Tintasiyasi.id.com -- Ironis! Negara Indonesia yang terbilang kaya akan sumber daya alam (SDA), akan tetapi pasokan listrik di dalam negerinya tidak terpenuhi bahkan tidak merata. Di sisi lain, pemerintah pun terkesan abai terhadap rakyatnya.
Menurut catatan beritasatu.com (23/11/2024), sebanyak 22.000 kepala keluarga (KK) di Jawa Barat (Jabar) belum teraliri listrik. Calon gubernur (cagub) Jawa Barat (Jabar ) Dedi Mulyadi dengan nomor urut 4, jika dirinya memenangi Pilkada Jabar 2024, ia menargetkan dalam dua tahun pemerintahannya seluruh warga Jawa Barat akan mendapat aliran listrik.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. Jumlah ini turun dari akhir 2023 yang masih sebanyak 140 desa/kelurahan yang semuanya terletak di Papua belum mendapat aliran listrik. (Tirto.id, 10/6/2024).
Kesetrum Kapitalis
Listrik merupakan kebutuhan penting yang wajib dipenuhi oleh negara. Akan tetapi, hingga hari ini tata kelola listrik belum juga merata. Sebab, liberalisme kapitalistik pada sumber energi primer dan layanan listrik masih berasaskan pada sistem demokrasi yang hanya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan.
Alhasil, penyediaan listrik di wilayah pedesaan tidak begitu diperhatikan karena biayanya mahal, sehingga hari ini rakyat tidak bisa menikmati listrik dengan harga murah apalagi gratis. Ditambah lagi, hadirnya UU Minerba makin memperkokoh kapitalisasi korporasi atas kekayaan milik rakyat tersebut.
Sungguh, kebijakan kapitaistik yang dibuat pemerintah menjadikan rakyat tak bisa berkutik bahkan tak ada yang gratis ketika hidup di bawah penerapan ideologi kapitalisme. Untuk sekadar menikmati aliran listrik saja rakyat harus mengeluarkan buang demi membayar pelayanan listrik.
Terbukti, keberadaan negara berlepas tangan dalam menjamin pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya bahkan tak segan-segan negara memalak rakyatnya dengan berbagai pungutan pajak. Pun, negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator bukan sebagai raa’in (pengurus) umat.
Tata Kelola Listrik dalam Sistem Islam
Listrik merupakan sumber daya energi milik umum yang wajib dikelola oleh negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hadis di atas, listrik terkategori “api” yang dapat menghasilkan aliran energi panas sehingga dapat menyalakan barang elektronik.
Barang tambang yang merupakan milik umum dan sebagai bahan pembangkit listrik salah satunya adalah batubara yang memiliki jumlah yang sangat besar. Akan tetapi keberadaan batu bara kini telah banyak dikuasai oleh perusahaan swasta dan asing.
Padahal, setiap harta milik umum yang jumlahnya melimpah seharusnya dikelola oleh negara secara mandiri dan mengembalikan hasilnya untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Negara tidak boleh menyerahkannya kepada pihak swasta maupun asing. Negara hanya boleh mempekerjakan pihak swasta dalam hal eksploitasi dengan akad kerja, bukan izin usaha tambang atau bagi hasil.
Oleh karena itu, negara harus mengupayakan agar listrik dapat dikonsumsi oleh rakyat tanpa harus mengeluarkan biaya mahal dan memberikan berbagai kemudahan bagi rakyatnya dan memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya serta pelayanan yang merata sampai ke pelosok.
Begitu juga pengelolaan Listrik yang merupakan sebuah badan milik negara yang statusnya sebagai institusi pelayanan, bukan sebagai institusi bisnis bahkan dalam pengelolaan sumber energi harus dilakukan secara profesional berdasarkan paradigma riayah (mengurusi) rakyat bukan paradigma jibayah (memalak).
Demikianlah tata kelola listrik dalam sistem Islam serta mengatur kekayaan milik umum yang menjadi hajat publik yang jumlahnya melimpah. Hanya dengan pengaturan Islam, tugas pokok dan fungsi negara dapat berjalan dengan optimal.
Rakyat dilayani dan dipenuhi semua kebutuhan dasarnya tanpa harus merasa khawatir dan terbebani. Begitu juga, negara akan melayani rakyatnya dengan amanah dan penuh tanggung jawab.
Karena, kepemimpinan bukan sebagai ajang memperkaya diri dengan kedudukan serta jabatan yang dimiliki, melainkan tentang tanggung jawab dan hisab yang berat kelak di akhirat. Wallahu’alam bishshawwab.
Oleh: Mutiara Aini
(Aktivis Muslimah)