Pendahuluan
“Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Amerika
Serikat (AS) Donald Trump sudah sama-sama menyepakati Kesepakatan Perdagangan
di antara kedua negara, khususnya terkait tarif resiprokal Amerika Serikat dan
Indonesia. Pernyataan bersama mengenai kesepakatan tersebut yang berjudul Framework
for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade, dirilis oleh
Gedung Putih, di Washington DC-AS, pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2025, waktu
setempat,” rilis Kiai Shiddiq kepada TintaSiyasi.ID, Sabtu (26/07/2025).
Ia menyebut, di antara poin paling menonjol dalam
kesepakatan tersebut adalah penurunan tarif impor AS dari Indonesia, yang
awalnya 32 persen, menjadi 19 persen. “Jadi barang-barang dari Indonesia yang
masuk ke AS, awalnya terkena tarif sebesar 32 persen. Nah berdasarkan
kesepakatan tersebut, tarif tersebut turun menjadi 19 persen. Namun di balik
itu, barang dari AS yang masuk ke Indonesia, akan dibebaskan dari tarif alias
tarifnya nol persen,” sebutnya.
“Terdapat sejumlah hal lain yang strategis yang
menjadi komitmen dari Indonesia kepada AS, sebagai persyaratan yang harus
dipenuhi Indonesia agar mendapat tarif 19 persen tersebut. Di antaranya adalah
AS diberi hak oleh Indonesia untuk mengakses dan mengelola data pribadi warga
negara Indonesia,” ungkapnya.
Lanjut diungkapkannya, dalam dokumen resmi Gedung
Putih yang dirilis pada hari Selasa (22/07/2025) tersebut, tertulis bahwa salah
satu poin penting kerja sama ini berbunyi, “Indonesia has committed to
address barriers impacting digital trade, services, and investment. Indonesia will provide certainty regarding
the ability to transfer personal data out of its territory to the United States.”
“Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi hambatan
yang mempengaruhi perdagangan digital, layanan, dan investasi. Indonesia akan
memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar
dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” ucap Kiai menerjemahkan dokumen tersebut.
Presiden AS Donald Trump mengomentari akses AS
terhadap data pribadi warga negara RI itu di halaman Gedung Putih, AS, Selasa
(15/07/2025), dengan berkata, "Kami telah membuat kesepakatan dengan
Indonesia. Saya berbicara dengan presidennya (Prabowo Subianto) yang luar
biasa, sangat populer, kuat, cerdas. Dan kami menyepakati perjanjian, kami
mendapatkan akses penuh ke Indonesia, segalanya."
Ia menyebutkan ada pula sejumlah komitmen lain dari
Indonesia yang menjadi persyaratan agar RI memperoleh tarif 19persen tersebut,
antara lain:
Pertama, Indonesia berkomitmen untuk
membeli energi AS senilai USD 15 miliar atau setara Rp244,41 triliun (asumsi
kurs Rp16.294 per dolar AS).
Kedua, Indonesia berkomitmen untuk
membeli berbagai produk pertanian Amerika, meliputi soybeans (kacang kedelai),
soybeans meal (bungkil kedelai), wheat (gandum), kemudian cotton (kapas),
senilai USD 4,5 miliar, atau setara Rp72,32 triliun.
Ketiga, Indonesia berkomitmen
membeli 50 pesawat Boeing produksi AS, sebagian besar tipe Boeing 777 yang
berharga miliaran dolar AS.
“Ada 12 poin utama kesepakatan perdagangan AS dan RI. Berikut
ini uraian selengkapnya 12 poin utama isi kerangka kesepakatan perdagangan AS
dan RI tersebut,” tuturnya.
1. Penghapusan Tarif oleh
Indonesia
Indonesia akan menghapus
sekitar 99 persen tarif atas produk industri, pangan, dan pertanian asal
Amerika Serikat.
2. Tarif Resiprokal AS
AS akan mengenakan tarif 19
persen terhadap produk asal Indonesia yang masuk Amerika Serikat, seperti
ditetapkan dalam Perintah Eksekutif 14257 tanggal 2 April 2025. Beberapa
komoditas tertentu bisa dikenakan tarif lebih rendah.
3. Aturan Asal Barang (Rules
of Origin)
Kedua negara akan menyusun
aturan asal barang agar manfaat perjanjian hanya berlaku untuk produk dari AS
dan Indonesia.
