TintaSiyasi.id -- “Engkau bukan dari tanah, meski tubuhmu berasal dari tanah. Engkau bukan dari langit, meski ruhmu berasal dari langit. Engkau adalah jembatan antara keduanya.” (Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi)
Pendahuluan: Siapakah Manusia?
Dalam perenungan eksistensial yang terus menggelisahkan para pencari makna, pertanyaan “siapakah manusia?” senantiasa muncul. Bukan hanya dalam filsafat dan psikologi, namun juga dalam dunia spiritualitas Islam. Salah satu tokoh sufi terbesar, Jalaluddin Rumi, melalui karyanya Fihi Ma Fihi, menggambarkan manusia bukan sekadar makhluk biologis, tetapi entitas ruhani yang berdiri di antara dua kutub eksistensial: malaikat dan binatang.
Manusia bukanlah malaikat yang sepenuhnya nurani, dan bukan pula binatang yang sepenuhnya naluri. Manusia adalah makhluk yang mengandung kebebasan memilih. Di dalamnya terdapat potensi ilahi dan potensi hewani, yang saling berebut pengaruh. Maka manusia, kata Rumi, adalah medan pertempuran antara cahaya dan kegelapan.
Hakikat Ganda Manusia: Cahaya dan Lumpur
Jalaluddin Rumi mewarisi pemahaman Qur’ani yang dalam tentang manusia: bahwa manusia diciptakan dari dua unsur utama:
• Lumpur hitam (jasmani) – “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr: 26)
• Ruh ilahi (ruh dari Tuhan) – “Kemudian Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku…” (QS. Shad: 72)
Bagi Rumi, keberadaan ini bukan sekadar biologis, tapi mengandung makna spiritual yang mendalam. Tubuh manusia adalah bejana tanah yang rapuh, namun di dalamnya menyala pelita ruh, sebuah cahaya yang berasal dari alam malakut. Maka setiap manusia hidup dalam tegangan antara langit dan bumi, antara tarikan hawa nafsu dan panggilan ruh suci.
Malaikat Tanpa Nafsu, Binatang Tanpa Akal, Manusia dengan Keduanya
Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi menulis:
"Malaikat tidak memiliki nafsu dan kehendak bebas; mereka tidak mengenal rasa lapar, amarah, atau cinta dunia. Binatang memiliki nafsu, tapi tidak memiliki akal dan kesadaran akan Tuhan. Sedangkan manusia memiliki keduanya, dan di sinilah kemuliaannya sekaligus bahayanya."
Maka, manusia bisa lebih tinggi dari malaikat bila ia mampu menundukkan hawa nafsunya demi ketaatan kepada Allah. Namun ia juga bisa lebih rendah dari binatang bila ia membiarkan nafsunya menjadi penguasa jiwanya.
Inilah pesan agung dari Rumi: "Engkau bukanlah siapa-siapa sampai engkau memilih siapa dirimu." Itulah inti dari kehormatan manusia—kebebasan memilih jalan Tuhan atau jalan nafsu.
Pertarungan Batin: Arena Perjuangan Sejati
Rumi tidak melihat kehidupan sebagai perjuangan lahiriah semata, tapi sebagai perjalanan ruhani menuju Allah. Setiap godaan dunia, setiap bisikan ego, adalah ujian yang harus ditaklukkan oleh jiwa pencari kebenaran.
“Nafsumu seperti seekor kuda liar. Jika engkau menungganginya dengan kendali ruh, engkau akan tiba di hadapan Tuhan. Jika engkau ditungganginya, engkau akan dilempar ke jurang.”
Manusia yang tidak mampu mengenali musuh dalam dirinya—yaitu nafsu, ego, kesombongan—akan tersesat dan kehilangan arah. Sedangkan mereka yang berjuang mengalahkan dirinya, akan menemukan kemerdekaan sejati, yaitu menjadi hamba Tuhan, bukan budak dunia.
Cermin Diri: Tikungan Menuju Pencerahan
Rumi sering menggunakan simbol cermin dalam puisinya. Hati manusia adalah seperti cermin. Bila ia dipenuhi debu dan karat—dosa, kesombongan, cinta dunia—maka ia tidak akan mampu memantulkan cahaya Ilahi. Tapi bila hati itu dibersihkan dengan taubat, zikir, dan cinta kepada Allah, maka ia akan bersinar dan memantulkan wajah Tuhan.
"Engkau adalah cermin bagi sang Kekasih. Tapi bila cerminnya kotor, bagaimana mungkin cinta-Nya terpantul di wajahmu?"
Rumi mengajak umat Islam untuk berhenti menyalahkan dunia luar, dan mulai membersihkan dunia dalam, karena di sanalah letak medan jihad terbesar.
Jalan Menuju Malaikat: Pendidikan Ruhani dan Cinta Ilahi
Apa solusi Rumi untuk manusia agar tidak terperosok menjadi binatang?
Rumi memberikan dua jalan utama:
1. Tarbiyah Ruhaniyah (pendidikan jiwa) – melalui mujahadah, riyadhah (latihan batin), zikir, membaca Al-Qur'an, dan berkumpul dengan orang-orang saleh.
2. Mahabbah Ilahiyah (cinta kepada Allah) – karena cinta adalah energi tertinggi yang bisa mencairkan kerak hati dan memotivasi jiwa untuk menuju Yang Maha Indah. Bagi Rumi, agama bukanlah beban hukum, tapi tarikan cinta. Ketika seseorang mencintai Allah, maka meninggalkan maksiat bukan lagi paksaan, tapi kerinduan. Dan dalam cinta itulah, manusia naik setahap demi setahap, meninggalkan dunia kebinatangan, dan terbang menuju langit malaikat.
Penutup: Memilih Jalan Malaikat dalam Dunia Binatang
Hari ini, umat manusia hidup dalam dunia yang semakin membenarkan syahwat, mengejar materi, dan mengabaikan ruh. Di tengah gelombang ini, ajakan Rumi masih bergema: jadilah manusia, bukan binatang. Bahkan jadilah malaikat, meski engkau masih hidup dalam jasad.
“Jangan puas menjadi abu dari api dunia. Jadilah api yang membakar gelap dan menghangatkan jiwa.”
Rumi tidak sekadar menawarkan teori. Ia mengajak kita untuk memulai perjalanan spiritual yang nyata. Dari mengenali diri, mengendalikan nafsu, mencintai Tuhan, hingga menjadi manusia paripurna—insan kamil.
Semoga kita semua, dengan rahmat Allah, bisa menapaki jalan itu—jalan yang membebaskan manusia dari kebinatangan dan mengantarkannya menjadi cahaya di bumi.
Wallahu a‘lam.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo