TintaSiyasi.id -- Dalam dinamika perdagangan internasional, diplomasi seharusnya menjadi jembatan kesetaraan. Namun, kisah diplomasi dagang Indonesia–Amerika Serikat pasca-penerapan tarif resiprokal justru menghadirkan ironi. Pemerintahan Trump menetapkan tarif ekspor untuk Indonesia sebesar 32%. Setelah serangkaian negosiasi, tarif tersebut diturunkan menjadi 19%. Sekilas tampak seperti keberhasilan. Tetapi benarkah demikian? Apakah penurunan tarif tersebut adalah pencapaian atau bentuk dominasi global yang terselubung?
Tarif Turun, Namun Konsekuensi Melonjak
Negosiasi penurunan tarif dari 32% menjadi 19% bukan tanpa syarat. Dilansir dari Tempo.co (19 Juli 2025), pemerintah Indonesia harus membeli produk-produk dari AS dalam jumlah fantastis, seperti produk pertanian senilai US$4,5 miliar, energi senilai US$15 miliar, dan 50 unit pesawat Boeing 777. Tentu saja, ini bukan diplomasi setara, melainkan barter koersif. Di sini terlihat adanya ketimpangan: AS menembus pasar Indonesia tanpa hambatan tarif, sedangkan produk Indonesia tetap dikenakan tarif 19% saat masuk pasar AS.
Secara kasat data, Indonesia memang terlihat mendapat perlakuan “lebih ringan” dibanding negara ASEAN lainnya. Namun, keistimewaan ini hanyalah ilusi jika ditelisik dari harga mahal yang harus dibayar. Vietnam (20%), Malaysia (25%), Thailand dan Kamboja (36%), serta Myanmar dan Laos (40%). Tetapi itu sekadar angka. Ketika syaratnya dapat melumpuhkan devisa, memukul sektor industri nasional, dan menambah defisit perdagangan, maka itu bukan keberhasilan, melainkan kerugian sistemik.
Arogansi AS dan Kapitalisme Global
Jika diamati secara mendalam, penurunan tarif disertai syarat berat dapat merugikan Indonesia secara ekonomi, fiskal, dan kedaulatan dagang. Sebab, tarif ekspor bukan hanya soal bea masuk. Ia adalah instrumen geopolitik. AS menggunakan tarif sebagai alat tekanan, bukan sekadar proteksi. Dalam kasus Indonesia, terlihat jelas bahwa penurunan tarif dibarter dengan pembelian besar-besaran dari AS. Hasilnya? Neraca perdagangan berisiko defisit, nilai tukar rupiah tertekan, dan sektor lokal digilas oleh banjir produk impor.
AS akan meraih banyak keuntungan politik dan ekonomi, sementara itu, Indonesia menghadapi kerugian jangka panjang di sektor makro dan mikro. AS mendapatkan keuntungan strategis dan ekonomi, antara lain:
1. Surplus perdagangan. Dengan ekspor yang lebih besar dan tanpa hambatan tarif ke Indonesia, AS bisa memperbaiki defisit neraca dagangnya.
2. Penjualan industri strategis. Kesepakatan pembelian Boeing dan energi mendukung sektor manufaktur AS dan menyerap tenaga kerja mereka.
3. Ekspansi geopolitik. Lewat perjanjian dagang ini, AS memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara dan menghalangi dominasi Tiongkok.
Dari sisi jangka panjang, Indonesia menghadapi risiko yang tidak ringan:
1. Melemahnya industri nasional. Ketika pasar dalam negeri dibanjiri produk-produk pertanian dan energi dari AS dengan tarif nol, industri lokal akan sulit bersaing. Ini bisa memperbesar ketergantungan dan menghambat tumbuhnya sektor strategis nasional.
2. Pemborosan devisa dan ketimpangan neraca perdagangan. Pembelian energi dan pesawat dalam skala besar menguras cadangan devisa. Jika tidak disertai ekspor yang seimbang, maka akan memperlebar defisit neraca perdagangan.
3. Tekanan terhadap nilai tukar. Permintaan besar terhadap dolar untuk membayar impor AS akan melemahkan rupiah. Ini berpotensi mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat.
4. Preseden buruk dalam diplomasi. Negara lain bisa meniru strategi AS untuk menekan Indonesia dengan ancaman tarif tinggi agar Indonesia membeli produk mereka. Ini menempatkan Indonesia dalam posisi diplomatik yang rapuh.
5. Sektor mikro terpukul. UMKM eksportir mengalami kerugian karena produknya dikenakan tarif tinggi, sementara produk impor pesaing justru bebas masuk. Petani lokal tergilas oleh masuknya komoditas pertanian AS yang lebih murah. Buruh industri lokal terancam kehilangan pekerjaan akibat penurunan daya saing.
Islam dan Paradigma Diplomasi Berdaulat
Islam memandang perdagangan luar negeri sebagai urusan antarnegara yang mesti dikontrol sepenuhnya oleh negara demi menjaga kemaslahatan umat secara menyeluruh. Dalam sistem Khilafah, hubungan dagang dilakukan hanya dengan negara kafir mu'ahad (yang memiliki perjanjian damai), dan dilarang dengan kafir harbi fi'lan (yang secara aktif memusuhi Islam dan kaum Muslim).
Jika negara kafir menetapkan tarif, maka negara Islam akan menetapkan tarif yang setara (mukafa’ah). Tidak ada celah untuk tunduk atau membeli loyalitas diplomatik. Negara Islam juga dilarang bergantung pada impor yang merusak kemandirian. Impor strategis dibolehkan, tetapi dengan pengawasan ketat. Prioritasnya adalah industri dalam negeri dan kekuatan produksi nasional.
Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan pentingnya peran negara dalam mengontrol perdagangan luar negeri untuk melindungi akidah, ekonomi, dan politik umat Islam.
Contoh konkret dapat diambil dari masa Kekhilafahan Umar bin Khattab. Ketika wilayah Islam meluas hingga ke Syam dan Mesir, Umar ra. menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri yang sangat strategis. Ia hanya mengizinkan perdagangan dengan pihak yang tidak memusuhi Islam, dan memastikan barang-barang asing tidak membanjiri pasar umat tanpa pengawasan. Dalam kasus Mesir, Umar memerintahkan agar barang-barang dari Romawi dikenakan cukai yang adil dan disaring agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi umat. Ini menunjukkan peran aktif negara dalam melindungi pasar dari dominasi ekonomi asing. Artinya, Islam menawarkan model diplomasi adil dan mandiri, dengan preseden sejarah yang kuat pada era Kekhilafahan Umar bin Khattab.
Khatimah
Kisah diplomasi Indonesia–AS bukan sekadar persoalan tarif, tapi soal dominasi global. AS menunjukkan arogansinya sebagai penjajah ekonomi dunia. Selama negeri ini masih berkiblat pada sistem kapitalisme, maka posisi lemah akan terus melekat.
Solusi sejati bukan dalam negosiasi tambal sulam, tetapi perubahan sistemik. Islam menawarkan sistem perdagangan luar negeri yang adil, mandiri, dan melindungi martabat negara. Inilah saatnya Indonesia membuang ketergantungan, membangun ekonomi berdaulat, dan kembali pada sistem Islam yang berpijak pada wahyu, bukan pada kompromi kolonial.
Wallahu a'lam bish-shawab
Oleh: Mila Ummu Nuha
Aktivis Muslimah