TintaSiyasi.id -- Kabar dari Generasi Z, baru-baru ini Generasi Z—yaitu generasi yang lahir antara tahun 1997–2012—memang kerap menjadi sorotan karena mereka sering kali dinilai lebih rentan terhadap masalah mental ketimbang generasi sebelumnya. Dilansir dari Okezone (18/1/2025), Generasi Z tengah menghadapi krisis paruh baya (midlife crisis) lebih awal dari seharusnya. Sebanyak 38% dari mereka mengalami krisis paruh baya yang diakibatkan oleh beragam tekanan finansial yang luar biasa sehingga sering merasa terjebak dalam kecemasan, kelelahan, dan ketidakpuasan dalam menjalani kehidupannya.
Bahkan, dikutip dari Daily Mail, Jumat (17/1/2025), Ahli Bedah Umum dari Amerika Serikat, Dr. Vivek Murthy, memberikan komentar tentang survei kesejahteraan global yang menemukan bahwa usia 15–24 tahun semakin kurang bahagia dibandingkan generasi yang lebih tua. Ini adalah sisi lain dari Generasi Z yang terkenal dengan kepintarannya karena paling punya akses informasi, paling kreatif, dan yang seharusnya paling kritis.
Namun, banyak fakta menunjukkan bahwa Gen Z juga manusia biasa yang memiliki beragam kelemahan. Di antaranya adalah:
1. Sikap terlalu sensitif dalam lingkungan kerja yang menuntut profesionalisme.
2. Sikap naif yang terbentuk dari paparan media sosial yang sarat pencapaian materi dan gaya hidup hedonisme.
3. Mentalitas instan. Kurangnya pemahaman akan pentingnya proses dan perjuangan dalam mencapai kesuksesan menjadi sisi gelap Gen Z yang harus diperbaiki di masa mendatang.
Adapun penyebab masalah gangguan mental yang dialami oleh Gen Z bukan hanya berasal dari dalam diri mereka, tetapi juga dari penerapan sistem kehidupan yang mengikat, menjerat, dan mengatur kehidupan mereka, yaitu sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme melahirkan ekonomi kapitalistik, di mana apa pun dibebaskan selama menghasilkan keuntungan.
Misalnya, penggunaan teknologi dan media sosial yang berlebihan dapat berdampak negatif pada diri, seperti munculnya perasaan rendah diri, kecemasan sosial berlebihan, hingga Fear of Missing Out (FOMO). Ini terjadi karena tidak ada filter dalam pemakaiannya; konten-konten yang tidak layak ditonton pun tetap diperbolehkan selama mendatangkan keuntungan.
Penyebab lainnya adalah tekanan karier dan akademis yang sering bersinggungan dengan masalah keuangan, seperti mahalnya pendidikan, yang mengakibatkan stres berlebihan dan kecemasan akan masa depan Gen Z. Selain itu, ketidakpastian politik dan ekonomi demokrasi juga menyebabkan perasaan tidak aman dan nyaman mengenai keberlangsungan masa depan mereka. Misalnya, ketika seseorang bercita-cita menjadi pemimpin daerah, sepandai dan setulus apa pun tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat, tetap sulit terwujud tanpa modal besar. Hal ini mencerminkan ciri khas sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini.
Belum lagi, ciri khas kapitalisme adalah sekulerisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Tidak heran jika Gen Z merasa tidak bahagia. Dalam keseharian, mereka terus ditekankan untuk mengejar materi, seperti tekanan pekerjaan, nilai akademik, dan konten media sosial yang dipenuhi ajang pamer. Bahkan dalam politik, tekanan untuk mendapatkan jabatan tinggi demi “balik modal” juga menjadi beban. Akibatnya, ruang untuk akhirat tersisa sangat sedikit.
Kenyataannya, semakin jauh manusia dari aturan Sang Pencipta, semakin jauh pula mereka dari kebahagiaan. Berbagai persoalan yang menjerat Gen Z sejatinya adalah akibat penerapan sistem kapitalisme yang rusak ini.
Oleh karena itu, potensi Gen Z perlu dibangun melalui pemahaman dan kesadaran tentang hakikat kehidupan yang sebenarnya, yaitu dunia yang sementara dengan kehidupan abadi di akhirat. Gen Z perlu memahami realitas hidup dengan tepat: mana yang harus diusahakan dan mana yang harus dipasrahkan kepada Sang Pencipta.
Bahagia sejati hanya bisa diberikan oleh Sang Pencipta, yang mengatur hati manusia. Artinya, Gen Z harus disadarkan akan kewajiban untuk menerapkan aturan Allah secara kaffah (menyeluruh). Hal inilah yang dapat mendatangkan keridaan Allah dan kebahagiaan hakiki.
Setelah menyadari bahwa ketidakbahagiaan yang dialami Gen Z disebabkan oleh sistem kapitalisme, sudah seharusnya upaya menuju masa depan yang lebih indah ditempuh dengan kembali kepada syariat Islam secara menyeluruh. Solusi ini dikenal sebagai khilafah, sebuah sistem yang mampu menerapkan ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan.
Khilafah memberikan peluang kepemimpinan pada Gen Z untuk menentukan masa depan dunia dengan keberhasilan berdasarkan kemuliaan Islam. Dengan menjadikan Islam sebagai acuan, kebahagiaan, masa depan cemerlang, serta kedamaian dapat diraih. Gen Z wajib terus bertahan dalam situasi hari ini dengan landasan keimanan dan motivasi untuk menyelesaikan masalah melalui tegaknya aturan Allah secara sempurna, yaitu melalui khilafah.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M.
Aktivis Muslimah