×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kesepakatan Perdagangan Amerika Serikat dan Indonesia: Tinjauan Kritis Perspektif Syariat Islam

Sabtu, 26 Juli 2025 | 21:53 WIB Last Updated 2025-07-26T14:53:23Z

Tintasiyasi.ID -- Kesepakatan perdagangan yang telah dilakukan oleh Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Amerika Serikat (AS), khususnya terkait tarif resiprokal AS dan Indonesia dalam kesepakatan berjudul Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade yang dirilis oleh Gedung Putih, Washington DC, pada hari Selasa (22/072025) waktu setempat, dikritisi Ahli Fikih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si..

 

Pendahuluan

 

“Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah sama-sama menyepakati Kesepakatan Perdagangan di antara kedua negara, khususnya terkait tarif resiprokal Amerika Serikat dan Indonesia. Pernyataan bersama mengenai kesepakatan tersebut yang berjudul Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade, dirilis oleh Gedung Putih, di Washington DC-AS, pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2025, waktu setempat,” rilis Kiai Shiddiq kepada TintaSiyasi.ID, Sabtu (26/07/2025).

 

Ia menyebut, di antara poin paling menonjol dalam kesepakatan tersebut adalah penurunan tarif impor AS dari Indonesia, yang awalnya 32 persen, menjadi 19 persen. “Jadi barang-barang dari Indonesia yang masuk ke AS, awalnya terkena tarif sebesar 32 persen. Nah berdasarkan kesepakatan tersebut, tarif tersebut turun menjadi 19 persen. Namun di balik itu, barang dari AS yang masuk ke Indonesia, akan dibebaskan dari tarif alias tarifnya nol persen,” sebutnya. 

 

“Terdapat sejumlah hal lain yang strategis yang menjadi komitmen dari Indonesia kepada AS, sebagai persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia agar mendapat tarif 19 persen tersebut. Di antaranya adalah AS diberi hak oleh Indonesia untuk mengakses dan mengelola data pribadi warga negara Indonesia,” ungkapnya.

 

Lanjut diungkapkannya, dalam dokumen resmi Gedung Putih yang dirilis pada hari Selasa (22/07/2025) tersebut, tertulis bahwa salah satu poin penting kerja sama ini berbunyi, “Indonesia has committed to address barriers impacting digital trade, services, and investment.  Indonesia will provide certainty regarding the ability to transfer personal data out of its territory to the United States.”

 

“Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi hambatan yang mempengaruhi perdagangan digital, layanan, dan investasi. Indonesia akan memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” ucap Kiai menerjemahkan dokumen tersebut.

 

Presiden AS Donald Trump mengomentari akses AS terhadap data pribadi warga negara RI itu di halaman Gedung Putih, AS, Selasa (15/07/2025), dengan berkata, "Kami telah membuat kesepakatan dengan Indonesia. Saya berbicara dengan presidennya (Prabowo Subianto) yang luar biasa, sangat populer, kuat, cerdas. Dan kami menyepakati perjanjian, kami mendapatkan akses penuh ke Indonesia, segalanya."

 

Ia menyebutkan ada pula sejumlah komitmen lain dari Indonesia yang menjadi persyaratan agar RI memperoleh tarif 19persen tersebut, antara lain:

 

Pertama, Indonesia berkomitmen untuk membeli energi AS senilai USD 15 miliar atau setara Rp244,41 triliun (asumsi kurs Rp16.294 per dolar AS).

 

Kedua, Indonesia berkomitmen untuk membeli berbagai produk pertanian Amerika, meliputi soybeans (kacang kedelai), soybeans meal (bungkil kedelai), wheat (gandum), kemudian cotton (kapas), senilai USD 4,5 miliar, atau setara Rp72,32 triliun.

 

Ketiga, Indonesia berkomitmen membeli 50 pesawat Boeing produksi AS, sebagian besar tipe Boeing 777 yang berharga miliaran dolar AS.

 

“Ada 12 poin utama kesepakatan perdagangan AS dan RI. Berikut ini uraian selengkapnya 12 poin utama isi kerangka kesepakatan perdagangan AS dan RI tersebut,” tuturnya.

 

1. Penghapusan Tarif oleh Indonesia

Indonesia akan menghapus sekitar 99 persen tarif atas produk industri, pangan, dan pertanian asal Amerika Serikat.

