TintaSiyasi.id -- Suap lagi. Lagi-lagi suap. Suap (risywah) seolah menjadi budaya melekat bagi sebagian orang di negeri ini. Berbagai urusan atau kepentingan agar mudah terselesaikan, risywah menjadi solusinya. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa kasus akhir-akhir ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Ketua DPRD Kalimantan Selatan Supian (S) terkait kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa untuk sejumlah proyek pekerjaan di Kalimantan Selatan periode 2021-2024 (kompas.com, 19/11/2024).
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa dua saksi terkait kasus dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, dua orang saksi tersebut merupakan Hakim Ad Hoc Tipikor pada Mahkamah Agung dan Fungsional Penata Kehakiman Ahli Muda pada Biro Pengawasan Perilaku Hakim (kompas.com, 21/11/2024).
Mantan Panitera Pengadilan Jakarta Timur (PN Jaktim), Rina Pertiwi didakwa menerima suap sebesar Rp 1 miliar terkait pengurusan eksekusi putusan Peninjauan Kembali (PK) perkara sengketa lahan PT Pertamina senilai Rp 244.604.172.000 atau Rp 244,6 miliar. Adapun lahan yang menjadi obyek terletak di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur seluas 1,2 hektar. Menurut Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat,Total keseluruhan uang yang diterima oleh terdakwa dari saksi Ali Sopyan melalui saksi Dede Hermana sebesar Rp 1 miliar (kompas.com, 21/11/2024).
Ironis. Ketika para pejabat termasuk aparat penegak hukum (APH) justru terlibat dalam kasus suap-menyuap ini. Alih-alih memberantas praktik hina tersebut, mereka justru menikmati uang atau keuntungan materiil lainnya. Bila realitasnya begini, risywah, korupsi, dan berbagai tindak kejahatan lainnya akan sulit diberantas. Diakui atau tidak, inilah salah satu potret buram penerapan sistem sekularisme kapitalistik. Jauh dari agama dan menjadikan harta sebagai standar bahagia membuat halal-haram diabaikan begitu saja.
Risywah Marak dalam Didikan Sistem Demokrasi Sekuler nan Rusak
Risywah adalah pemberian yang diberikan kepada orang lain dengan maksud meluluskan perbuatan tercela. Tujuan lainnya adalah menjadikan salah perbuatan yang sebetulnya sesuai syariah. Pemberi disebut rasyi, penerimanya adalah murtasyi, sedangkan sebutan untuk penghubung adalah ra'isy. Suap, uang pelicin, money politic, adalah bentuk risywah.
Bila kita dalami, secara garis besar, akar penyebab dari praktik risywah, terutama yang dilakukan oleh pejabat negara atau APH sesungguhnya ada dua. Pertama, faktor personal/individual. Tidak lain adalah mental khianat, korup, dan tidak amanah yang melekat pada pribadi-pribadi penguasa dan para pejabat yang diangkat.
Sudah jamak diketahui, pemilihan dan pengangkatan para pejabat seperti para menteri dan para pembantunya, misalnya, sering tidak didasarkan pada faktor keimanan dan ketakwaan atau kebaikan moral mereka. Bahkan, faktor profesionalitas juga sering diabaikan. Yang sering terjadi, pejabat dipilih dan diangkat karena faktor kedekatan atau karena motif balas jasa, misalnya para relawan yang dipandang telah berjasa oleh penguasa terpilih dalam ajang Pilpres/Pemilu.
Kedua, faktor sistemis. Tidak lain adalah penggunaan sistem pemerintahan demokrasi yang terbukti rusak dan merusak. Di negeri ini, khususnya, sistem demokrasi terbukti menjadi pintu yang amat terbuka bagi ragam pengkhianatan yang dilakukan oleh penguasa dan para pejabat negara. Sudah bukan rahasia lagi bahwa suara rakyat dalam setiap Pemilu/Pilpres/Pilkada acapkali “dijual” oleh penguasa dan elite parpol kepada para oligarki.
