TintaSiyasi.id -- Skincare saat ini sudah menjadi barang kebutuhan bagi perempuan, bahkan anak-anak sudah mulai menggunakan skincare, baik itu pelembab maupun sunscreen untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari. Tentu saja hal ini menjadi potensi bisnis yang menggiurkan.
Beberapa tahun belakang industri skincare makin marak dilirik orang, baik mereka yang berprofesi sebagai dokter (tenaga kesehatan), pengusaha, ataupun artis.
Pangsa pasar yang besar membuat perusahaan berlomba-lomba menawarkan formula yang bisa membuat orang 'cantik' ataupun terlihat lebih muda dari usia aslinya.
Perempuan mana yang tidak mau cantik dan terlihat muda? Namun dibalik itu semua, sisi gelap bisnis skincare ini terdapat oknum-oknum yang nakal, yakni menambahkan bahan-bahan yang berbahaya bagi kulit maupun tubuh, seperti merkuri, hidrokinon dan lainnya.
Dengan harga yang terjangkau, bisa membuat wajah putih dan mulus, siapa yang tidak tergiur? Tentu saja kaum hawa menginginkan hal tersebut. Selain itu, maraknya influencer yang mengendors sehingga membuat orang membeli, padahal mereka juga tidak paham kandung bahan dan lainnya, hanya mengandalkan trik marketing, hasilnya nyata instan glowing begitulah ucapan beauty vlogger.
Para owner skincare berasal dari beragam profesi, jika mereka yang basicnya kesehatan tentu akan berhati-hati untuk meramu formula yang akan dijual kepasar, lalu bagaimana yang basicnya pure pengusaha ataupun non medic? Tentu mereka menyerahkan semua formula kepada mitra (perusahaan) yang bekerja sama dengan dia.
Saat ini marak skincare yang over claim, artinya di dalam ingredient terutulis A namun setelah diuji lab hasilnya B, bahkan yang lebih berbahaya tertulis aman untuk busui dan bumil, setelah dilakukan uji lab mandiri mengandung hidrokuinon yang berbahaya bagi janin, inilah yang merugikan konsumen, ada yang rugi uang karena menyetok skincare tersebut banyak, ada juga kulitnya yang bermasalah seperti berjerawat lalu untuk proses menyembuhkan membutuhkan waktu lama.
Akibat over claim skincare muncul berbagai akun yang mencoba untuk membuktikan skincare yang viral benar atau hanya over claim, selain itu banyak dokter-dokter yang mulai mengedukasi masyarakat apa bahaya bahan A dan lainnya, lalu memberikan solusi bagaimana cara mengatasinya dengan formulasi tertentu.
Tentu saja ini menarik sekali, hal ini wajar saja di alam bisnis kapitalisme (meraih keuntungan maksimal, dengan modal seminim mungkin). Jika mereka hanya mengejar materi maka hal wajar memberikan zat tertentu yang bisa membahayakan kesehatan demi keuntungan maksimal.
Namun bagi mereka yang masih memiliki nurani, mereka akan pure membuat formula skincare yang tidak over claim, namun itu sulit karena persaingan bisnis yang sengit di alam kapitalisme membuat orang melakukan segala cara supaya produknya laris.
Serta maraknya krim etiket biru yang seharusnya hanya dikeluarkan oleh dokter namun kini bebas berkeliaran diberbagai macam market place dimana BPOM?
Adanya UU perlindungan konsumen nyatanya tidak membuat produsen takut akan hukuman yang diberikan. Adanya BPOM juga nyatanya belum bisa mengeliminasi perusahaan nakal. Lalu kepada siapa kita mengadu?
Kemudian, standar kecantikan di sistem kapitalisme yakni putih mulus, glowing, membuat perempuan rela war untuk mendapatkan skincare yang diinginkan, ramai-ramai perempuan membeli skincare dengan dalih merawat diri. Perempuan hari ini berlomba-lomba mengkoleksi berbagai skincare yang mana harganya lumayan menguras kantong.
Maka sebagai seorang muslim wajib mempelajari muamalah sebelum dia terjun ke bisnis. Sehingga ketika berbisnis bukan hanya untung rugi yang dipikirkan namun ridha Allah, bahan yang digunakan halal dan tayib, tidak merugikan konsumen atau orang lain.
Selain itu, sebagai seorang muslimah paham bahwa apapun warna kulit kita adalah warna kulit yang terbaik yang diberikan oleh Allah, yang diminta adalah merawatnya dengan bahan-bahan yang halal dan toyib bukan mengikuti standar kecantikan di sistem kapitalisme.
Selain itu, muslimah wajib memperhatikan rambu-rambu Islam dalam mengatur penampilan, jangan sampai jatuh ke dalam tabaruj (memperlihatkan kecantikan wajahnya dan bagian-bagian tubuhnya yang mengundang birahi laki-laki yang bukan mahram).
Fitrah perempuan memang ingin terlihat cantik dan indah, namun kecantikan dan keindahan tersebut harus diiringi dengan kecantikan perilakunya, pemikirannya serta tutur katanya.
Muslimah hari ini jangan sampai terjebak dalam standar kecantikan kapitalisme, karena tidak akan pernah habis, selain itu fokus kita bukanlah diri sendiri (mempercantik diri) namun fokus kita adalah permasalahan umat. Jadilah muslimah yang cadas (cantik dan cerdas).
Selain itu dibutuhkan peran negara, negara mengedukasi kepada masyarakat terkait bahan yang boleh digunakan untuk skincare dan tidak, sehingga masyarakat ikut mengawasi peredaran skincare abal-abal, serta sanksi yang tegas bagi owner atau perusahaan yang nakal.
Sanksinya sendiri berupa ta'zir yang kadarnya dikembalikan kepada qadhi' (hakim) tergantung tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh perusahaan ataupun owner. Tanpa negara maka akan menjamur bisnis skincare yang over claim bahkan abal-abal. Tentu semua itu hanya bisa dilakukan jika menerapkan Islam kaffah dalam bingkai negara (khilafah).
Oleh: Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute