Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Penambangan Nikel di Raja Ampat: Kapitalisme, Kerusakan Alam dan Solusi Islam

Sabtu, 14 Juni 2025 | 17:32 WIB Last Updated 2025-06-14T10:32:50Z

Tintasiyasi.id.com -- Raja Ampat, surga tropis yang menyimpan puluhan ribu spesies laut dan menempatkan Indonesia sebagai pusat keanekaragaman biologis dunia, tengah berada di titik krisis. Di tengah kekayaan ekologi yang luar biasa itu, tambang nikel mulai menancapkan tapaknya.

Aktivitas ini terjadi di pulau-pulau seperti Gag, Kawei, Batang Pele, dan Manyaifun — lokasi-lokasi yang menjaga keragaman hayati yang bahkan dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional.

Ancaman pada Ekosistem dan Hukum Negara

Masyarakat adat Suku Kawei di Kampung Manyaifun menolak keras rencana penambangan di Pulau Batan Pelei karena khawatir akan dampaknya terhadap ekosistem dan perekonomian berbasis pariwisata dan perikanan.

Data menunjukkan bahwa di pulau utuh seperti Kawei—seluas sekitar 10.000 ha—ekosistemnya bisa hilang dalam 15 tahun, jika penambangan tetap berlanjut . 

Terumbu karang yang selama ini menjadi rumah bagi ribuan ikan, penyu, dan manta ray terancam rusak karena sedimentasi akibat pembukaan lahan tambang dan limbah yang langsung mencemari laut.

Limbah beracun juga terbawa ke pesisir, mencemari mangrove dan lahan laut, menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan serta menurunnya jumlah wisatawan .

Parahnya, kasus ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga melukai hukum. Penambangan terjadi di pulau kecil dan wilayah konservasi tanpa izin AMDAL lengkap, melanggar UU No. 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Banyak operasi diduga ilegal, bahkan ada perusahaan yang tidak sepenuhnya melalui konsultasi publik dan analisis dampak lingkungan . Komunitas adat dan Koalisi Pariwisata selama ini juga mengemukakan penolakan melalui petisi dan aksi sosial yang semakin meluas.

Reaksi Pemerintah dan Sorotan Publik

Desakan keras dari masyarakat, aktivis lingkungan, dan lembaga internasional memaksa pemerintah bertindak. Sejumlah kementerian akhirnya memutuskan penghentian sementara beberapa operasional tambang nikel di Maluku Utara, meskipun bukan di Raja Ampat secara keseluruhan.

Namun, penghentian ini belum bersifat permanen dan belum menyelesaikan akar masalahnya—yaitu struktur kekuasaan korporasi tambang yang mampu menundukkan hukum demi keuntungan sesaat.

Dua sisi kontradiktif yang muncul yaitu keuntungan ekonomi semu atas kertas, namun kerusakan permanen pada alam serta punahnya mata pencaharian masyarakat lokal.

Kapitalisme Lepas Tanggung Jawab

Ironi terbesar muncul saat keuntungan investor nikel diklaim mendukung hilirisasi dan energi hijau, sementara merusak pusat keanekaragaman hayati utama negara. 

Padahal, kerusakan ini tidak hanya merusak lingkungan; banyak komunitas adat dan nelayan kini kehilangan akses terhadap laut yang selama ini menopang kehidupan mereka. 

Fasilitas reklamasi dan teknologi pengendalian dampak yang diklaim “ramah lingkungan” nampaknya gagal menyelesaikan isu mendasar: proses tambang tetap melukai ekosistem.

Ini menegaskan mekanisme pasar dan politik ekonomi yang tidak efektif memaksa korporasi merusak — menggambarkan bagaimana modal besar memiliki kekuatan lebih kuat daripada hukum dan kelestarian masyarakat. Isu klasik kapitalisme yang mengabaikan nilai umum demi keuntungan jangka pendek.

Sentilan Internasional dan Masyarakat Adat

Bukan hanya warga setempat yang menjerit, suara dunia pun terangkat. Organisasi seperti Greenpeace, Auriga Nusantara, dan Climate Rights International memperingatkan bahwa pencemaran logam berat akan membahayakan masyarakat sekitar hingga ribuan orang yang bergantung pada air bersih.

Ditambah pula, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menegaskan bahwa kegiatan pertambangan ini menabrak prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)—satu syarat penting dalam perlindungan hak-hak orang asli.

Menguak Solusi: Islam Kaffah dan Konsep Hima

Dalam kerangka Islam kaffah, sumber daya alam bukan komoditas untuk dikuasai korporat, melainkan amanah Allah dan milik umum (mālikīyah ‘āmm) yang harus dikelola secara adil oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Syariat menetapkan larangan eksploitasi berlebihan yang merusak lingkungan. Konsep hima—kawasan terlindungi—amat selaras dengan konservasi: daerah konservasi laut atau daratan seperti Raja Ampat, dalam sistem Islam sejati, wajib dijaga dari eksploitasi komersial.

Nabi ﷺ bersabda, “Semua manusia adalah pemelihara dan bertanggung jawab atas lingkungan sekitarnya” (hadis). Ini bukan hanya pedoman moral, tetapi landasan hukum syar’i yang mengharuskan pelaku kerusakan alam dikenakan pidana sesuai kategori ḍarā’ir (bahaya) dan ʿawārith (kompensasi/restorasi). 

Pemimpin dalam Islam adalah ra‘in (penjaga), yang berkewajiban menegakkan aturan syariah: mencabut izin tambang ilegal, mempidana pelaku perusakan, dan memprioritaskan pemulihan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.

Model negara Khilafah (sebagaimana dikembangkan Hizbut Tahrir) menyoroti pentingnya peran negara dalam memastikan izin SDA sesuai syariat, bukan berdasarkan kepentingan modal semata, serta keterlibatan ulama, ilmuwan, dan masyarakat adat dalam pengawasan.

Selain itu, syariah menjamin keadilan antargenerasi (al-ʿadl bayn al-ajyāl)—artinya saat ini bukan sekadar generasi yang memanfaatkan sumber daya, tetapi juga mempersiapkannya untuk masa depan. Bila hutan dan lautan rusak, generasi selanjutnya kehilangan aset dan warisan alam yang tak ternilai harganya.

Penutup: Jalan Keluar dalam Syariah dan Akal

Penambangan nikel di Raja Ampat adalah gabungan tragis antara ketamakan korporasi dan kegagalan negara sekuler kapitalis. Meski UU sudah ada, aparat hukum tak cukup kuat menahan tekanan pemodal dan politik.

Paradigma ekonomi jangka pendek menang, sedangkan fungsionalitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat masih lemah. Dalam Islam kaffah, SDA adalah amanah. Negara bertanggung jawab menjaga, rakyat wajib mendukung melalui pengawasan publik. 

Konsep hima, keseimbangan antargenerasi, dan prinsip keadilan syariah mampu meredam bencana kapitalisme dan mendefinisikan ulang hubungan manusia dengan alam.

Barang siapa menghancurkan lingkungan, berarti melanggar hukum dan pertanggungjawaban kepada Tuhan dan manusia.
Raja Ampat bukan bacaaan statistik. Ia adalah warisan alam, rumah budaya dan spiritual.

Bila terus dieksploitasi, kelestarian akan sirna, tapi tanggung jawab manusia akan berat. Dalam Islam kaffah, solusi bukan hanya penghentian operasional tambang, melainkan perubahan sistem pengelolaan SDA—dari 'ekstraktif' menjadi 'ekologis-keadilan'. Hanya dengan itu, alam, iman, dan generasi akan terbela secara utuh.[]

Oleh: Prayudisti S. P
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update