TintaSiyasi.id -- Mengajarkan ilmu dalam Islam merupakan amal yang sangat mulia, namun harus dilakukan dengan mengikuti sunah dan adab yang baik agar ilmu yang disampaikan membawa manfaat dan berkah.
Berikut adalah beberapa sunah dan adab dalam mengajarkan ilmu:
1. Niat yang Ikhlas
• Sunah: Mengajar ilmu dengan niat untuk mendapatkan ridha Allah, bukan mencari pujian, penghargaan, atau keuntungan duniawi.
• Adab: Sebelum mengajarkan ilmu, seorang guru harus membersihkan niatnya agar hanya mengharapkan pahala dari Allah, bukan untuk tujuan-tujuan pribadi. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya dicari karena Allah, namun ia mencarinya hanya untuk mendapatkan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga" (HR. Abu Daud).
2. Mengajar dengan Hikmah dan Kesabaran
• Sunah: Menyampaikan ilmu dengan hikmah (kebijaksanaan), kelembutan, dan tidak tergesa-gesa.
• Adab: Mengajarkan ilmu harus dengan cara yang sesuai dengan kemampuan pemahaman murid. Seorang guru harus sabar dalam menghadapi murid yang mungkin lambat memahami dan mengulang penjelasan jika diperlukan. Dalam Al-Qur'an disebutkan, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik" (QS. An-Nahl: 125).
3. Memberikan Teladan yang Baik
• Sunah: Mengamalkan ilmu yang diajarkan agar murid mendapatkan teladan nyata.
• Adab: Seorang pengajar tidak hanya berbicara tetapi juga harus menunjukkan contoh dari apa yang diajarkan. Guru yang mengamalkan ilmunya memiliki otoritas moral lebih kuat di hadapan murid-muridnya. Rasulullah ﷺ adalah contoh yang sempurna dalam mengamalkan apa yang beliau ajarkan.
4. Bersikap Rendah Hati dan Tidak Sombong
• Sunah: Bersikap tawadhu' (rendah hati) dalam mengajarkan ilmu.
• Adab: Seorang pengajar harus menjauhkan dirinya dari sifat sombong dan menganggap dirinya lebih baik dari orang lain hanya karena ilmunya. Sifat tawadhu' akan membuat murid lebih mudah menerima pelajaran, sementara kesombongan akan menjauhkan mereka.
5. Memahami Tingkatan Murid
• Sunah: Mengajarkan ilmu sesuai dengan tingkat kemampuan dan pemahaman murid.
• Adab: Guru harus menyesuaikan cara mengajarnya dengan latar belakang, kemampuan, dan usia murid. Rasulullah ﷺ dikenal sangat bijaksana dalam menyampaikan pelajaran, bahkan sering kali menyesuaikan pendekatan beliau sesuai dengan kondisi orang yang diajari. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: "Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akalnya" (HR. Bukhari).
6. Memotivasi dan Menginspirasi Murid
• Sunah: Mengajarkan ilmu dengan memberi semangat dan motivasi agar murid mencintai ilmu.
• Adab: Seorang guru sebaiknya memberikan dorongan kepada muridnya agar mereka semakin semangat dalam menuntut ilmu. Menggunakan kata-kata yang membangun dan tidak merendahkan murid yang lambat atau keliru.
7. Menghindari Sikap Meremehkan atau Memarahi Murid
• Sunah: Bersikap lembut dan sabar, terutama ketika murid melakukan kesalahan atau lambat memahami pelajaran.
• Adab: Guru tidak boleh memarahi atau meremehkan muridnya. Setiap murid memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga diperlukan kesabaran dalam membimbing mereka. Rasulullah ﷺ selalu bersikap lembut kepada sahabat-sahabatnya, meskipun mereka sering kali melakukan kesalahan.
8. Mendoakan Murid
• Sunah: Mendoakan kebaikan bagi murid, agar ilmu yang diajarkan bermanfaat bagi mereka.
• Adab: Seorang guru sebaiknya selalu mendoakan murid-muridnya agar diberi kemudahan dalam memahami ilmu dan agar ilmu tersebut menjadi berkah. Ini adalah bentuk kasih sayang guru terhadap muridnya.