 

2. Tarif Resiprokal AS

AS akan mengenakan tarif 19 persen terhadap produk asal Indonesia yang masuk Amerika Serikat, seperti ditetapkan dalam Perintah Eksekutif 14257 tanggal 2 April 2025. Beberapa komoditas tertentu bisa dikenakan tarif lebih rendah.

 

3. Aturan Asal Barang (Rules of Origin)

Kedua negara akan menyusun aturan asal barang agar manfaat perjanjian hanya berlaku untuk produk dari AS dan Indonesia.

 

4. Penghapusan Hambatan Nontarif

Indonesia akan menghapus syarat kandungan lokal, menerima standar kendaraan dan sertifīkat FDA (Food and Drug Administration), yaitu suatu badan pengawasan untuk obat dan makanan di AS, mengurangi aturan pelabelan dan inspeksi, serta menyelesaikan isu kekayaan intelektual.

 

5. Penanganan Kapasitas Baja

Indonesia akan bergabung dengan GFSEC (Global Forum on Steel Excess Capacity) atau Forum Global Kapasitas Berlebih Baja, untuk mengatasi persoalan kelebihan kapasitas produksi baja secara global untuk mengurangi dampak negatif dari kelebihan suplai baja di pasar dunia.

 

6. Produk Pangan dan Pertanian

Indonesia berkomitmen untuk menghapus persyaratan izin impor atas produk pangan dan pertanian asal Amerika Serikat, menetapkan status permanen bagi produk nabati tertentu, serta mengakui sertifīkat dari otoritas regulasi AS untuk komoditas daging, unggas, dan susu serta menetapkan status permanen Fresh Food of Plant Origin (FFPO).

 

7. Perdagangan Digital dan Jasa

Indonesia akan mengizinkan transfer data pribadi ke AS, menghapus tarif produk digital, mendukung moratorium bea transmisi elektronik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO, World Trade Organization), serta menghapus tarif dan deklarasi untuk produk tak berwujud.

 

8. Hak Tenaga Kerja

Indonesia akan melarang impor barang hasil kerja paksa, memperbaiki perlindungan hak berserikat, dan memperkuat penegakan hukum ketenagakerjaan.

 

9. Perlindungan Lingkungan

Indonesia berkomitmen dalam perbaikan tata kelola kehutanan, pelarangan perdagangan kayu ilegal, implementasi subsidi perikanan WTO, serta pemberantasan penangkapan ikan dan satwa liar ilegal.

 

10. Ekspor Komoditas Industri

Indonesia akan mencabut pembatasan ekspor komoditas industri ke AS, termasuk mineral penting.

 

11. Keamanan dan Rantai Pasok

Kedua negara sepakat bekerja sama dalam pengamanan rantai pasok, investasi, dan ekspor, termasuk menangkal praktik dagang curang.

 

12. Transaksi Komersial

Akan ada pembelian pesawat senilai US$3,2 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan energi sebesar US$15 miliar antara perusahaan AS dan Indonesia.

 

Tinjauan Kritis Perspektif Syariat Islam

 

Kiai Shiddiq mengungkapkan, kesepakatan perdagangan antara AS dan Indonesia tersebut merupakan kesepakatan yang tidak sah alias batal demi hukum Islam, berdasarkan 4 (empat) alasan sebagai berikut :

 

Pertama, karena kesepakatan perdagangan tersebut, khususnya kesepakatan mengenai tarif resiprokal, yaitu 19 persen berbanding 0 persen, bertentangan dengan prinsip mu’āmalah bil mistli dalam Islam. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwāl fī Daulat Al-Khilāfah, hlm. 102).

 

“Mu’āmalah bil mitsli dalam konteks perdagangan internasional, merupakan prinsip penetapan tarif bea masuk yang semisal (al-mitsli), yaitu harus ada kesamaan antara dua tarif, yaitu pertama, tarif ketika barang dari negara asing (Dārul Harbi) masuk ke wilayah negara Islam (Daulah Islāmiyyah/Khilāfah); kedua, tarif ketika barang dari negara Islam masuk ke negara asing (Dārul Harbi),” ulasnya.

