TintaSiyasi.id -- Aksi Indonesia Gelap berlangsung serentak se-Indonesia sejak Senin (17/2). Hari ini bakal menjadi puncak aksi gabungan mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil.
Ada empat klaster utama yang menjadi fokus puncak aksi Indonesia Gelap. Pertama, menuntut pemerintah mengesahkan undang-undang pro rakyat: RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Kedua, menolak aturan antirakyat, seperti revisi UU TNI, UU Polri, Tatib DPR, UU Minerba, dan UU Kejaksaan. Ketiga, mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran, kabinet gemuk, program makan bergizi gratis (MBG), proyek strategis nasional (PSN) bermasalah, serta rencana penghapusan tunjangan kinerja (tukin) dosen dan guru. Keempat, pembatalan sederet kebijakan problematik. Ini meliputi desakan membatalkan multifungsi TNI/Polri, Inpres Nomor 1 Tahun 2025 terkait efisiensi anggaran, penggunaan APBN untuk Danantara, dan pembangunan IKN Nusantara. (cnnindonesia.com, 21/2/2025)
Dilansir dari tintasiyasi.id (20/2/2025), Cendekiawan Muslim Ismail Yusanto mengatakan bahwa mahasiswa selain menuntut hal tersebut, juga harus terus mendorong perkara yang lebih substansial sampai kepada hal yang paling mendasar, yaitu negara memang sudah terjerembab kepada tatanan yang sekularistik, liberalistik, kapitalistik. Di mana tangan-tangan oligarki telah begitu rupa menguasai hampir seluruh sendi kehidupan. Meskipun terjadi perubahan politik, tetapi para pemilik modal tetap saja masih bisa mengendalikan perubahan-perubahan tersebut selama sistemnya masih sama, yaitu kapitalistik.
Memang benar, penyebab utama jauhnya masyarakat dari kata sejahtera adalah akibat penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah menjadikan hajat hidup rakyat dikelola sepenuhnya oleh pihak swasta. Sedangkan penguasa, lepas tanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan rakyat. Bahkan, negara terus mengurangi subsidi pendidikan hingga kesehatan untuk rakyat. Negara juga membebani rakyat dengan pajak hampir disegala lini kehidupan sebagai salah satu sumber pemasukan negara yang menganut ekonomi kapitalis.
Banyaknya variasi pajak sangat mencekik dan menyusahkan kehidupan rakyat. Selain berjuang sendiri mencukupi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan dan papan, rakyat juga harus memeras keringat lagi demi bisa membayar pajak atas tanah dan rumah yang mereka tempati. Listrik, air dan kendaraan yang mereka beli, penghasilan mereka yang tidak seberapa bahkan segala belanja baju, tas, sepatu, kebutuhan makanan sehari-hari juga kena pajak. Hampir semua komponen tak luput dikenai pajak. Rakyatlah yang menanggung kehidupan mereka sendiri. Sedangkan negara hanya memosisikan diri sebagai regulatornya. Artinya, ada pemindahan tanggung jawab pengurusan, yang seharusnya berada di tangan negara, dialihkan kepada rakyat sendiri.
Selain pajak, pemasukan negara dalam sistem ekonomi kapitalis adalah dari utang. Pemerintah sering memperhalus bahasa dengan menyebutnya sebagai “investasi”. Mereka meyakinkan rakyat bahwa investasi adalah modal untuk menstimulus ekonomi. Padahal, tanpa disadari utang telah bermutasi menjadi alat politik negara adidaya untuk menjerat negara berkembang seperti Indonesia.
Konsekuensinya, negara pengutang pasti akan manut nurut pada berbagai pesanan negara kreditur, termasuk lahirnya berbagai kerjasama bilateral dan berbagai sandiwara perjanjian antarnegara. Bukan hanya posisi tawar negara debitur yang akan lemah, tetapi kedaulatannya juga akan tergadai. Dampaknya, pada titik tertentu negara debitur terpaksa harus menggadaikan aset strategisnya pada negara kreditur.
