TintaSiyasi.id-- Masa pemilihan Gubernur Jatim 2024 sudah dekat. Paslon yang berlaga turun gunung mendengarkan curhatan rakyat. Beragam janji dan lontaran solusi menjadi ajian pamungkas. Seolah semua persoalan selesai jika sudah duduk di kursi kekuasaan. Memang janji adalah hutang yang nanti ketika sudah menang jadi pembuktian. Apakah janji itu merupakan jalan keluar? Atau sekedar obat penenang sementara sambal menunggu pemilihan tiba.
Siapa pun yang berebut kekuasaan perlu memperhatikan rambu-rambu penuh kebajikan. Salah mengartikan kekuasaan bisa keblinger dan melupakan semuanya. Pemahaman terkait berkuasa didudukkan tepat tanpa ada yang kecewa. Pasalnya, selama ini kondisi rakyat pun tak begitu banyak berubah. Pergantian pemimpin seolah mampu membalikkan keadaan secara ajaib. Jaminan kerja, pupuk murah, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan jadi dagangan harian menarik pemilih.
Beberapa hal yang sering menjadi curhatan publik terkait isu ekonomi, hukum, stabilitas politik, dan pengelolaan pemerintahan. Pedagang pasar mengeluhkan sepi pembeli. Kelesuan ekonomi erat kaitan dengan daya beli dan distribusi yang tidak merata. Pelaku ekonomi tradisional selain persoalan permodalan juga bersaing di era digital. Sayangnya, calon gubernur masih bicara solusi cabang, bukan mencabut akar persoalan.
Hukum juga barkaitan dengan keadaan sosial yang rakyat. Kriminalitas selalu menjadi pemberitaan yang menarik dan menyeramkan. Kejahatan di kota besar belum tuntas dan cukup merepotkan. Seolah tiada ujung dari setiap penindakan dan penghukuman. Pengelolaan pemerintahan secara transparan, akuntabilitas, dan bebas dari praktik KKN belum sepenuhnya terlaksana. Kepentingan politik lebih dominan daripada kepentingan rakyat untuk segera ditunaikan.
Mencari Solusi Bukan Simsalabim
Terkesan mudah memang ketika duduk di kekuasaan. Dua pilihan bagi penguasa: apakah akan berkhidmat untuk rakyat? Atau berkhianat untuk rakyat? Seolah kekuasaan di atas segalanya. Sementara, penguasa terkadang lupa cara teknis dan sistem yang selama ini melingkupi kehidupan.
Ambil contoh untuk mengatasi kelesuan daya beli dari curhatan pedangang pasar. Tak cukup dengan meningkatkan literasi digital. Pedagang didorong untuk bisa bersaing di online. Kemudian meminta pengusaha juga membina UMKM dan memberdayakan pedangang kecil. Kondisi seperti ini bukan mencari akar persoalan yang sistemik, tapi fokus pada cabang yang tidak menyelesaikan.
Begitu juga dengan akuntabilitas pengelolaan pemerintahan yang berkelindan dengan korupsi dan kepentingan oligarki. Tidak cukup dengan semua digital dan transparan, namun melupakan mindset SDM yang belum sepenuhnya melayani rakyat. Karakter mempersulit rakyat perlu dihapuskan. Jiwa melayani dan mendengar inilah yang perlu dipupuk dalam pembinaan.
Calon pemimpin dituntut lebih empati dan mendengar dari hati. Di sisi lain, kepekaan memberikan solusi bukan asal keluar dari mulut tanpa berpikir strategis. Sebab pelaksaan dari upaya mengurai solusi tidak terlepas dari sistem dan kepentingan yang berkelindan di antara kekuasaan.
Untuk itulah, beberapa langkah ini perlu dilakukan pemimpin dan calon pemimpin untuk bisa memberikan solusi yang bukan simsalabim.
Pertama, mengetahui akar masalah kehidupan saat ini tidaklah berdiri sendiri. Persoalan ekonomi berkaitan juga dengan politik. Persolan hukum berkaitan dengan keimanan dan kehidupan. Jika mengetahui akar masalahnya maka mengurainya dari hulu hingga hilir.
Kedua, pemahaman persoalan kehidupan ini karena sistem yang mengatur. Perlu diketahui ekonomi kapitalisme yang diadopsi menjadi penyebab menurn daya beli, merebak riba, dan penguasaan aset kekayaan oleh segelintir orang. Kemunculan oligarki dalam politik dari harga mahal demokrasi turut meracuni kekuasaan yang hadir di tengah rakyat.
Ketiga, pemimpin lebih banyak simpati dan empati, karena menjadi bagian solusi. Melalui pemimpin dan kesediaan melayani menjadi kebaikan untuk semua. Esensi kekuasaan itu bukan memuluskan segala keinginan duniawi dan mengumpulkan harta kekayaan. Lebih dari itu melayani dan mengurusi rakyat sepenuh hati tanpa pamrih.
Keempat, perlu pemahaman yang utuh jika pemimpin hadir taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini berkonsekuensi untuk mengambil solusi dari Sang Pencipta. Allah telah menghadirkan solusi dalam al-Qur’an, serta Rasulullah dalam as-Sunnah. Kedua pegangan inilah yang menjadi petunjuk dalam memerintah dan mengatur rakyat.
Jika menelisik lebih dalam, calon pemimpin ke depan sebenarnya mewarisi masalah pemimpin sebelumnya. Sistem politik demokrasi menjadi pangkal dari kerancuan pemerintahan. Pengabaian urusan rakyat kerap terjadi dari hasil aturan yang tidak pro rakyat. Begitu juga ekonomi kapitalisme yang menguasai segelintir kekayaan rakyat dan memonopoli. Aturan hukum yang sekuler pun membawa dampak buruk kehidupan sosial kemasyarakatan.
Langkah ke Depan
Untuk calon pemimpin Jawa Timur dengan corak masyarakat religius seyogyanya juga diatur dengan syariah. Mengambil syariah tidak hanya pilihan, tapi kewajiban orang beriman. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya kunci kebahagiaan dan keberkahan.
Jika ini bisa diaplikasikan pemimpin Jawa Timur, lahirlah yang amanah. Allah pun ridho pada pemimpin yang memudahkan urusan rakyatnya. Konsekuensi dalam pemerintahan esesnsinya menjaga agama dan menerapkan syariah kaffah. Menjadikan kekuasaan sebagai jalan pemimpin yang adil akan mendapatkan naungan ketika tidak ada naungan di hari kiamat.
Jangan sampai kepemimpinan dan kekuasaan menjadi pemesalan di akhirat. Cepat-cepatlah kembali kepada Allah. Solusi itu dalam Islam. Jalan kebaikan terdapat dalam Islam. Meninggalkan Islam berarti sebuah kehinaan. Kemuliaan pemimpin tampak dari kearifan dan ketaatan untuk memperjuangkan politik Islam.[]
Oleh. Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)