 

Ia mencontohkan ketika di masa Khalifah Umar Khaththab ra., ketika ada barang yang masuk dari negara asing (Dārul Harbi) ke dalam wilayah negara Islam, dikenakan tarif sebesar 10 persen (al-‘usyr). Penetapan tarif sebesar 10 persen (al-‘usyr) oleh negara Islam ini sesungguhnya bukanlah tarif yang sifatnya fīxed (tetap), namun sebenarnya sekedar tarif yang dikenakan oleh Khalifah Umar sebagai praktik dari prinsip mu’āmalah bil mitsli (perlakuan yang semisal/setara).

 

“Hal ini karena waktu itu barang dari negara Islam yang masuk ke negara asing (Dārul Harbi), dikenakan bea masuk sebesar 10 persen oleh negara asing tersebut. Maka Umar pun merespons dengan mengenakan tarif sebesar 10 persen (al-‘usyr) ketika ada barang yang masuk dari negara asing (Dārul Harbi) ke dalam wilayah negara Islam, berdasarkan prinsip mu’āmalah bil mitsli tersebut,” bebernya.

 

Maka dari itu, lanjut Kiai, jika suatu saat negara Islam (Khilafah) tegak kembali, dan barang dari negara Islam yang masuk ke negara asing (Dārul Harbi) dikenakan bea masuk sebesar 32 persen (misalnya) oleh negara asing tersebut, maka negara Islam juga mengenakan tarif 32 persen ketika barang dari negara asing tersebut masuk ke negara Islam.

 

“Inilah prinsip mu’āmalah bil mitsli (perlakuan yang semisal/setara) yang diajarkan dalam Islam dalam perdagangan internasional (al-tijārah al-khārijiyyah),” jelasnya yang menukil pendapat Syekh Abdul Qadim Zallum di dalam kitab Al-Amwāl fī Daulat Al-Khilāfah halaman 102.

 

Dengan demikian, lanjutnya, ketika barang dari Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif 19 persen, sebaliknya dari barang AS yang masuk Indonesia hanya dikenakan tarif 0 persen (alias nol persen), berarti kesepakatan tarif resiprokal ini sangatlah bertentangan dengan prinsip mu’āmalah bil mitsli (perlakuan yang semisal/setara) yang ada dalam agama Islam.

 

Ia menyebutkan dalil syariat untuk prinsip mu’āmalah bil mitsli itu adalah dua ayat Al-Qur`an, yakni fīrman Allah Swt.:

 

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُواْ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُواْ اللهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

 

Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah: 194).

 

Prinsip mu’āmalah bil mitsli tersebut, imbuhnya, juga berdasarkan fīrman Allah Swt.:

 

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُواْ بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّابِرينَ

 

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS Al-Nahl : 126).

 

Kedua, karena kesepakatan mengenai tarif resiprokal tersebut, yang dapat dianggap sebagai sebuah akad (contract), ternyata mempersyaratkan adanya akad-akad lain. “Di antaranya adalah: (1) Indonesia diharuskan membeli energi dari AS senilai USD 15 miliar, (2) Indonesia diharuskan membeli berbagai produk pertanian Amerika, senilai USD 4,5 miliar, dan (3) Indonesia diharuskan membeli 50 pesawat Boeing produksi AS,” ulasnya.

 

Padahal, menurut Kiai Shiddiq, dalam Islam tidak diperbolehkan adanya suatu akad (perjanjian) yang mengharuskan adanya akad-akad yang lain secara mengikat. “Dalam bahasa Arab disebut mulzim; bahasa Inggris dinamakan binding). Jadi komitmen Indonesia terhadap AS untuk membeli energi AS, produk pertanian AS, dan pesawat Boeing tersebut, seharusnya adalah komitmen yang sifatnya optional (pilihan/tidak mengikat), bukan komitmen yang sifatnya mengikat (mulzim/binding),” tandasnya.

 

Ibnu Mas’ūd RA telah meriwayatkan hadis bahwasanya:

 

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

 

Nabi saw. telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad, no. 3783: Al-Bazzār, no. 2017; Al-Baihaqi, no. 10994).