4. Penghapusan Hambatan Nontarif
Indonesia akan menghapus
syarat kandungan lokal, menerima standar kendaraan dan sertifīkat FDA (Food
and Drug Administration), yaitu suatu badan pengawasan untuk obat dan
makanan di AS, mengurangi aturan pelabelan dan inspeksi, serta menyelesaikan
isu kekayaan intelektual.
5. Penanganan Kapasitas Baja
Indonesia akan bergabung
dengan GFSEC (Global Forum on Steel Excess Capacity) atau Forum Global
Kapasitas Berlebih Baja, untuk mengatasi persoalan kelebihan kapasitas produksi
baja secara global untuk mengurangi dampak negatif dari kelebihan suplai baja
di pasar dunia.
6. Produk Pangan dan
Pertanian
Indonesia berkomitmen untuk
menghapus persyaratan izin impor atas produk pangan dan pertanian asal Amerika
Serikat, menetapkan status permanen bagi produk nabati tertentu, serta mengakui
sertifīkat dari otoritas regulasi AS untuk komoditas daging, unggas, dan susu
serta menetapkan status permanen Fresh Food of Plant Origin (FFPO).
7. Perdagangan Digital dan
Jasa
Indonesia akan mengizinkan
transfer data pribadi ke AS, menghapus tarif produk digital, mendukung
moratorium bea transmisi elektronik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO, World
Trade Organization), serta menghapus tarif dan deklarasi untuk produk tak berwujud.
8. Hak Tenaga Kerja
Indonesia akan melarang impor
barang hasil kerja paksa, memperbaiki perlindungan hak berserikat, dan
memperkuat penegakan hukum ketenagakerjaan.
9. Perlindungan Lingkungan
Indonesia berkomitmen dalam
perbaikan tata kelola kehutanan, pelarangan perdagangan kayu ilegal,
implementasi subsidi perikanan WTO, serta pemberantasan penangkapan ikan dan
satwa liar ilegal.
10. Ekspor Komoditas Industri
Indonesia akan mencabut
pembatasan ekspor komoditas industri ke AS, termasuk mineral penting.
11. Keamanan dan Rantai Pasok
Kedua negara sepakat bekerja
sama dalam pengamanan rantai pasok, investasi, dan ekspor, termasuk menangkal
praktik dagang curang.
12. Transaksi Komersial
Akan ada pembelian pesawat
senilai US$3,2 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan energi
sebesar US$15 miliar antara perusahaan AS dan Indonesia.
Tinjauan Kritis Perspektif Syariat
Islam
Kiai Shiddiq mengungkapkan, kesepakatan perdagangan antara
AS dan Indonesia tersebut merupakan kesepakatan yang tidak sah alias batal demi
hukum Islam, berdasarkan 4 (empat) alasan sebagai berikut :
Pertama, karena kesepakatan perdagangan
tersebut, khususnya kesepakatan mengenai tarif resiprokal, yaitu 19 persen
berbanding 0 persen, bertentangan dengan prinsip mu’āmalah bil mistli
dalam Islam. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwāl fī Daulat Al-Khilāfah, hlm. 102).
“Mu’āmalah bil mitsli dalam konteks perdagangan
internasional, merupakan prinsip penetapan tarif bea masuk yang semisal (al-mitsli),
yaitu harus ada kesamaan antara dua tarif, yaitu pertama, tarif ketika
barang dari negara asing (Dārul Harbi) masuk ke wilayah negara Islam (Daulah
Islāmiyyah/Khilāfah); kedua, tarif ketika barang dari negara Islam
masuk ke negara asing (Dārul Harbi),” ulasnya.
Ia mencontohkan ketika di masa Khalifah Umar Khaththab
ra., ketika ada barang yang masuk dari negara asing (Dārul Harbi) ke
dalam wilayah negara Islam, dikenakan tarif sebesar 10 persen (al-‘usyr).
Penetapan tarif sebesar 10 persen (al-‘usyr) oleh negara Islam ini
sesungguhnya bukanlah tarif yang sifatnya fīxed (tetap), namun
sebenarnya sekedar tarif yang dikenakan oleh Khalifah Umar sebagai praktik dari
prinsip mu’āmalah bil mitsli (perlakuan yang semisal/setara).
“Hal ini karena waktu itu barang dari negara Islam
yang masuk ke negara asing (Dārul Harbi), dikenakan bea masuk sebesar 10
persen oleh negara asing tersebut. Maka Umar pun merespons dengan mengenakan
tarif sebesar 10 persen (al-‘usyr) ketika ada barang yang masuk dari
negara asing (Dārul Harbi) ke dalam wilayah negara Islam, berdasarkan
prinsip mu’āmalah bil mitsli tersebut,” bebernya.
Maka dari itu, lanjut Kiai, jika suatu saat negara
Islam (Khilafah) tegak kembali, dan barang dari negara Islam yang masuk ke
negara asing (Dārul Harbi) dikenakan bea masuk sebesar 32 persen
(misalnya) oleh negara asing tersebut, maka negara Islam juga mengenakan tarif
32 persen ketika barang dari negara asing tersebut masuk ke negara Islam.
“Inilah prinsip mu’āmalah bil mitsli (perlakuan
yang semisal/setara) yang diajarkan dalam Islam dalam perdagangan internasional
(al-tijārah al-khārijiyyah),” jelasnya yang menukil pendapat Syekh Abdul Qadim
Zallum di dalam kitab Al-Amwāl fī Daulat Al-Khilāfah halaman 102.
Dengan demikian, lanjutnya, ketika barang dari
Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif 19 persen, sebaliknya dari barang AS
yang masuk Indonesia hanya dikenakan tarif 0 persen (alias nol persen), berarti
kesepakatan tarif resiprokal ini sangatlah bertentangan dengan prinsip mu’āmalah
bil mitsli (perlakuan yang semisal/setara) yang ada dalam agama Islam.
Ia menyebutkan dalil syariat untuk prinsip mu’āmalah
bil mitsli itu adalah dua ayat Al-Qur`an, yakni fīrman Allah Swt.:
فَمَنِ اعْتَدَى
عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُواْ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُواْ
اللهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Oleh sebab itu barangsiapa yang
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertakwa. (QS
Al-Baqarah: 194).
Prinsip mu’āmalah bil mitsli tersebut,
imbuhnya, juga berdasarkan fīrman Allah Swt.:
وَإِنْ
عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُواْ بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ
خَيْرٌ لِّلصَّابِرينَ
Dan jika kamu memberikan balasan,
maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.
Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang sabar. (QS Al-Nahl : 126).
Kedua, karena kesepakatan mengenai tarif
resiprokal tersebut, yang dapat dianggap sebagai sebuah akad (contract),
ternyata mempersyaratkan adanya akad-akad lain. “Di antaranya adalah: (1)
Indonesia diharuskan membeli energi dari AS senilai USD 15 miliar, (2)
Indonesia diharuskan membeli berbagai produk pertanian Amerika, senilai USD 4,5
miliar, dan (3) Indonesia diharuskan membeli 50 pesawat Boeing produksi AS,”
ulasnya.
Padahal, menurut Kiai Shiddiq, dalam Islam tidak
diperbolehkan adanya suatu akad (perjanjian) yang mengharuskan adanya akad-akad
yang lain secara mengikat. “Dalam bahasa Arab disebut mulzim; bahasa
Inggris dinamakan binding). Jadi komitmen Indonesia terhadap AS untuk
membeli energi AS, produk pertanian AS, dan pesawat Boeing tersebut,
seharusnya adalah komitmen yang sifatnya optional (pilihan/tidak mengikat),
bukan komitmen yang sifatnya mengikat (mulzim/binding),”
tandasnya.
Ibnu Mas’ūd RA telah meriwayatkan hadis bahwasanya:
نَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ
وَاحِدَةٍ
Nabi saw. telah melarang dua
kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad, no. 3783: Al-Bazzār, no. 2017; Al-Baihaqi,
no. 10994).
Ia menuturkan, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w.
