
Menurut Menteri Komunikasi (Menkominfo) Meutya, PP TUNAS mencerminkan komitmen Indonesia dalam melindungi anak secara daring demi kesehatan dan kesejahteraan generasi muda (PNRB, 10 Juli 2025).
Sekilas, solusi yang diberikan oleh pemerintah belum menyentuh akar masalah. Akar masalahnya adalah rendahnya literasi digital serta rendahnya iman yang dihasilkan dari pendidikan berbasis sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan.
Pendidikan sekuleris melahirkan generasi yang jauh dari agama (Islam) dalam melakukan aktivitas apa pun. Terlebih, pengaruh dari sistem kapitalisme menjadikan standar perbuatan hanyalah manfaat materi semata. Hal ini tampak dalam digitalisasi yang ditengarai memberikan keuntungan materi yang besar, sehingga keselamatan luput dari perhatian dan lebih mengutamakan keuntungan materi.
Akan berbeda dengan hasil pendidikan yang dilandasi oleh akidah Islam. Pendidikan ini menghasilkan generasi berkepribadian Islam, yakni menjadikan Islam sebagai landasan dalam berpikir dan beraktivitas. Sehingga menghasilkan generasi yang menguasai teknologi dan penggunaannya dilandasi oleh iman, menjadikan halal-haram sebagai standar perbuatan, bukan materi.
Kemajuan teknologi sangat dibutuhkan oleh negara menuju kemajuan seperti Indonesia saat ini. Namun, yang dibutuhkan adalah teknologi yang dilandasi oleh ilmu dan iman. Hanya saja, hal ini bisa terwujud dalam negara yang menerapkan Islam kaffah, yakni Khilafah. Karena Khilafah memiliki peran sebagai junnah atau perisai. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya imam/pemimpin adalah perisai."
Makna hadis ini adalah bahwa negara memiliki peran penting dalam melindungi rakyat dari berbagai bahaya, termasuk bahaya siber.
Negara akan memberikan edukasi dan panduan kepada rakyat tentang penggunaan teknologi digital, sehingga rakyat akan mampu menggunakan teknologi untuk kebaikan dan kemajuan negara. Dengan demikian, rakyat akan terselamatkan dari bahaya siber.
Wallahu a'lam bish-shawab
Oleh: Dewi Asiya
Aktivis Muslimah