 

Ia menuturkan, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977) yang dimaksud dengan “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni fī shafqatin wahidatin) adalah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad yang lain. Selengkapnya Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan maksud hadis tersebut dengan berkata sebagai berikut:

 

فَالْمُرَادُ مِنْهُ وُجُودُ عَقْدَيْنِ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ كَأَنْ يَقُولَ: بِعْتُك دَارِيْ هَذِهِ عَلَى أَنْ أَبِيْعَكَ دَارِي الْأُخْرَى بِكَذَا، أَوْ عَلَى أَنْ تَبِيْعَنِيْ دَارَكَ، أَوْ عَلَى تُزَوِّجُنِيْ بِنْتَكَ. فَهَذَا لَا يَصِحُّ لِأَنَّ قَوْلَهُ بِعْتُكَ دَارِي هَذِهِ عَقْدٌ، وَقَوْلَهُ عَلَى أَنْ تَبِيعَنِيْ دَارَكَ عَقْدٌ ثَانٍ وَاجْتَمَعَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، فَهَذَا لَا يَجُوْزُ.

 

“Jadi yang dimaksud dengan hadis itu, adalah adanya dua akad dalam satu akad, misalnya seseorang berkata (kepada orang lain), ‘Saya jual kepada kamu rumahku yang ini, dengan syarat aku jual kepadamu rumah aku yang lain dengan harga sekian, atau dengan syarat kamu menjual kepada aku rumahmu, atau dengan syarat kamu menikahkan aku dengan anak perempuanmu.’ Ini tidak sah, karena perkataan dia, ‘Saya jual kepada kamu rumahku yang ini.’ adalah sebuah akad (akad pertama), dan perkataan dia, ‘Dengan syarat kamu menjual kepada aku rumahmu,’ adalah akad yang kedua, dan kedua akad ini berkumpul menjadi satu (yang satu menjadi syarat bagi yang lain), maka ini tidak diperbolehkan,” urainya seraya menyitat pandangan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, halaman 308.

 

“Berdasarkan hadis ini, jelaslah bahwa yang dilarang dalam hadis, yaitu “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni fī shafqatin wahidatin) maksudnya ialah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad yang lain,” lugasnya.

 

Ia menyimpulkan, tidak boleh menurut hukum Islam adanya kesepakatan AS dan Indonesia yang menetapkan tarif untuk barang dari Indonesia yang masuk ke AS sebesar 19 persen --ini adalah satu akad (contract)-- tetapi kemudian AS menetapkan sejumlah syarat (conditions) berupa akad-akad lain yang bersifat mengikat (yang disebut komitmen), yaitu: Indonesia harus membeli energi dari AS, harus membeli sejumlah produk pertanian AS, dan harus membeli 50 pesawat Boeing.

 

“Jelaslah bahwa sejumlah komitmen dagang tersebut dalam hukum Islam tidak boleh dijadikan syarat yang bersifat mengikat bagi Indonesia. Inilah ketentuan syariat Islam dalam masalah ini, yang bagi Indonesia akan memberikan keleluasaan dan kemerdekaan untuk memilih opsi-opsi dagang yang rasional dan menguntungkan,” serunya.

 

“Sikap Indonesia yang hanya manut saja kepada AS dalam sejumlah syarat itu, menunjukkan posisi Indonesia yang lemah, yang dengan sukarela telah menjadi budak ekonomi bagi AS, karena Indonesia mau saja tunduk kepada syarat-syarat mengikat yang bersifat paksa yang memberatkan Indonesia. Perjanjian seperti ini jelas menguntungkan bagi AS namun belum tentu menguntungkan bagi Indonesia,” sesalnya.

 

Ketiga, karena perjanjian tarif resiprokal ini mengandung syarat yang bertentangan dengan kedaulatan kita, yaitu adanya hak AS untuk mengakses data pribadi warga RI. Dalam kesepakatan AS dan Indonesia ini, antara lain terdapat poin yang berbunyi sebagai berikut:

 

“Indonesia will provide certainty regarding the ability to transfer personal data out of its territory to the United States.”  

 

“Yang terjemahannya, Indonesia akan memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” katanya.

 

“Ini merupakan kesepakatan yang jelas sangat sembrono dan jelas melanggar kedaulatan Indonesia, karena data pribadi warga yang harus dilindungi oleh negara, justru oleh negara sendiri dialirkan secara bebas kepada AS hanya demi kepentingan dagang. Negara macam apa ini, yang mengorbankan rakyatnya sendiri demi kepentingan asing?” masygul Kiai.