Tidak aneh jika kemudian banyak UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR lebih banyak berpihak kepada oligarki daripada untuk kepentingan rakyat kebanyakan. Dengan UU Migas, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja, misalnya, sumber daya alam (seperti minyak dan gas, batu bara, hutan, emas, nikel, dll.) yang hakikatnya milik rakyat, banyak dikuasai oleh pihak swasta dan asing.
Dengan revisi UU KPK, tidak ada lagi “tangkap tangan” terhadap para koruptor. Akibatnya, para koruptor makin leluasa untuk melakukan ragam korupsi. Wajar jika di era ini kasus korupsi bukan lagi di angka miliaran, puluhan miliar, atau ratusan miliar rupiah, tetapi sudah menyentuh angka triliunan, puluhan triliun, bahkan ratusan triliun rupiah (seperti kasus korupsi timah, dan lain-lain).
Demikianlah, pengaturan ala demokrasi yang berbasis pada kebebasan individual dan mengabaikan hukum Allah SWT, menyebabkan manusia cenderung berbuat sekehendak hati. Asal senang dan mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Hingga banyak pejabat berkhianat pada amanah kekuasaan dan tak peduli kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.
Dampak Risywah terhadap Kualitas Penyelenggaraan Negara dan Peradaban Bangsa
Praktik risywah tentu memiliki dampak buruk terhadap kualitas penyelenggaraan negara dan peradaban bangsa. Beberapa dampak negatif yang signifikan antara lain:
Pertama, mengurangi keadilan dan integritas sistem hukum. Risywah merusak prinsip keadilan dan integritas dalam sistem hukum. Keputusan diambil tidak berdasarkan pada kebenaran atau kepentingan umum, tapi berlandaskan keuntungan pribadi yang diperoleh melalui suap. Hal ini menciptakan ketidakadilan yaitu pemilik uang atau kekuasaan lebih cenderung mendapatkan perlakuan istimewa, sementara yang tidak mampu akan terdiskriminasi.
Kedua, merusak kepercayaan publik. Risywah mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik. Ketika masyarakat melihat bahwa pengambilan keputusan lebih didorong oleh kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, mereka akan kehilangan keyakinan pada sistem politik dan hukum yang ada. Ini dapat menyebabkan apatisme sosial, ketidakpedulian terhadap aturan, dan melemahnya ikatan sosial.
Ketiga, menghambat pembangunan ekonomi. Risywah dapat menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Misalnya, dalam pengadaan barang dan jasa atau pemberian izin usaha, keputusan sering didasarkan pada pertimbangan pribadi atau risywah, bukan pada kualitas atau kebutuhan yang seharusnya. Ini mengarah pada proyek-proyek yang tidak optimal dan pemborosan anggaran negara, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Keempat, memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi. Mereka yang memiliki sumber daya atau hubungan yang kuat cenderung mendapatkan keuntungan, sementara yang lebih lemah dan miskin semakin terpinggirkan. Hal ini memperburuk ketidakadilan sosial dan memperbesar jurang pemisah antara kelompok kaya dan miskin dalam masyarakat.
Kelima, merusak moralitas dan budaya bangsa. Praktik risywah menciptakan budaya yang toleran terhadap penyimpangan moral dan etika. Hal ini mendorong individu untuk lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum dan nilai-nilai moral yang baik. Akibatnya, masyarakat menjadi lebih permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan menganggap suap sebagai hal wajar, padahal ini merusak struktur moral bangsa secara keseluruhan.
Keenam, melemahkan pemerintahan yang baik dan berwibawa. Risywah dapat menghambat tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah yang tercemar oleh praktik risywah tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif, seperti pemberantasan kemiskinan, penyediaan layanan publik yang berkualitas, dan pemenuhan hak asasi manusia.
