Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Absurditas Politik Mantan Presiden

Senin, 26 Mei 2025 | 13:54 WIB Last Updated 2025-05-26T07:12:18Z

Tintasiyasi.ID -- Mengulik etika dan logika politik, jika seorang mantan presiden turun langsung memimpin partai yang saat ini dipimpin anaknya sendiri, maka Pengamat Politik Dr. Riyan mengatakan hal itu adalah bentuk absurditas di dalam politik

 

“Itu (mantan presiden turun langsung memimpin partai yang saat ini dipimpin anaknya sendiri) adalah bentuk absurditas di dalam politik,” jelasnya dalam acara Politik Update: Jika Jokowi Ketum PSI… di kanal YouTube Khilafah News, Jumat (23/05/2025).

 

“Yang menunjukkan bahwa ambisi kekuasaan itu ternyata tidak bisa di kendalikan. Jadi istilahnya nafsu untuk berkuasa itu  tetap diumbar dengan  mengambil  berbagai kondisi yang sangat-sangat  ironi,” jelasnya.

 

 Ia menegaskan bahwa mereka digerakkan  bukan dengan gagasan, tetapi mereka digerakkan dengan modal kekuatan kapital semata.

 

“Saya kira kita berbicara pada sebuah nafsu serakah untuk berkuasa yang sangat-sangat tidak mewakili kepentingan mayoritas besar rakyat. Karena dia juga tidak masuk dalam jajaran Senayan  DPR. Karena memang  tidak cukup mewakili kepentingan yang dimaksud oleh rakyat itu sendiri,” terangnya.

 

“Saya setuju kalau kemudian sampai terjadi, ini mungkin untuk pertama kalinya bapak menggantikan anak. Tetapi yang menjadi pertanyaan penting, seberapa besar kemudian itu  bermanfaat untuk rakyat ini? Bahkan saya ingin mengatakan apa yang sudah dilakukan oleh PSI hari ini, sebenarnya adalah merupakan sesuatu yang  justru malah merugikan kepentingan rakyat,” imbuhnya.

 

Riyan menegaskan hal tersebut bukan  memberikan  manfaat kepada rakyat dalam arti memberikan gagasan-gagasan yang benar-benar berpihak kepada rakyat, karena selama ini dia hanya bergantung kepada kepentingan-kepentingan segelintir elit.

 

Partai Absurd vs Partai Ideologis

 

Riyan menerangkan, sudah sangat jelas bahwa harusnya orang berpartai itu memiliki  gagasan dalam bentuk ideologi. “Menjadikan partai tadi itu sebagai representasi daripada gagasan yang di miliki. Partai itu menjadi contoh  pendidikan politik di tengah-tengah masyarakat yang  membutuhkan berbagai  pendampingan,” bebernya.

 

“Malah justru mereka menari di atas ketidakpahaman masyarakat tentang masalah itu. Tetapi dia mengklaim bahwa dirinya tetap mewakili rakyat tadi. Ini yang saya kira pelajaran buruk dalam konteks pendidikan politik, di mana sebuah partai justru kemudian bergerak hanya karena nafsu  keserakahan dan karena guliran dana saja,” terangnya.

 

Ia menambahkan, berpartai bukan dengan membeli suara rakyat dengan kucuran-kucuran  dana yang  justru tidak mendidik  kepada rakyat itu sendiri. “Artinya rakyat disuguhi sebuah  teater yang sangat-sangat memalukan,” lugasnya.

 

Riyan mencontohkan yang seharusnya, “Katakanlah kalau seorang Muslim dia ingin  implementasikan pemikiran-pemikiran ideologisnya dalam sudut pandang Islam, maka dia pasti akan membentuk partai yang sifatnya ideologis di dalam konteks mengimplementasi gagasan dan dia berusaha untuk  mengedukasi masyarakat agar masyarakat itu benar-benar memahami apa yang menjadi kehendak daripada Islam.”

 

Wajah Asli Demokrasi

 

Riyan menjelaskan, melihat dari kasus PSI, bagaimana sebuah  partai  boleh dibilang partai gurem, tetapi kemudian digerakkan dengan modal dan juga dengan tata kelola yang sangat absurd dan sangat kacau.

 

“Menurut saya itu  semakin memperparah bahwa memang jangankan demokrasi, artinya  demokrasi saja sudah sudah buruk. Ini dia di bawah itu lebih buruk lagi. Artinya apa? Berarti kalau begitu kita melakukan bunuh diri politik kalau tetap mempertahankan sistem dan mekanisme  tata kelola kenegaraan, juga tata kelola kepartaian,” katanya.

 

Ia mengajak,  berkali-kali disampaikan dalam banyak kesempatan, “Inilah saatnya Islam untuk tampil agar kemudian umat ini tidak terjebak. Siapapun yang kemudian memahami bahwa Islam itu memiliki aturan yang sempurna, maka dia harus kemudian meninggalkan demokrasi dan justru kemudian membangun arah baru kepartaian dan arah baru dalam tata kelola kenegaraan yaitu dengan Islam,” tegasnya.

 

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam ketika kemudian beliau mencontohkan dengan sangat elegan, memperjuangkan gagasan. Dan kemudian melakukan langkah-langkah politik itu dengan memperhatikan  berbagai aturan-aturan yang dikemukakan oleh Islam itu sendiri dan tidak menghalalkan segala cara, apalagi mengandalkan uang.

 

“Kalau orang bicara demokrasi, sebenarnya hari ini kita sudah tidak mendapatkan demokrasi kalau yang dimaksud demokrasi itu dari oleh dan untuk rakyat. Karena apa? Dari sejak lahirnya demokrasi itu adalah memang berpihaknya bukan kepada rakyat, tetapi kepada para pemilik modal. Nah, yang membuat kita justru harus semakin sadar hari ini, bahwa sampai kapan mau ditipu dengan sistem yang memang cacat dari sejak lahir?” pungkasnya.[] Sri Nova Sagita

Opini

×
Berita Terbaru Update