 

Memang Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafīd, lanjutnya, menjamin bahwa kebijakan transfer data pribadi dari Indonesia ke Amerika Serikat ini, tidak akan dilakukan sembarangan. “Sebaliknya, seluruh proses transfer data warga RI ke AS, kata Meutya Hafīd, akan dilakukan dalam kerangka secure and reliable data governance, tanpa mengorbankan hak-hak warga negara,” sitatnya.

 

Sambungnya lagi, tetapi sayangnya prinsip secure and reliable data governance yang disebut-sebut oleh Meutya Hafīd itu, hanyalah interpretasi sepihak dari Meutya Hafīd sendiri. “Jadi prinsip itu sama sekali tidak terdapat dalam pernyataan bersama mengenai Kesepakatan Perdagangan AS – Indonesia yang dirilis di Gedung Putih yang dirilis pada hari Selasa, 22 Juli 2025. Penjelasan Meutya Hafīd hanya bertujuan untuk menghibur dan menipu warga Indonesia sehingga terkesan seolah-olah negara menjamin bahwa transfer data ke AS itu akan dilaksanakan secara secure and reliable data governance,” ungkapnya.

 

“Padahal dalam dokumen resminya, sama sekali tidak disinggung adanya prinsip secure and reliable data governance itu. Jadi kalau AS lalu melakukan penyalahgunaan (mis-use) data pribadi warga RI yang ditransfer ke AS, maka AS dapat membela diri dan berkilah bahwa AS tidak terikat dengan prinsip secure and reliable data governance, karena prinsip ini hanya dinyatakan sepihak oleh RI (Meutya Hafid) tanpa dapat dibuktikan secara hitam di atas putih terdapat dalam Kesepakatan Perdagangan AS – RI tanggal 22 Juli 2025,” tegasnya.

 

Kiai menyayangkan, penyerahan data pribadi warga negara RI sebagaimana dalam kesepakatan dagang AS dan Indonesia ini, jelas hal yang berbahaya karena akan menjadikan AS dominan dan menguasai kaum Muslim di Indonesia, khususnya dalam bidang perdagangan. Boleh jadi data pribadi warga RI tersebut oleh AS akan disalahgunakan oleh AS, yaitu AS tak hanya menggunakan data pribadi itu dalam konteks perdagangan, tetapi dimanfaatkan juga oleh AS sebagai data intelijen untuk memantau dan memata-matai warga RI.

 

“Jelas ini sangat berbahaya karena transfer data pribadi ini akan menjadi salah satu jalan bagi AS untuk semakin menguatkan cengkeraman atau dominasinya atas warga negara RI, yang mayoritasnya Muslim. Padahal Islam telah melarang adanya suatu jalan yang dapat dimanfaatkan oleh kaum kafīr untuk menguasai atau mendominasi kaum Muslim, apakah itu jalan politik, jalan ekonomi, jalan budaya, jalan perdagangan, atau pun berbagai jalan lainnya,” tandasnya.

 

Ia pun menukil fīrman Allah Swt.:

 

وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

 

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafīr untuk menguasai orang-orang yang beriman. (QS Al-Nisā`: 141).

 

Selain itu, imbuhnya, Islam telah melarang segala bentuk bahaya (mudarat/dharar) yang dapat menimpa pada kaum Muslim, sebagai akibat dari transfer data pribadi warga RI ke AS.

 

Kiai mengutip hadis Rasulullah saw. yang tidak membolehkan adanya bahaya dalam pengertian umum dan luas, yang dapat menimpa kaum Muslim, dengan sabdanya :

 

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

 

Tidak boleh ada bahaya (bagi diri sendiri) dan bahaya (bagi orang lain). (HR Ibnu Majah no. 2341; Ahmad dalam Al-Musnad (1/313); Abu Ya’la dalam Al-Musnad,  (4/397); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabīr, no. 11086).

 

Keempat, karena AS adalah negara yang terkategori negara kafīr harbi (daulah muhāribah fī’lan), karena telah memerangi kaum Muslim secara nyata (de facto) di sejumlah negeri Islam. “Maka dari itu, hubungan perdagangan antara kaum Muslim dengan AS sebagai kafīr harbi (daulah muhāribah fī’lan) hukumnya haram dalam pandangan syariat Islam,” tegas Kiai.  

 

“Peperangan yang dilancarkan AS terhadap kaum Muslim itu adakalanya dilakukan secara langsung, misalnya serangan militer AS ke Iran, yang terjadi pada tanggal 22 Juni 2025 yang lalu. Hari itu Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat menyerang tiga fasilitas nuklir di Iran sebagai bagian dari perang Iran–Israel. Fasilitas yang menjadi sasaran meliputi Pusat Pengayaan Uranium Fordow, Fasilitas Nuklir Natanz, dan Pusat Teknologi Nuklir Isfahan,” bebernya.

 

Adakalanya AS memerangi kaum Muslim secara tidak langsung, “Misalnya, ketika AS menjadi negara utama yang mendukung “Israel”, semoga laknat Allah atas AS dan “Israel”, dalam hal bantuan dana dan senjata militer. Ketika AS memberi bantuan  dana dan persenjataan kepada “Israel” ini, berarti AS secara tidak langsung telah turut terlibat dalam peperangan yang dilakukan oleh “Israel” yang memerangi kaum Muslim di Palestina, khususnya di Gaza.”

 

“Menurut data yang ada, bantuan dana dan senjata dari AS ke “Israel” sangatlah besar. Lembaga think-tank yang bernama Council on Foreign Relations, menyatakan bahwa “Israel” telah menerima lebih dari 300 miliar dollar AS dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi sejak berdirinya “Israel” pada tahun 1948, yang telah disesuaikan dengan inflasi. Menurut laporan tahun 2023 dari Congressional Research Service (CRS), “Israel” adalah penerima kumulatif terbesar bantuan luar negeri AS sejak Perang Dunia II,” ungkapnya.

 

Maka dari itu, Kiai menyarankan, sudah seharusnya Indonesia memahami benar akibat hukumnya dalam syariat Islam, ketika AS terkategori sebagai negara kafīr harbi (daulah muhāribah fī’lan), karena terbukti telah memerangi kaum Muslim secara nyata (de facto) di sejumlah negeri Islam.

 

“Akibat hukumnya dalam syariat Islam adalah haram hukumnya kaum Muslim, baik individu, kelompok, maupun negara, menjalin berbagai bentuk hubungan dengan AS, baik hubungan politik, ekonomi, militer, dan sebagainya, termasuk di dalamnya adalah hubungan perdagangan,” lugasnya.

 

Ia menukil pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām halaman 296 yang menjelaskan hukum perdagangan antara negara Islam (Dārul Islam/Khilafah) dengan Dārul Harbi yang kategorinya daulah muhāribah fī’lan (berperang secara de facto dengan kaum Muslim), sebagai berikut :

 

أَمَّا لَوْ كَانَتْ دَارُ الْحَرْبِ مُحَارِبَةً فِعْلًا (كَإِسْرَائِيلَ) فَإِنَّهُ لَا تَجُوزُ التِّجَارَةُ مَعَهَا، لَا فِي سِلَاحٍ وَلَا فِيْ طَعَامٍ وَلَا فِي غَيْرِهِ ، لِأَنَّ فِي كُلِّ ذَلِكَ تَقْوِيَةً لَهَا عَلَى الصُّمُودِ ضِدَّ الْمُسْلِمِينَ، فَيَكُوْنُ مُعَاوَنَةً عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ فَيُمْنَعُ.

 

“Adapun jika Dārul Harbi itu adalah negara yang berperang dengan umat Islam secara nyata (de facto), seperti “Israel”, maka sesungguhnya tidak boleh melakukan perdagangan dengan negara itu, baik perdagangan senjata, makanan, maupun yang lainnya, karena semua bentuk perdagangan tersebut akan memperkuat negara itu untuk bertahan melawan kaum Muslim. Maka perdagangan dengan Dārul Harbi yang statusnya daulah muhāribah fī’lan (berperang secara de facto dengan kaum Muslim) akan menjadi pertolongan dalam berbuat dosa dan dalam permusuhan (dengan kaum Muslim), maka perdagangan itu dilarang.”