Lalu, siapa yang akan menanggung beban utang tersebut? Tentu saja dan lagi-lagi rakyat yang akan menanggungnya. Utang dan pajak adalah dua instrumen ekonomi yang saling berkaitan. Guna menutupi utang, negara bisa saja menaikkan besaran pajak, mengurangi subsidi ataupun efisiensi anggaran di sana sini.
Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka Indonesia bukan saja gelap, tapi bisa jadi akan bernasib sama seperti Srilangka yang harus merelakan salah satu pelabuhan strategisnya akibat gagal bayar utang yang jatuh tempo pada Cina.
Pos Pemasukan Negara Islam Tanpa Utang dan Pajak
Dalam Islam, sumber anggaran negara banyak dan beragam dan bukan dari utang dan pajak. Alokasi anggaran akan dilaksanakan penuh tanggung jawab dan rasa ketakwaan yang tinggi karena penguasa paham bahwa jabatan adalah amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Jika tidak amanah, maka jabatan hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan di akhirat.
Abu Dzar al-Ghifari menuturkan, ia pernah berkata kepada Rasul Saw., “Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat aku menjadi amil?” Abu Dzar berkata: Lalu Rasul menepuk pundakku seraya bersabda, “Ya Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah. Sungguh jabatan itu adalah amanah dan pada Hari Kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya.” (HR Muslim).
Oleh karena itu, khilafah akan menyusun perencanaan yang matang sesuai ketetapan syariat. Kas Baitul Mal dalam syariat Islam memiliki tiga sumber utama,
Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat dan sebagainya. Khusus untuk zakat, tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Karena dana zakat hanya diperuntukkan bagi delapan asnaf.
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60)
Kedua, sektor kepemilikan umum, seperti pertambangan, minyak bumi, emas, perak, gas, batu bara 1, kehutanan dan sebagainya.
Dalam pemerintahan Islam, penguasa me-riayah, rakyat berdaulat atas kekayaan alam milik mereka. Sumber daya alam akan dikelola sendiri oleh negara (haram dikelola individu apalagi asing) kemudian hasilnya benar-benar dialokasikan untuk kemaslahatan rakyat.
Menurut syekh Taqiyuddin An-Nabhânî. (2004) dalam kitabnya Al-Nizâm al-Iqtisâdî fî al-Islâm. Beirut: Dâr al-Ummah, hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk bahan yang murah berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan primer masyarakat atau warga negara, semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Adapun distribusi hasil pengelolaan kekayaan alam akan dipastikan terstruktur, yaitu pendataan akurat serta kontrol dan pengawasan terpusat di tangan khalifah dan terukur, yaitu rakyat harus merasakan secara adil dan merata hasil pengelolaan kekayaan alam tersebut.
Tidak seperti sistem kapitalis, yang saat ini SDA justru legal dikuasai negara-negara kapitalis penjajah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui korporasi-korporasi mereka. Di bawah kapitalisme, penguasa hanya berperan sebagai regulator bagi para cukong dan rakyat cuma dapat ampas dan getahnya.
Ketiga, sektor kepemilikan negara, seperti jizyah, (pajak untuk orang kafir) kharaj, ghanimah, (rampasan perang) fa'i, 'usyur, dan sebagainya.
Dalam menetapkan anggaran belanja negara, khalifah hanya tunduk pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Khalifah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pos-pos pengeluarannya dan besaran dana yang harus dialokasikan dengan mengacu pada prinsip kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Tentu berdasarkan pada ketentuan yang telah digariskan oleh syariat Islam.
Demikianlah fungsi pemasukan dan pembelanjaan negara dalam sistem khilafah yang menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat, bukan segelintir orang sebagaimana dalam sistem kapitalisme. []
Nabila Zidane, Jurnalis