TintaSiyasi.id -- Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh Rahmat, namun masih banyak tempat-tempat maksiat dibiarkan terbuka lebar. Pada bulan Februari lalu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan akan menutup operasional tempat hiburan malam selama Ramadan dan Idulfitri 1446 Hijriah. Akan tetapi tidak termasuk tempat karaoke dan permainan billiar alias tempat hiburan tersebut masih tetap dibuka selama Ramadhan. (Suara.com, 28/02/2025)
Disparekraf DKI memberikan pengecualian bagi tempat hiburan yang berada di hotel bintang 4 dan bintang 5, serta kawasan komersial. Aturan ini diputuskan untuk usaha klub malam dan diskotik yang berada di area hotel bintang 4 ke atas atau kawasan komersial dan tidak dekat dengan pemukiman, rumah ibadah, sekolah atau rumah sakit, maka tempat hiburan tersebut diperbolehkan, mereka beroperasi dengan dalih jam yang diperbolehkan tidak mengganggu masyarakat.
Tentu pengaturan jam operasional tempat hiburan selama Ramadhan menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat penguasa hari ini tidak benar-benar memberantas kemaksiatan. Namun semakin merajalelanya tempat hiburan yang mengundang umat untuk melakukan maksiat. Apalagi ada daerah yang tidak lagi melarang operasi selama Ramadhan. Sehingga dengan dibukanya tempat hiburan di bulan Ramadhan akan merusak iman dan ibadah umat Islam.
Sungguh inilah dampak dari diterapkannya sistem kapitalisme yang sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Sehingga tidak diherankan dengan adanya aturan yang dibuat tidak akan memberantas kemaksiatan di negeri ini. Sistem kapitalisme yang hanya mencari keuntungan dan manfaat belaka.
Paradigma yang digunakan adalah paradigma yang tidak sesuai dengan syariat, bahkan kehadiran bulan suci Ramadan tak mampu mencegah praktek kemaksiatan. Dalam sistem kapitalisme mereka hanya mencari manfaat dan kesenangan dunia semata. Di sisi lain kegiatan ini terjadi di mana-mana karena tidak adanya sistem pendidikan yang sesuai dengan syariat Islam.
Sistem pendidikan yang diterapkan akan mengarahkan seseorang untuk bertakwa kepada Allah dan ini menunjukkan gagalnya, sistem pendidikan yang tidak membentuk kepribadian seseorang sesuai dengan Islam. Ini juga menunjukkan abainya negara terhadap tanggungjawab mengurusi urusan umat.
Berbeda dengan sistem Islam kemaksiatan akan diberantas sampai tuntas dengan penerapan hukum syariatnsecara kaffah dalam naungan khilafah. Seorang khalifah akan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai junnah (pemimpin). Karena dalam Islam kemaksiatan merupakan pelanggaran hukum syarak dan termasuk dosa yang akan dipertanggungjawabkan di Yaumil Hisab kelak.
Maksiat juga merupakan tindakan yang sangat dikecam dalam ajaran Islam karena berpotensi merusak akhlak individu dan tatanan sosial masyarakat. Dalam firman Allah SWT yang menjelaskan, "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". (TQS. Al-Isra' 17:32)
Maksiat juga dapat mencabut dan melenyapkan keberkahan dalam kehidupan, baik dalam rumah tangga, negara, maupun diri.
Dalam Islam pengaturan semua aspek kehidupan termasuk hiburan dan pariwisata akan berlandaskan akidah Islam dan bukan dengan asas kemanfaatan. Sehingga, semua bentuk yang menjerumuskan kepada kemaksiatan akan dilarang dalam Islam dan dibasmi sampai keakar-akarnya.
Dalam Islam, sistem pendidikan juga berperan dalam menghasilkan individu yang bertawakal yang akan berpegang pada syariat. Baik dalam memilih hiburan maupun dalam membukanya.
Dalam sistem Islam solusi hakiki untuk para pelaku kemaksiatan akan diberikan sanksi yang akan menjerakan pelakunya. Sehingga, pemberantasan kemaksiatan di negeri ini dibutuhkannya seorang junnah (pemimpin) yang akan benar-benar menjalankan tanggung jawabnya sebagai pengurus umat, dan seorang pemimpin akan mengawasi rakyatnya agar tidak melakukan kemaksiatan. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Marlina Wati, S.E.
(Muslimah Peduli Umat)