Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ibu Pertiwi yang Kaya, Merdeka, tetapi Merana

Senin, 28 Juli 2025 | 19:44 WIB Last Updated 2025-07-28T12:44:44Z

TintaSiyasi.id -- Indonesia, negeri kepulauan yang indah dengan kekayaan alam yang melimpah, dari gunung yang menjulang tinggi hingga laut yang luas, dari hutan hujan tropis yang rimbun sebagai paru-paru dunia, hingga keindahan alam bawah lautnya menakjubkan, dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, dan keaneragaman hayati, menyimpan potensi besar bagi kemajuan bangsa, kesejahteraan rakyat, dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Karena itulah, pada masa kebudayaan Hindu-Budha mendominasi Nusantara, jauh sebelum merdeka, dijuluki sebagai Ibu Pertiwi, artinya alamnya bisa memenuhi kesejahteraan rakyat dan mengayomi, tak ubahnya seperti seorang ibu. Selain itu oleh dunia Internasional Indonesia juga mendapat julukan negara Khatulistiwa, merujuk pada posisi geografis yang terletak di garis khatulistiwa (equator), serta keindahan alamnya yang memukau seperti batu zamrud yang hijau dan subur.
Kekayaan alam yang luar biasa besar, sebagai contoh, pendapatan gabungan dari: minyak mentah, gas alam, batubara, emas, tembaga, nikel, hutan, dan kelautan sebesar 5.500 triliun rupiah per tahun, angka tersebut dua kali pendapatan APBN 2022 yang 1.846,1 triliun rupiah (majalah Al-Wai’e, Mei 2024).


Indonesia Merdeka

Penjajahan di mulai 1912 saat Belanda kesulitan menundukkan Aceh, sejak itu seluruh wilayah Indonesia resmi dibawah kolonial Belanda hingga akhir 1942. Setelah itu, tiga tahun Jepang menduduki Indonesia. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaanya (Jurnal Widya Winayata, Vol 9 No.3, 2021).

Masyarakat pada umumnya, memahami Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, padahal angka itu muncul dari kelakar sombong Gubernur Jendral B.C.de Jonge: “Kami orang Belanda sudah berada di sini 300 tahun dan Kami akan tinggal disini 300 tahun lagi”, untuk memukul mental kaum pergerakan. (Absiroh et al, 2017).

Sudah menjadi tradisi, setiap tahun bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia, diadakan upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta, tepat pada tanggal 17 Agustus. Upacara kenaikan bendera sang saka merah putih, sebagai simbul Bangsa Indonesia masih merdeka, bertindak sebagai pemimpin upacara kepala negara. Selain itu masyarakat mengadakan berbagai kegiatan: lomba antar kampung, pertandingan olah raga, renungan malam, panggung kesenian, dan lain-lain.


Derita Nyata dalam Kehidupan 

Kemeriahan dan kegembiraan peringatan kemerdekaan, bukan cerminan kehidupan nyata. Beberapa peristiwa memilukan terjadi di tengah masyarakat, yang sudah delapan puluh merdeka, antara lain:
 
Sebuah toko ritel di jalan Siliwangi Cianjur, membutuhkan tenaga kerja untuk 50 posisi. Tapi miris, ribuan pelamar sudah ngantri sejak shubuh sampai mengular di bahu jalan, belum lagi berdiri berjam-jam di bawah terik matahari, bukti krisis lowongan kerja, Senin (14/07/2025).
Memilukan, saat antri makan gratis di hajatan pernikahan anak Gubernur Jawa Barat KDM (Kang Dedi Mulyadi) di Lapangan Otto Iskandar Dinata Garut, jum’at 18 Juli 2025, berakhir duka, tiga orang wafat karena di luar dugaan yang hadir ribuan orang, sementara tempatnya tidak memadai.
Dua orang pingsan, saat mengantri sembako murah membludak di Bekasi Barat. Satu paket harga Rp 142.000, masyarakat cukup bayar Rp 72.000 saja, berisi: Beras 5 kg, Gula 1 kg, Minyak Goreng 2 l, dan 1 kg terigu, Selasa (19/3/2025).


Neoliberalisme Menjajah Ibu Pertiwi

Memang benar, penjajah Belanda telah hengkang secara fisik delapan puluh tahun yang lalu dari Ibu Pertiwi, tetapi kenyataannya saat ini masih dijajah bangsa lain dengan penjajahan gaya baru (neoliberalisme), khususnya di bidang politik, ekonomi dan budaya. Bidang politik paling besar dampak kerusakannya, dengan diterapkannya demokrasi sekuler, di mana manusia diberi hak untuk membuat hukum/undang-undang dalam lembaga legislatif. Aturan yang diberlakukan di tengah masyarakat harus dikesepakati anggota dewan, dalam semua perkara.

Maka suatu masalah yang status hukumnya wajib menurut Islam, melalui lembaga legislatif memungkinkan berubah status hukumnya menjadi tidak wajib. Sebagai contoh paling mudah dipahami dalam kasus ini adalah pembunuhan manusia, sanksi bagi seseorang yang telah terbukti membunuh, sanksi dalam sistem pidana Islam wajib balas dibunuh (qishas), kecuali keluarga kurban memaafkan. Hukum pidana yang berlaku saat ini bagi pembunuh hanya di penjara 15 tahun sampai 20 tahun saja, maksimal hukuman seumur hidup.

Tidak dipungkiri, Ibu Pertiwi yang kaya dan merdeka, adalah karunia besar dari Allah SWT, agar kehidupan rakyat merasakan adil, makmur, sejahtera kerta raharja, maka saatnya tinggalkan sistem demokrasi sekuler diganti dengan Syariat Islam secara kaffah, In syaa Allah menjadi berkah. Sebaliknya, jika tidak, maka akan didapatkan kehidupan sempit seperti yang sekarang masih dialami Ibu Pertiwi, merana.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Imam Wahyono
Kurir Ideologis, Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API) III 2025

Opini

×
Berita Terbaru Update