1977) yang dimaksud dengan “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni
fī shafqatin wahidatin) adalah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu
‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad
yang lain. Selengkapnya Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan maksud hadis
tersebut dengan berkata sebagai berikut:
فَالْمُرَادُ
مِنْهُ وُجُودُ عَقْدَيْنِ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ كَأَنْ يَقُولَ: بِعْتُك دَارِيْ
هَذِهِ عَلَى أَنْ أَبِيْعَكَ دَارِي الْأُخْرَى بِكَذَا، أَوْ عَلَى أَنْ
تَبِيْعَنِيْ دَارَكَ، أَوْ عَلَى تُزَوِّجُنِيْ بِنْتَكَ. فَهَذَا لَا يَصِحُّ
لِأَنَّ قَوْلَهُ بِعْتُكَ دَارِي هَذِهِ عَقْدٌ، وَقَوْلَهُ عَلَى أَنْ
تَبِيعَنِيْ دَارَكَ عَقْدٌ ثَانٍ وَاجْتَمَعَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، فَهَذَا لَا
يَجُوْزُ.
“Jadi yang dimaksud dengan hadis itu, adalah adanya
dua akad dalam satu akad, misalnya seseorang berkata (kepada orang lain), ‘Saya
jual kepada kamu rumahku yang ini, dengan syarat aku jual kepadamu rumah aku
yang lain dengan harga sekian, atau dengan syarat kamu menjual kepada aku
rumahmu, atau dengan syarat kamu menikahkan aku dengan anak perempuanmu.’ Ini
tidak sah, karena perkataan dia, ‘Saya jual kepada kamu rumahku yang ini.’
adalah sebuah akad (akad pertama), dan perkataan dia, ‘Dengan syarat kamu
menjual kepada aku rumahmu,’ adalah akad yang kedua, dan kedua akad ini
berkumpul menjadi satu (yang satu menjadi syarat bagi yang lain), maka ini
tidak diperbolehkan,” urainya seraya menyitat pandangan Syekh Taqiyuddin
An-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, halaman
308.
“Berdasarkan hadis ini, jelaslah bahwa yang dilarang
dalam hadis, yaitu “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni fī
shafqatin wahidatin) maksudnya ialah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu
‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad
yang lain,” lugasnya.
Ia menyimpulkan, tidak boleh menurut hukum Islam
adanya kesepakatan AS dan Indonesia yang menetapkan tarif untuk barang dari
Indonesia yang masuk ke AS sebesar 19 persen --ini adalah satu akad (contract)--
tetapi kemudian AS menetapkan sejumlah syarat (conditions) berupa
akad-akad lain yang bersifat mengikat (yang disebut komitmen), yaitu: Indonesia
harus membeli energi dari AS, harus membeli sejumlah produk pertanian AS, dan
harus membeli 50 pesawat Boeing.
“Jelaslah bahwa sejumlah komitmen dagang tersebut
dalam hukum Islam tidak boleh dijadikan syarat yang bersifat mengikat bagi
Indonesia. Inilah ketentuan syariat Islam dalam masalah ini, yang bagi
Indonesia akan memberikan keleluasaan dan kemerdekaan untuk memilih opsi-opsi
dagang yang rasional dan menguntungkan,” serunya.
“Sikap Indonesia yang hanya manut saja kepada AS dalam
sejumlah syarat itu, menunjukkan posisi Indonesia yang lemah, yang dengan
sukarela telah menjadi budak ekonomi bagi AS, karena Indonesia mau saja tunduk
kepada syarat-syarat mengikat yang bersifat paksa yang memberatkan Indonesia.
Perjanjian seperti ini jelas menguntungkan bagi AS namun belum tentu
menguntungkan bagi Indonesia,” sesalnya.
Ketiga, karena perjanjian tarif resiprokal
ini mengandung syarat yang bertentangan dengan kedaulatan kita, yaitu adanya
hak AS untuk mengakses data pribadi warga RI. Dalam kesepakatan AS dan
Indonesia ini, antara lain terdapat poin yang berbunyi sebagai berikut:
“Indonesia will provide certainty
regarding the ability to transfer personal data out of its territory to the
United States.”
“Yang terjemahannya, Indonesia akan memberikan
kepastian mengenai kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari
wilayahnya ke Amerika Serikat,” katanya.
“Ini merupakan kesepakatan yang jelas sangat sembrono
dan jelas melanggar kedaulatan Indonesia, karena data pribadi warga yang harus
dilindungi oleh negara, justru oleh negara sendiri dialirkan secara bebas
kepada AS hanya demi kepentingan dagang. Negara macam apa ini, yang
mengorbankan rakyatnya sendiri demi kepentingan asing?” masygul Kiai.
Memang Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi)
Meutya Hafīd, lanjutnya, menjamin bahwa kebijakan transfer data pribadi dari
Indonesia ke Amerika Serikat ini, tidak akan dilakukan sembarangan. “Sebaliknya,
seluruh proses transfer data warga RI ke AS, kata Meutya Hafīd, akan dilakukan
dalam kerangka secure and reliable data governance, tanpa mengorbankan
hak-hak warga negara,” sitatnya.
Sambungnya lagi, tetapi sayangnya prinsip secure
and reliable data governance yang disebut-sebut oleh Meutya Hafīd itu,
hanyalah interpretasi sepihak dari Meutya Hafīd sendiri. “Jadi prinsip itu sama
sekali tidak terdapat dalam pernyataan bersama mengenai Kesepakatan Perdagangan
AS – Indonesia yang dirilis di Gedung Putih yang dirilis pada hari Selasa, 22
Juli 2025. Penjelasan Meutya Hafīd hanya bertujuan untuk menghibur dan menipu
warga Indonesia sehingga terkesan seolah-olah negara menjamin bahwa transfer
data ke AS itu akan dilaksanakan secara secure and reliable data governance,”
ungkapnya.
“Padahal dalam dokumen resminya, sama sekali tidak
disinggung adanya prinsip secure and reliable data governance itu. Jadi
kalau AS lalu melakukan penyalahgunaan (mis-use) data pribadi warga RI
yang ditransfer ke AS, maka AS dapat membela diri dan berkilah bahwa AS tidak
terikat dengan prinsip secure and reliable data governance, karena
prinsip ini hanya dinyatakan sepihak oleh RI (Meutya Hafid) tanpa dapat
dibuktikan secara hitam di atas putih terdapat dalam Kesepakatan Perdagangan AS
– RI tanggal 22 Juli 2025,” tegasnya.
Kiai menyayangkan, penyerahan data pribadi warga
negara RI sebagaimana dalam kesepakatan dagang AS dan Indonesia ini, jelas hal
yang berbahaya karena akan menjadikan AS dominan dan menguasai kaum Muslim di
Indonesia, khususnya dalam bidang perdagangan. Boleh jadi data pribadi warga RI
tersebut oleh AS akan disalahgunakan oleh AS, yaitu AS tak hanya menggunakan
data pribadi itu dalam konteks perdagangan, tetapi dimanfaatkan juga oleh AS
sebagai data intelijen untuk memantau dan memata-matai warga RI.
“Jelas ini sangat berbahaya karena transfer data
pribadi ini akan menjadi salah satu jalan bagi AS untuk semakin menguatkan
cengkeraman atau dominasinya atas warga negara RI, yang mayoritasnya Muslim.
Padahal Islam telah melarang adanya suatu jalan yang dapat dimanfaatkan oleh
kaum kafīr untuk menguasai atau mendominasi kaum Muslim, apakah itu jalan
politik, jalan ekonomi, jalan budaya, jalan perdagangan, atau pun berbagai
jalan lainnya,” tandasnya.
Ia pun menukil fīrman Allah Swt.:
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ
لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafīr untuk menguasai orang-orang yang
beriman. (QS
Al-Nisā`: 141).
Selain itu, imbuhnya, Islam telah melarang segala
bentuk bahaya (mudarat/dharar) yang dapat menimpa pada kaum Muslim,
sebagai akibat dari transfer data pribadi warga RI ke AS.
Kiai mengutip hadis Rasulullah saw. yang tidak
membolehkan adanya bahaya dalam pengertian umum dan luas, yang dapat menimpa
kaum Muslim, dengan sabdanya :
لاَ ضَرَرَ
وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh ada bahaya (bagi diri
sendiri) dan bahaya (bagi orang lain). (HR Ibnu Majah no. 2341; Ahmad dalam Al-Musnad
(1/313); Abu Ya’la dalam Al-Musnad,
(4/397); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabīr, no. 11086).
Keempat, karena AS adalah negara yang
terkategori negara kafīr harbi (daulah muhāribah fī’lan), karena telah
memerangi kaum Muslim secara nyata (de facto) di sejumlah negeri Islam. “Maka
dari itu, hubungan perdagangan antara kaum Muslim dengan AS sebagai kafīr harbi
(daulah muhāribah fī’lan) hukumnya haram dalam pandangan syariat Islam,”
tegas Kiai.
“Peperangan yang dilancarkan AS terhadap kaum Muslim
itu adakalanya dilakukan secara langsung, misalnya serangan militer AS ke Iran,
yang terjadi pada tanggal 22 Juni 2025 yang lalu. Hari itu Angkatan Udara dan
Angkatan Laut Amerika Serikat menyerang tiga fasilitas nuklir di Iran sebagai
bagian dari perang Iran–Israel. Fasilitas yang menjadi sasaran meliputi Pusat
Pengayaan Uranium Fordow, Fasilitas Nuklir Natanz, dan Pusat Teknologi Nuklir
Isfahan,” bebernya.
Adakalanya AS memerangi kaum Muslim secara tidak
langsung, “Misalnya, ketika AS menjadi negara utama yang mendukung “Israel”,
semoga laknat Allah atas AS dan “Israel”, dalam hal bantuan dana dan senjata
militer. Ketika AS memberi bantuan dana
dan persenjataan kepada “Israel” ini, berarti AS secara tidak langsung telah
turut terlibat dalam peperangan yang dilakukan oleh “Israel” yang memerangi
kaum Muslim di Palestina, khususnya di Gaza.”
“Menurut data yang ada, bantuan dana dan senjata dari
AS ke “Israel” sangatlah besar. Lembaga think-tank yang bernama Council
on Foreign Relations, menyatakan bahwa “Israel” telah menerima lebih dari 300
miliar dollar AS dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi sejak berdirinya
“Israel” pada tahun 1948, yang telah disesuaikan dengan inflasi. Menurut laporan
tahun 2023 dari Congressional Research Service (CRS), “Israel” adalah penerima
kumulatif terbesar bantuan luar negeri AS sejak Perang Dunia II,” ungkapnya.
Maka dari itu, Kiai menyarankan, sudah seharusnya
Indonesia memahami benar akibat hukumnya dalam syariat Islam, ketika AS
terkategori sebagai negara kafīr harbi (daulah muhāribah fī’lan), karena
terbukti telah memerangi kaum Muslim secara nyata (de facto) di sejumlah
negeri Islam.
“Akibat hukumnya dalam syariat Islam adalah haram
hukumnya kaum Muslim, baik individu, kelompok, maupun negara, menjalin berbagai
bentuk hubungan dengan AS, baik hubungan politik, ekonomi, militer, dan
sebagainya, termasuk di dalamnya adalah hubungan perdagangan,” lugasnya.
Ia menukil pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani di
dalam kitab Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām halaman 296 yang menjelaskan
hukum perdagangan antara negara Islam (Dārul Islam/Khilafah) dengan Dārul Harbi
yang kategorinya daulah muhāribah fī’lan (berperang secara de facto
dengan kaum Muslim), sebagai berikut :
أَمَّا لَوْ
كَانَتْ دَارُ الْحَرْبِ مُحَارِبَةً فِعْلًا (كَإِسْرَائِيلَ) فَإِنَّهُ لَا
تَجُوزُ التِّجَارَةُ مَعَهَا، لَا فِي سِلَاحٍ وَلَا فِيْ طَعَامٍ وَلَا فِي
غَيْرِهِ ، لِأَنَّ فِي كُلِّ ذَلِكَ تَقْوِيَةً لَهَا عَلَى الصُّمُودِ ضِدَّ
الْمُسْلِمِينَ، فَيَكُوْنُ مُعَاوَنَةً عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
فَيُمْنَعُ.
“Adapun jika Dārul Harbi itu adalah negara yang
berperang dengan umat Islam secara nyata (de facto), seperti “Israel”,
maka sesungguhnya tidak boleh melakukan perdagangan dengan negara itu, baik
perdagangan senjata, makanan, maupun yang lainnya, karena semua bentuk
perdagangan tersebut akan memperkuat negara itu untuk bertahan melawan kaum Muslim.
Maka perdagangan dengan Dārul Harbi yang statusnya daulah muhāribah fī’lan
(berperang secara de facto dengan kaum Muslim) akan menjadi pertolongan
dalam berbuat dosa dan dalam permusuhan (dengan kaum Muslim), maka perdagangan
itu dilarang.”
Kiai lugas menyatakan bahwa jelaslah hubungan
perdagangan umat Islam dengan AS (Amerika Serikat) yang berstatus daulah
muhāribah fī’lan (berperang secara de facto dengan kaum Muslim),
hukumnya haram dalam agama Islam, karena hubungan dagang ini justru akan
memperkuat AS dalam peperangannya melawan kaum Muslim, baik perang yang
sifatnya langsung maupun tidak langsung.
“Hubungan dagang seperti ini diharamkan dalam Islam,
karena merupakan tolong menolong untuk berbuat dosa dan untuk melakukan
permusuhan, sesuatu yang sudah dilarang oleh firman Allah Swt:
وَلَا
تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ
Dan janganlah kamu tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan,” ucapnya mengutip ayat Al-Qur’an surah Al-Mā`idah
ayat 2.
Penutup
“Kesimpulannya, berdasarkan 4 (empat) alasan yang
sudah diuraikan di atas, kesepakatan perdagangan antara AS dan Indonesia
tersebut merupakan kesepakatan yang batal demi hukum Islam dan tidak ada
nilainya dalam Islam,” tandasnya.
Presiden Indonesia yang mengadakan kesepakatan
perdagangan Indonesia – Amerika Serikat ini, dapat dikatakan telah mengabaikan
sama sekali tuntunan hukum-hukum syariat Islam. “Jadi, beliau ternyata terbukti
menjadi pemimpin sekuler yang sangat abai terhadap Islam. Yang menjadi acuannya
hanyalah nilai-nilai kemanfaatan yang sifatnya pragmatis, yang hanya melihat
segala sesuatu dari kacamata untung rugi secara bisnis, tanpa melihat halal
haramnya sesuatu berdasarkan syariat Islam,” sebutnya.
“Selain itu, kesepakatan perdagangan ini, telah
membuktikan bahwa Indonesia dan Amerika Serikat tidaklah duduk sama rendah
berdiri sama tinggi, yakni tidak berkedudukan setara (equal) dalam
penentuan butir-butir kesepakatan yang ada. Yang nampak adalah dominasi AS yang
sangat kuat, berhadapan dengan Indonesia yang lemah dan tak berdaya menghadapi
hegemoni AS,” jelasnya.
Bagaimana mungkin, ujar Kiai, tarif 19 persen dianggap
setara dan adil dengan tarif 0 persen. “Ke manakah perginya akal sehat dan hati
nurani dari para petinggi negara Indonesia, yang hanya bisa membanggakan
turunnya tarif impor AS dari 32 persen menjadi 19 persen, padahal penurunan
tarif itu dikompensasi dengan tarif nol persen ketika barang dari AS masuk ke
Indonesia?” ulasnya.
“Lalu bagaimana mungkin, untuk mendapat “prestasi”
turunnya tarif dari 32 persen menjadi 19 persen itu, Indonesia rela menjual
kedaulatannya kepada AS, dengan memberi akses kepada AS untuk mengelola data
pribadi warga negara Indonesia? Bukankah tugas negara adalah menjaga seluruh
tumpah darah Indonesia, agar tidak dieksploitasi dan dihisap oleh negara asing?
Jika negara hanya menjadi instrumen negara asing untuk mengeksploitasi warganya
sendiri, lalu apa gunanya negara ini didirikan? Apa gunanya?” imbuhnya lagi.
Walhasil, tuturnya, sesungguhnya kesepakatan
perdagangan AS – Indonesia ini wajib ditolak oleh umat Islam, karena telah
berani melanggar sejumlah ajaran Islam, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Kesepakatan Perdagangan AS – Indonesia ini tidaklah mungkin mendapat rida dari
Allah Swt. karena jelas-jelas telah secara lancang melawan ajaran Islam.
“Coba pikirkan, mungkinkah Allah Swt. akan rida kepada
kita, ketika kita tidak taat kepada-Nya? Tidak mungkin, bukan? Rasulullah saw.
telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang melakukan suatu
perbuatan yang tidak terdapat padanya perintah kami (tidak sesuai Islam), maka
perbuatan tersebut tertolak. Wallāhu a’lam,” tutupnya dengan menukil hadis riwayat Al-Bukhari,
no. 2697 dan Muslim, no. 1718.[] Rere