TintaSiyasi.id -- Lagi-lagi berita korupsi yang menyayat hati mencuat kembali. Seakan tiada henti, hembusan angin meniupkan aroma legitnya uang korupsi terus menerjang, menjelma menjadi sosok arogan yang lantang berkoar "korupsi harga mati".
Seperti dilansir dari Beritasatu.com (30/6/2025), menyebutkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mesin electronik data capture (EDC) yang masih dalam proses penyelidikan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK). Kasus yang berlangsung sejak 2020 hingga 2024 ini terjadi di lembaga pemerintah (BRI) dengan nilai yang tidak kalah fantastik dari kasus-kasus sebelumnya.
Kasus korupsi ini menyusul kasus-kasus korupsi sebelumnya yang hingga saat ini belum tuntas atau bahkan sengaja tidak dituntaskan sehingga menguap begitu saja lalu hilang tanpa jejak. Memang sudah begitu tabiatnya, kasus baru dimunculkan untuk menutupi kasus lama atau kasus yang lebih besar lagi.
Paradoks, Efisiensi Melahirkan Korupsi
Ironis, di tengah gencarnya upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran justru banyak kasus korupsi bermunculan.
Sejatinya efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah tidaklah salah, ketika tepat sasaran. Namun faktanya efisiensi yang ada justru menyasar sektor-sektor strategis yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat secara langsung.
Ini terlihat dari upaya pemerintah menonaktifkan penerima bantuan iuran (PBI) bagi peserta BPJS dari keluarga yang tidak mampu misalnya. Begitu juga pengurangan tukin guru, bansos, dana riset bahkan militer.
Padahal adanya efisiensi anggaran otomatis akan berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas program yang telah dan akan dijalankan. Terlebih yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat secara umum seperti pendidikan dan kesehatan. Seolah negara ingin berlepas tangan sedikit demi sedikit dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Korupsi, Efek Ambisi Efisiensi
Banyaknya kasus korupsi yang merajalela di negeri ini tidak terlepas dari penerapan sistem demokrasi kapitalis saat ini. Bahkan Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu negara terkorup. Ini tentu sebuah prestasi yang memalukan bagi negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Akan tetapi menjadi hal yang lumrah bagi mereka yang menganut paham sekularis kapitalis. Karena, yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan keuntungan materi dengan jalan kebebasan.
Diberlakukannya efisiensi anggaran oleh pemerintahan Prabowo juga menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera secara merata.
Efisiensi anggaran bahkan menjadi salah satu pemicu terjadinya korupsi. Semua karena politik demokrasi meniscayakan adanya politik transaksional. Amanah jabatan seringkali malah dijadikan alat tawar menawar antara pejabat dan pemilik modal. Akibatnya, korupsi menjadi harga mati yang sulit dihindari.
Islam Mengharamkan Korupsi
Korupsi adalah penggelapan harta yang dilakukan oleh para pejabat, penguasa dan pegawai negara dari harta negara yang berada di bawah kekuasaan mereka. Islam mengharamkan korupsi, sekecil apapun. Maka Islam datang dengan seperangkat aturan yang menjamin terpenuhinya semua kebutuhan pokok masyarakat sehingga mereka tidak terjerumus dalam tindakan maksiat.
Hendaknya setiap pejabat yang diangkat oleh Khalifah adalah orang-orang yang memiliki kriteria yang telah ditetapkan oleh syariat, yakni laki-laki, baligh, Islam, merdeka, berakal, adil dan mampu. Selain itu mereka dipilih dari orang-orang yang paling bertakwa, sehingga sedikit kemungkinan untuk menyalahgunakan jabatan.
Dalam kitab Al-amwal Fii Daulah Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum disebutkan bahwa Umar bin Khattab jika meragukan kekayaan seorang wali atau gubernur, maka beliau menyita jumlah kelebihan dari penghasilannya yang sah. Beliau juga selalu menghitung dan mencatat kekayaan pejabat sebelum dan sesudah diangkat sebagai pejabat. Tindakan itu pernah dilakukannya terhadap Abu Sufyan yang baru kembali dari Syam mengunjungi anaknya, yakni Mu'awiyyah yang kala itu menjabat sebagai gubernur.
Islam Menjamin Kebutuhan
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan seperangkat aturan untuk kemaslahatan seluruh masyarakat. Aturan Islam bersifat mencegah dan mengatasi semua permasalahan kehidupan. Terkait masalah korupsi pejabat misalnya, maka Islam memberikan gaji yang layak bagi para pegawai pemerintah yang bisa digunakan khusus untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Sedangkan untuk kepala negara, gubernur dan kepala daerah, mereka diberi santunan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Sementara untuk kebutuhan pendidikan, kesejahteraan dan keamanan sudah dijamin oleh negara. Maka tidak ada celah untuk korupsi dengan alasan gaji yang tidak mencukupi.
Para koruptor yang merugikan negara dan masyarakat juga akan ditindak tegas sesuai hukum syari'at. Sanksi bagi koruptor adalah takzir, yang ditetapkan oleh hakim. Bisa berupa teguran, nasehat, denda, dan penjara bahkan hukuman mati sesuai kadar kejahatan yang dilakukan. Mereka juga harus mengembalikan semua uang yang telah diambilnya kepada negara.
Khatimah
Demikianlah Islam yang sempurna telah mengatur semua hal yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Maka tidak ada cara lain untuk menghilangkan korupsi yang telah mengakar dan membudaya ini selain dengan cara menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Ini tidaklah mudah, harus ada upaya kita untuk memperjuangkannya dengan jalan bergabung bersama para pengemban dakwah Islam untuk mewujudkan Islam rahmatan lil'alamin.
Wallahu a'lam bishshawab.[]
Oleh: Ni'matul Afiah
Pemerhati Kebijakan Publik