 

Kiai lugas menyatakan bahwa jelaslah hubungan perdagangan umat Islam dengan AS (Amerika Serikat) yang berstatus daulah muhāribah fī’lan (berperang secara de facto dengan kaum Muslim), hukumnya haram dalam agama Islam, karena hubungan dagang ini justru akan memperkuat AS dalam peperangannya melawan kaum Muslim, baik perang yang sifatnya langsung maupun tidak langsung.

 

“Hubungan dagang seperti ini diharamkan dalam Islam, karena merupakan tolong menolong untuk berbuat dosa dan untuk melakukan permusuhan, sesuatu yang sudah dilarang oleh firman Allah Swt:

 

وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ

 

Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan,” ucapnya mengutip ayat Al-Qur’an surah Al-Mā`idah ayat 2.

 

Penutup

 

“Kesimpulannya, berdasarkan 4 (empat) alasan yang sudah diuraikan di atas, kesepakatan perdagangan antara AS dan Indonesia tersebut merupakan kesepakatan yang batal demi hukum Islam dan tidak ada nilainya dalam Islam,” tandasnya.

 

Presiden Indonesia yang mengadakan kesepakatan perdagangan Indonesia – Amerika Serikat ini, dapat dikatakan telah mengabaikan sama sekali tuntunan hukum-hukum syariat Islam. “Jadi, beliau ternyata terbukti menjadi pemimpin sekuler yang sangat abai terhadap Islam. Yang menjadi acuannya hanyalah nilai-nilai kemanfaatan yang sifatnya pragmatis, yang hanya melihat segala sesuatu dari kacamata untung rugi secara bisnis, tanpa melihat halal haramnya sesuatu berdasarkan syariat Islam,” sebutnya.

 

“Selain itu, kesepakatan perdagangan ini, telah membuktikan bahwa Indonesia dan Amerika Serikat tidaklah duduk sama rendah berdiri sama tinggi, yakni tidak berkedudukan setara (equal) dalam penentuan butir-butir kesepakatan yang ada. Yang nampak adalah dominasi AS yang sangat kuat, berhadapan dengan Indonesia yang lemah dan tak berdaya menghadapi hegemoni AS,” jelasnya.

 

Bagaimana mungkin, ujar Kiai, tarif 19 persen dianggap setara dan adil dengan tarif 0 persen. “Ke manakah perginya akal sehat dan hati nurani dari para petinggi negara Indonesia, yang hanya bisa membanggakan turunnya tarif impor AS dari 32 persen menjadi 19 persen, padahal penurunan tarif itu dikompensasi dengan tarif nol persen ketika barang dari AS masuk ke Indonesia?” ulasnya.

 

“Lalu bagaimana mungkin, untuk mendapat “prestasi” turunnya tarif dari 32 persen menjadi 19 persen itu, Indonesia rela menjual kedaulatannya kepada AS, dengan memberi akses kepada AS untuk mengelola data pribadi warga negara Indonesia? Bukankah tugas negara adalah menjaga seluruh tumpah darah Indonesia, agar tidak dieksploitasi dan dihisap oleh negara asing? Jika negara hanya menjadi instrumen negara asing untuk mengeksploitasi warganya sendiri, lalu apa gunanya negara ini didirikan? Apa gunanya?” imbuhnya lagi.

 

Walhasil, tuturnya, sesungguhnya kesepakatan perdagangan AS – Indonesia ini wajib ditolak oleh umat Islam, karena telah berani melanggar sejumlah ajaran Islam, sebagaimana telah diuraikan di atas. Kesepakatan Perdagangan AS – Indonesia ini tidaklah mungkin mendapat rida dari Allah Swt. karena jelas-jelas telah secara lancang melawan ajaran Islam.

 

“Coba pikirkan, mungkinkah Allah Swt. akan rida kepada kita, ketika kita tidak taat kepada-Nya? Tidak mungkin, bukan? Rasulullah saw. telah bersabda:

 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

 

Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak terdapat padanya perintah kami (tidak sesuai Islam), maka perbuatan tersebut tertolak. Wallāhu a’lam,” tutupnya dengan menukil hadis riwayat Al-Bukhari, no. 2697 dan Muslim, no. 1718.[] Rere


 

Opini

×
Berita Terbaru Update