9. Tidak Membebani Murid Secara Berlebihan
• Sunah: Memberikan pelajaran secara bertahap dan tidak membebani murid dengan pelajaran yang terlalu berat sekaligus.
• Adab: Ilmu harus diajarkan sedikit demi sedikit agar mudah dipahami dan diamalkan. Rasulullah ﷺ selalu memberikan pelajaran secara bertahap sesuai kemampuan sahabat, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa beliau selalu memilih waktu yang tepat untuk mengajarkan sesuatu agar sahabat tidak merasa jenuh.
10. Menghormati Murid
• Sunah: Meskipun seorang guru memiliki derajat ilmu yang lebih tinggi, dia tetap harus menghormati muridnya.
• Adab: Menghormati murid dengan mendengarkan pertanyaan mereka, tidak menyela pembicaraan, serta memberikan penjelasan dengan sabar adalah bagian dari adab mengajarkan ilmu. Rasulullah ﷺ selalu memperhatikan dan mendengarkan siapa pun yang bertanya atau berbicara kepada beliau.
11. Tidak Memonopoli Ilmu
• Sunah: Mengajarkan ilmu kepada siapa saja yang berhak menerimanya, tanpa pilih kasih.
• Adab: Seorang guru tidak boleh menyembunyikan ilmu atau hanya mengajarkannya kepada kelompok tertentu. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka Allah akan mengekangnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat" (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
12. Mengajarkan Ilmu yang Sesuai Kebutuhan
• Sunah: Mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan zaman dan kondisi murid.
• Adab: Seorang pengajar harus memilih ilmu yang akan diajarkan sesuai dengan kebutuhan muridnya, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
13. Mengajarkan dengan Keceriaan
• Sunah: Mengajar dengan suasana yang menyenangkan dan penuh keceriaan.
• Adab: Menyampaikan ilmu dengan cara yang menyenangkan akan memudahkan murid dalam memahami dan mengingat pelajaran. Rasulullah ﷺ sering kali menggunakan kisah atau humor ringan untuk mengajarkan sesuatu kepada sahabat, sehingga suasana menjadi lebih hidup.
Dengan mempraktikkan sunah dan adab dalam mengajarkan ilmu ini, seorang pengajar dapat menjadi teladan yang baik dan ilmu yang disampaikan akan menjadi lebih bermanfaat serta membawa keberkahan bagi dirinya dan murid-muridnya.
Menjaga Ilmu dengan Menulisnya.
Menjaga ilmu dengan menulisnya merupakan salah satu cara yang dianjurkan dalam Islam agar ilmu yang diperoleh tidak hilang dan dapat bermanfaat bagi orang lain. Tradisi menulis telah menjadi bagian penting dari cara para ulama dan cendekiawan Muslim melestarikan pengetahuan. Berikut adalah beberapa alasan dan keutamaan dalam menjaga ilmu melalui penulisan:
1. Mencegah Lupa
• Penjelasan: Salah satu hikmah utama menulis ilmu adalah agar tidak mudah dilupakan. Manusia cenderung lupa, dan dengan menulis, ilmu yang telah dipelajari dapat dicatat dan diingat kembali. Tulisan menjadi pengingat ketika ingatan mulai memudar.
• Dalil: Imam Syafi’i pernah mengatakan: “Ilmu itu bagaikan hewan buruan, dan menulis adalah ikatan baginya. Oleh karena itu, ikatlah ilmu dengan menulisnya.” Ini menunjukkan bahwa ilmu yang tidak ditulis dapat dengan mudah hilang.
2. Mewariskan Ilmu kepada Generasi Selanjutnya
• Penjelasan: Dengan menulis ilmu, seseorang tidak hanya menjaga ilmu untuk dirinya sendiri, tetapi juga mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Buku-buku yang ditulis oleh para ulama masa lalu, seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Imam Syafi’i, masih dipelajari dan bermanfaat hingga kini karena mereka menuliskan ilmu mereka.
• Dalil: Dalam hadis disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim). Ilmu yang ditulis dan diwariskan adalah salah satu bentuk "ilmu yang bermanfaat" yang terus memberi pahala kepada penulisnya.
3. Menguatkan Pemahaman
• Penjelasan: Menulis ilmu tidak hanya membantu mengingat, tetapi juga memperkuat pemahaman. Ketika seseorang menulis, dia akan lebih teliti dan mendalam dalam memahami topik tersebut. Penulisan membantu menyusun pikiran secara terstruktur, sehingga lebih mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
• Adab: Ketika menulis ilmu, penting untuk menulis dengan rapi, teliti, dan jelas agar tulisan tersebut bermanfaat bagi orang yang membacanya, baik sekarang maupun di masa depan.
4. Media Dakwah dan Penyebaran Ilmu
• Penjelasan: Dengan menulis, seseorang bisa menyebarkan ilmu ke banyak orang tanpa harus bertemu langsung. Buku, artikel, atau catatan yang ditulis bisa dibaca oleh banyak orang di berbagai tempat dan waktu yang berbeda. Ini memperluas jangkauan ilmu yang disampaikan.
• Contoh: Karya-karya ulama besar seperti Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, atau Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi adalah contoh nyata bagaimana ilmu yang ditulis dapat menjadi dakwah yang terus menyebar hingga ratusan tahun setelah penulisnya wafat.
5. Meningkatkan Ketelitian dalam Ilmu
• Penjelasan: Menulis mengharuskan seseorang untuk berpikir dengan lebih mendalam dan hati-hati. Saat menulis, seseorang harus memastikan bahwa informasi yang ditulis akurat dan benar. Ini membantu dalam menjaga kualitas dan ketelitian ilmu yang diajarkan.
• Dalil: Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya" (QS. Al-Isra: 36). Ayat ini menegaskan pentingnya ketelitian dan kebenaran dalam setiap ilmu yang disampaikan, dan menulis adalah salah satu cara untuk menjaga ketelitian tersebut.
6. Membantu Orang Lain yang Memiliki Keterbatasan Akses
• Penjelasan: Tidak semua orang memiliki akses untuk belajar langsung dari seorang guru. Dengan menulis, seseorang dapat membantu orang lain yang tidak bisa datang ke majelis ilmu atau yang berada di tempat jauh. Tulisan bisa diakses kapan saja, sehingga menjadi sumber ilmu yang praktis.
• Dalil: Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya" (HR. Muslim). Dengan menulis ilmu yang bermanfaat, penulis juga akan mendapatkan pahala dari orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan ilmu tersebut.
7. Menjaga Keberkahan Ilmu
• Penjelasan: Menulis ilmu dengan niat yang ikhlas karena Allah akan menjaga keberkahan ilmu tersebut. Tulisan yang bermanfaat bisa menjadi ladang pahala jangka panjang, bahkan setelah penulisnya meninggal. Keberkahan ini datang dari niat yang tulus dalam menyebarkan kebaikan.
• Adab: Ketika menulis, penting untuk menjaga adab dengan tidak menulis sesuatu yang dapat menyesatkan atau menciptakan keburukan. Tulisan harus selalu diarahkan untuk memberikan manfaat dan menghindari hal-hal yang dapat merugikan orang lain.
8. Ilmu yang Ditulis Lebih Tahan Lama
• Penjelasan: Ucapan lisan bisa terlupakan, tetapi tulisan dapat bertahan lama. Tulisan bisa disimpan, diarsipkan, dan dilestarikan. Hal ini memungkinkan ilmu yang ditulis untuk tetap ada dan digunakan oleh generasi yang akan datang.
• Contoh: Banyak kitab dan manuskrip yang bertahan hingga ratusan tahun, bahkan di zaman modern ini kita masih bisa mempelajari karya ulama-ulama besar dari masa lalu berkat tulisan mereka yang tetap terjaga.
Kesimpulan
Menulis ilmu adalah cara penting untuk menjaga, menyebarkan, dan mewariskan ilmu. Dengan menulis, kita dapat mengikat ilmu agar tidak terlupakan, memberikan manfaat kepada orang lain, serta memperoleh pahala yang terus mengalir. Adab dalam menulis ilmu juga harus dijaga, yaitu dengan niat ikhlas, ketelitian, dan tujuan untuk kebaikan.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo