TintaSiyasi.id -- Praktisi Pendidikan Ainul Mizan, S.Pd., mengatakan pendidikan sekularisme yang diterapkan hari ini itu bermasalah yang hanya menghasilkan generasi-generasi yang sakit mental.
"Pendidikan kita hari ini malah bermasalah, ya pendidikan sekularisme itu hanya menghasilkan generasi-generasi yang sakit mental," ungkapnya di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (12/10/2024), Dikit-Dikit Fomo, Ngaruh Ke Mental Nggak Sih?
Ia menjelaskan, ketika seseorang tidak bisa mengikuti tren ia akan langsung mentalnya. Bahkan ada bisa bunuh diri, hanya karena tidak diberikan motor sama orang tuanya. Fear of Missing Out (Fomo) adalah sebuah fenomena yang terkait dengan hal-hal viral dan menjadi tren yang di tengah-tengah generasi muda. Mereka takut ketinggalan, tidak bisa berpartisipasi di dalam hal-hal yang trend di tengah-tengah masyarakat. Fomo ini tidak hanya menimpa remaja tetapi juga orang dewasa.
"Oang tua juga bisa terkena karena saking viralnya, saking trendnya itu sehingga fomo ini melahirkan satu fenomena yang disebut sebagai kelaparan sosial," ujarnya.
Sehingga, karena kelaparan sosial ini membutuhkan pemenuhan, karena kalau tidak, akan terkena penyakit fomo. Salah satu mental illness yang lahir dari fomo adalah merasa tersisih, lantas menimbulkan beberapa penyakit mental yang lain seperti kesulitan konsentrasi, kemudian cemas, tertekan, lantas obsesif terhadap sosial media orang lain. Walaupun pemicunya tidak harus mesti sosial media, bisa offline tetapi sosial media hari ini menjadi salah satu sarana paling efektif untuk menyebarkan hal-hal yang cepat sekali di tengah-tengah masyarakat.
"Solusi dari penyakit ini adalah menghilangkan sumber dari fomo. Apa sumber dari fomo itu, yaitu gaya hidup, pola hidup yang dibentuk oleh sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga pola pikirnya itu bukan lagi halal ini haram, ini termasuk yang dibolehkan ini yang tidak dibolehkan dalam agama, dalam hal ini Islam," urainya.
Sehingga, yang menjadi ukuran adalah kesenangan, tren, gaya hidup, kesenangan materi itu menjadi bagian dari kehidupan saat ini, itu yang harus dihilangkan. Ketika itu dihilangkan diganti dengan pola kehidupan yang berlandaskan kepada akidah Islam, maka jiwa masyarakat, muda-mudi, pola pikir itu dinaungi oleh mana yang halal mana yang haram mana yang kemudian dibolehkan mana yang tidak dibolehkan di dalam Islam.
Ia menjelaskan, viralnya boneka Labubu ditengah masyarakat, tidak hanya sekedar boneka mainan, tetapi di dalam boneka labubu itu kental dengan mitologi atau mitos Eropa. Berarti ada boneka atau bentuk fisik yang terkandung di dalamnya hadharah (keyakinan) tertentu yaitu keyakinan mitos-mitos yang berkembang di Eropa, tentu berseberangan bertentangan dengan akidah Islam.
"Nah ini kalau generasi kita itu punya pola pikir Islami, tertentu seperti itu memang mikirnya maka dia tidak akan mengikuti trend itu. Ya dia akan menjauhi, di sampingnya lagi ini akan membentuk pola sikap yang salah ketika mengikuti trend boneka labubu. Maka ketika pola sikapnya Islami, pola kejiwaannya Islami, kecenderungannya dia tidak ikut budaya viralisme Labubu. Budaya konsumerisme gara-gara ada boneka Labubu yang lagi viral," pungkasnya.[] Alfia Purwanti