TintaSiyasi.id -- Lagi dan lagi. Tambang kembali menjadi ancaman bagi kelestarian alam dan makhluk hidup yang ada di dalamnya, termasuk manusia. Raja Ampat yang sering disebut sebagai surga dunia kini terancam. Aktivitas penambangan Nikel berpotensi membawa dampak ekologis serius. Misalnya, rusaknya terumbu karang, pencemaran laut, hingga terancamnya keberlangsungan hidup masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari laut. (cnnindonesia.com, 11/6/2025)
Jumlah penduduk Raja Ampat sendiri mencapai 70,81 ribu jiwa pada 2024 (databoks) dengan beberapa suku adat yang mendiami beberapa wilayahnya. Raja Ampat tumbuh atas kesadaran masyarakatnya. Dengan penjagaan yang baik, kelestarian alamnya terjaga, keseimbangan ekosistemnya terpelihara. Dampaknya Raja Ampat menjadi laboratorium laut dunia. Di dalamnya terkandung kekayaan ilmu pengetahuan yang bahkan belum terkeksplorasi. (detik.com, 7/6/2025)
Diketahui terdapat lebih dari 1.000 spesies ikan, dari mulai ikan yang biasa kita jumpai, sampai ikan yang unik dan langka. Juga sekitar 75% terumbu karang dunia dapat ditemukan disana. Ditambah dengan pesona alam yang menakjubkan menjadikan Raja Ampat semakin dicintai oleh para wisatawan. Namun sayangnya berbagai macam keindahan dan kekayaan tersebut nampaknya hanya akan menjadi cerita jika aktivitas penambangan di sekitar kawasan tersebut terus dilanjutkan.
Tercatat ada 5 perusahaan yang melakukan aktivitas tambang di kawasan Raja Ampat. Meskipun 4 perusahaan sudah dicabut izin usaha pertambangannya (cnbcindonesia.com, 10/6/2026), tetapi 1 perusahaan tetap diizinkan beroperasi dengan dalih jauhnya jarak lokasi pertambangan dengan kawasan wisata Raja Ampat. Padahal secara hukum ini menyalahi aturan. Dimana dalam Undang-undang no. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesidir dan Pulau-pulai Kecil Pasal 35 (k) disebutkan pelarangan terhadap penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat.
Aktivitas pertambangan ini sudah berlangsung lama. Greenpeach mengungkapkan bahwa pertambangan di Pulau-Pulau kecil Raja Ampat telah menyebabkan deforestasi hingga 500 hektare dan pencemaran lingkungan. Paulina, salah satu anak muda dari Raja Ampat mengatakan "Hutan kami hilang, laut kami rusak, dan masyarakat kini saling bermusuhan". (bbc.com 4/6/2025) Sementara itu Global Forest Watch mencatat dalam kurun waktu 22 tahun sekitar 11.700 hektar hutan primer di Raja Ampat hilang. Begitupun dengan wilayah perairannya mengalami sedimentasi berat yang membawa dampak lanjutan.
Aktivitas pertambangan PT. Gag Nikel yang izinnya tidak dicabut berada di Pulau Gag, yang berada di tengah Laut Halmahera, antara Pulau Papua dan Pulau Halmahera. Sementara jarak dari Pulau Gag sampai ke kawasan wisata Raja Ampat sekitar 42,9 kilometer. (kompas.com, 9/6/2025). Namun jangan lupa bahwa aktivitas yang terjadi diperairan sedikit demi sedikit akan melebar dan meluas dampaknya. Artinya ekosistem laut dan aktivitas masyarakat tetap terancam.
Pemerintah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung, tetapi pemerintah pula yang mengizinkan perusahaan tambang terus beroperasi dengan resiko yang tidak mungkin dihindari. Beginilah saat negara berada dalam sistem kapitalis. Di mana segelintir elit kekuasaan berkolaborasi dengan dengan para pemilik modal untuk merampas hak rakyat atas nama investasi dan pembangunan berbasis eksploitasi Sumber Daya Alam. Semua dilakukan dengan dalih mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh Indonesia.
Pada kenyataannya potensi ekonomi yang dikatakan meningkat dengan adanya pertambangan tidak sebanding dengan kerusakan alam yang ditimbulkan. Padahal potensi ekonomi yang bisa dihasilkan hanya dari memaksimalkan kawasan wisata Raja Ampat saja cukup besar. Tanpa merusak lingkungan, tanpa mengorbankan masyarakat. Uangpun akan berputar di masyarakat, bukan ditangan para korporat.
Inilah potret dari sistem kapitalisme yang lahir dari paham sekularisme dan liberalisme, pemuja kebebasan. Dalam sistem ini tidak mengenal halal-haram. Terlebih untuk masuk dalam kursi kekuasaan melalui politik demokrasi yang berbiaya mahal. Maka sangat mungkin jika setiap rezim kekuasaan dikuasai oleh kekuatan modal yang mengakibatkan dihadapkannya dengan berbagai konflik kepentingan. Terbukti dengan banyaknya aturan yang justru melegitimasi kepentingan para kapital. Kepentingan rakyat dikesampingkan. Tidak peduli alam rusak, yang penting cuan.
Islam mengatur sedemikian rupa. Termasuk bagaimana kepemilikan terhadap sumber daya alam dan pengelolaannya. Bagaimana pengelolaan terhadap sumber daya alam tidak menjadikannya rusak, tercemar, dan bahkan membawa dampak buruk bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, melainkan memberikan dampak positif, baik secara ekonomi, maupun kehidupan. Surga dunia pun bukan hanya tercipta di Raja Ampat, tetapi di setiap kawasan karna dikelola dengan baik sesuai aturan yang syariat tetapkan.
Di dalam Islam, penguasa adalah pelayan rakyat yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat, bukan pelayan korporat yang melakukan berbagai macam cara agar para korporat bebas menjalankan kepentingannya, sekalipun rakyat jadi korbannya. Sementara rakyat adalah pembangun peradaban gemilang dengan generasi cemerlang. Ada hubungan harmonis yang terjalin antara penguasa dan rakyat. Semua diatur dalam aturan yang sempurna, yakni Islam.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A'raf : 96).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Firdayantu Solihat
(Founder @kristal_bening.id)