Secara keseluruhan, praktik risywah merusak kualitas penyelenggaraan negara dan peradaban bangsa karena menyebabkan ketidakadilan, memperburuk kondisi sosial-ekonomi, merusak moralitas, dan menghambat kemajuan bangsa. Oleh karena itu, pemberantasan risywah seharusnya menjadi agenda penting demi menciptakan negara yang adil dan makmur.
Strategi Sistemis yang Mampu Memberantas Risywah dalam Praktik Penyelenggaraan Negara
Untuk memberantas risywah secara sistematis dalam praktik penyelenggaraan negara, diperlukan pendekatan multidimensi yang mencakup reformasi struktural, penguatan institusi, dan perubahan budaya organisasi. Beberapa strategi yang dapat diterapkan meliputi;
Pertama, peningkatan transparansi dan akuntabilitas.
a. Penguatan sistem pengawasan internal. Membentuk sistem pengawasan yang efektif, termasuk audit berkala dan pemantauan transaksi keuangan yang melibatkan sektor publik.
b. Transparansi proses pengadaan dan pengelolaan anggaran. Menjamin bahwa semua proses terkait pengadaan barang dan jasa serta penggunaan anggaran publik, tersedia secara terbuka untuk publik melalui portal online.
Kedua, reformasi sistem hukum dan penegakan hukum yang kuat.
a. Perbaikan hukum antikorupsi. Menyusun undang-undang yang lebih tegas terhadap praktik korupsi dan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku suap.
b. Pemberdayaan KPK. Mendukung KPK dan lembaga serupa dengan pemberian sumber daya yang cukup serta independensi dalam penegakan hukum tanpa gangguan politik.
c. Sistem perlindungan saksi dan pelapor. Memberikan jaminan perlindungan bagi whistleblower dan saksi yang melaporkan praktik suap, termasuk sistem reward bagi yang melaporkan.
Ketiga, reformasi administrasi dan birokrasi.
a. Peningkatan profesionalisme aparatur negara. Mengoptimalkan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai negeri untuk meningkatkan etika kerja, pemahaman hukum, serta sistem pengawasan internal yang lebih kuat.
b. Rotasi dan mutasi jabatan. Menghindari terjadinya konsentrasi kekuasaan yang dapat disalahgunakan dengan melakukan rotasi dan mutasi jabatan secara periodik.
Keempat, penguatan partisipasi masyarakat dan media.
a. Meningkatkan kesadaran publik. Mengedukasi masyarakat mengenai dampak negatif dari suap dan pentingnya pelaporan tindakan korupsi.
b. Meningkatkan peran media massa. Mendorong media berperan aktif dalam mengungkapkan praktik suap dan korupsi dengan menjaga integritas jurnalistik.
Kelima, penggunaan teknologi dalam pengawasan dan pelaporan.
a. Sistem elektronik untuk layanan publik. Memanfaatkan teknologi informasi untuk mengurangi interaksi tatap muka antara petugas dan masyarakat yang rentan praktik suap.
b. Platform pelaporan online. Menyediakan platform yang mudah digunakan untuk melaporkan suap dan tindakan korupsi.
Keenam, budaya zero tolerance terhadap suap dan korupsi.
a. Kebijakan pemberantasan yang tegas dari pimpinan negara. Pemimpin negara harus menjadi contoh dalam menjalankan pemerintahan dengan integritas dan memprioritaskan kebijakan antikorupsi dan suap.
b. Penghargaan untuk pejabat publik yang berintegritas. Memberikan penghargaan kepada aparatur negara yang menunjukkan komitmen terhadap anti-korupsi.
Dengan strategi yang terintegrasi antara kebijakan hukum, reformasi birokrasi, peningkatan transparansi, dan pemberdayaan masyarakat, diharapkan praktik risywah dalam penyelenggaraan negara dapat diminimalisasi secara sistematis dan berkelanjutan. Namun, apakah idealitas ini bisa terjadi dalam sistem demokrasi sekuler saat ini? []
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. dan Puspita Satyawati
Pakar Hukum dan Masyarakat, Analis Politik dan Media