TintaSiyasi.id -- Merespons adanya gratifikasi atas kasus Jet Pribadi yang ditumpangi Kaesang ke Amerika, Pengamat Politik Drs. Wahyudi Al Maroky mengatakan, mestinya Pak Jokowi itu memanggil anaknya itu dari mana bisa dia naik jet, uangnya dari mana.
"Mestinya Pak Jokowi itu memanggil anaknya. Itu dari mana bisa dia naik jet? Uangnya dari mana? Apakah pernah diberikan atau tidak? Nah ini dalam konteks kalau punya keimanan yang tinggi, takut dipertanggungjawabkan nanti, dan juga malu terhadap rakyat dan negeri ini," paparnya dalam ILF Edisi 68 : Kaesang Nebeng Jet Pribadi, Gratifikasi? Di kanal YouTube LBH Pelita Umat, Kamis (26/9/2024).
Ia mengatakan, seharusnya itu memalukan orang tua Kaesang, karena bagaimana mungkin di saat situasi bangsa yang dipimpinnya itu dalam kondisi susah, ekonominya sulit, banyak pemuda yang nganggur, banyak pemuda putus sekolah, angka kriminalitas meningkat, malah anaknya pamer-pamer untuk jalan-jalan dan seterusnya dengan fasilitas yang dia tidak tahu posisinya itu sulit dipertanggung jawabkan dapat dari mana.
"Nah tinggal apa aparat hukum hari ini mau tidak mempersoalkan itu. Memeriksa bapaknya dan seterusnya. Tapi kecil kemungkinan bisa memeriksa, karena bapaknya sedang berkuasa kan. Kira-kira gitu," imbuhnya.
Wahyudi menuturkan, sebenarnya kalau mau dirunut, di setiap pintu itu untuk melakukan pemeriksaan terbuka, hanya persoalannya mau dimasuki atau tidak, atau mau berjalan lebih lanjut atau tidak. Kalau dibilang apakah kategori itu gratifikasi atau bukan, memang jadi lebih sulit karena selalu punya dalih untuk bisa menghindari. Baik dalih itu dilakukan oleh argumen dari pelaku maupun dari aparat yang harusnya menegakkan hukum itu punya dalih semua.
"Dua-duanya bisa menggunakan argumentasi untuk melanjutkan suatu kasus atau tidak menjadikan suatu persoalan menjadi persoalan hukum atau hanya lewat begitu saja," ujarnya.
"Nah saya pikir ini persoalan yang serius hari ini karena memang mendefinisikan gratifikasi saja kita juga ada persoalan. Belum lagi aparat penegak hukumnya juga saya pikir ada persoalan. Belum lagi dalam konteks proses hukumnya sendiri, tahapan-tahapan maupun sistem hukumnya banyak titik celah yang bisa dijadikan dalih untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan," lanjutnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan, bagi seorang aparat penegak hukum yang mungkin bisa jadi ada titipan tertentu dari atasannya mungkin atau dari pihak yang lebih tinggi jabatannya atau pihak yang punya kekuatan baik kekuatan politik maupun kekuatan finansial itu kan bisa juga memberikan pengaruh besar. Kalau kekuatan politik karena punya jabatan lebih tinggi atau punya pengaruh luas dan lebih tinggi, dia bisa membuat tekanan tertentu. Sehingga kebijakan itu berubah. Tetapi bisa juga tidak punya jabatan tidak punya kekuasaan lebih tinggi tetapi dia punya pengaruh keuangan yang besar.
"Nah itu juga mempengaruhi dengan berbagai cara. Apalagi di hari ini orang silau ketika melihat uang. Bahkan praktis tidak ada lagi orang yang memiliki ideologi ataupun ideal dalam konteks yang punya jabatan maupun para politisi sekalipun yang harusnya punya basis idealisme. Hari ini basis idealismenya adalah finansial ataupun kekuatan uang maupun kekuatan jabatan," paparnya.
Belajar dari Khalifah Umar
Ia menceritakan kisah gratifikasi pada zaman Khalifah Umar, pernah ada seorang Gubernur dia sudah pensiun. Kemudian dia membawa harta, bertemu dengan Khalifah Umar, lalu ditanya harta itu dari mana, dia bilang ini saya kumpulkan ketika saya menjabat sebagai gubernur di Thaif, namanya Gubernur Taubah Abi Sufyan. Lalu Umar mengatakan bahwa anda tidak berhak dengan harta selain gaji ataupun ujrah ataupun honor yang diperoleh secara sah. Tinggal dihitung jadi gaji itu berapa selama menjabat berapa tahun lalu. Harta selebihnya itu berarti harus dikembalikan ke kas negara.
"Kalau ini diterapkan kepada para pejabat kita, kas negara cukup banyak. Jadi betapa banyak orang yang tidak memahami gratifikasi itu. Jadi seorang yang sebenarnya sudah menjabat dan kemudian sudah mendapatkan gaji dan dia sudah mendapatkan fasilitas negara, sehingga gajinya juga sebenarnya utuh, tidak akan digunakan karena makan minum, semua operasional semua dibiayai oleh negara. Maka sebenarnya yang lebih berhak atasnya ya gaji itu," pungkasnya.[] Alfia Purwanti