Tintasiyasi.id.com -- Di tengah gencarnya digitalisasi layanan keuangan, publik kembali dikejutkan oleh kasus korupsi besar: pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) BRI tahun 2020–2024 yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 744,5 miliar.
Kasus ini menjadi bukti bahwa meskipun sistem pengawasan diperketat, korupsi tetap menjalar—menunjukkan bahwa kerusakan ini bersifat sistemik, bukan insidental.
Kasus korupsi EDC BRI bermula dari pengadaan sekitar 100 ribu unit mesin EDC untuk memperluas jaringan transaksi digital BUMN tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya, banyak unit tidak sesuai spesifikasi, penggelembungan harga terjadi, dan pembayaran proyek diduga dilakukan atas dasar mark-up, bukan realisasi kerja.
Hasil penyidikan KPK menyebut kerugian negara mencapai Rp 744,5 miliar, dan penyitaan sudah mencakup uang tunai, bilyet deposito, dan aset mewah. Tapi publik tahu persis: kerugian etis dan kepercayaan jauh lebih besar daripada angka itu (www.tempo.co/13/07/2025).
Kenapa Korupsi Terus Terjadi? Ini Masalah Sistemik!
Dalam sistem kapitalisme, yang diterapkan ditengah kehidupan kaum Muslim hari ini, materi adalah ukuran utama sukses dan kehormatan di tengah masyarakat. BUMN yang seyogyanya badan usaha milik negara yang tidak semestinya mengejar keuntungan semata, pun didorong mencari untung layaknya korporasi swasta.
Tak heran jika akhirnya muncul proyek-proyek raksasa pengadaan alat seperti EDC rawan “dipangkas” oleh oknum demi keuntungan pribadi.
Kasus korupsi didalan sistem Kapitalisme sekular hari ini bukan hanya permasalahan yang muncul akibat pengawasan yang lemah, tapi hilangnya integritas sistemik. Di sekolah tidak diajarkan takut kepada Allah, di parlemen hanya sibuk lobi proyek, dan aparat negara dipilih karena “siapa yang mendukung”, bukan karena kelayakan moral dan amanah.
Tidak adanya rasa takut kepada Allah, ditengah gempuran gaya hidup materialistis, menjadikan pejabat tidak berfikir panjang dalam bertindak, karena halal-haram tidak lagi menjadi standar dalam perbuatan mereka
Berapa banyak koruptor yang dihukum ringan, bebas bersyarat, bahkan hidup mewah di dalam bui?
Tidak adanya sistem sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi, seolah justru memunculkan stigma selama uang dikantong tebal, maka hukum bisa dibeli.
Berbeda dengan sistem Kapitalisme sekular yang diterapkan sekarang, Islam memiliki mekanisme pengaturan dan pengelolaan harta negara, keuangan publik, dan pengawasan pejabat secara menyeluruh, baik secara teknis maupun moral.
Pertama, Sistem Keuangan Islam Bebas Riba dan Manipulasi. Islam sebagai sebuah sistem kehidupan, tidak hanya sekedar mengajarkan ibadah ritual. Islam memastikan bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahannya tidak akan ada proyek-proyek mark-up demi bunga atau target korporat. Pengelolaan dana publik dilakukan melalui Baitul Mal, bukan bank konvensional yang ribawi.
Kedua, Kepemimpinan Amanah dan Takut pada Allah. Dalam Islam, negara akan memastikan bahwa setiap individu akan mendapatkan pendidikan yang akan membentuk kepribadian Islam bagi rakyatnya.
Dengan demikian setiap individu memiliki pemahaman bahwa jabatan adalah beban yang berat yang kelak akan di mintai pertanggungjawaban hadapan Allah.
Islam menuntut bahwa dipilihnya seorang penguasa, pejabat, dan aparatnya adalah karena ketaqwaannya, bukan popularitas yang dimiliki atau kedekatan dan loyalitas terhadap partai
Dalam sejarah Islam Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah memadamkan lampu negara saat bicara urusan pribadi – itulah contoh standar moral kepemimpinan dalam Islam. Jabatan tidak menjadikan peluang untuk bisa mengeruk dan menikmati berbagai fasilas serta sarana dan prasarana milik negara
Ketiga, Hukum Islam Menjerakan dan Mendidik. Sistem sanksi dalam Islam tidak sekadar menghukum pelaku kejahatan/kemaksiyatan tapi Islam juga sekaligus mendidik umat termasuk didalamnya para pejabat dengan nilai iman.
Islam menetapkan bahwa korupsi (ghulul) termasuk pengkhianatan terhadap amanah, sehingga pelakunya bisa dihukum takzir berat, hingga pengasingan atau perampasan aset.
Jika tindakan korupsi menyebabkan kerusakan/ kerugian yang lebih besar terhadap publik (hirabah), hukuman bisa setara dengan perampok berdarah dingin
Wajib Ubah Sistem, Bukan Sekadar Ganti Pelaku
Kasus EDC BRI hanya satu dari sekian banyak wajah bobroknya pengelolaan negara hari ini. Jika kita hanya menyalahkan oknum, tanpa menyentuh akar masalah sistem, maka korupsi hanya akan berganti orang dan bentuk.
Sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus korupsi yang semakin beragam modusnya.
Bukan sekadar tambal sulam reformasi hukum, tapi transformasi total dalam bingkai syariah kaffah .Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, amanah bisa dijaga, dan harta rakyat benar-benar dilindungi.[]
Oleh: Erlis Agustiana
(Aktivis Muslimah)