Tujuan utama dari perayaan Hari Anak Nasional adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang ramah dan peduli terhadap anak-anak, juga mempromosikan hak-hak anak dengan mendidik masyarakat tentang hak-hak anak yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah. Mendorong anak-anak Indonesia untuk terus belajar, berkreasi dan mengembangkan diri sesuai bakat masing-masing, memberikan penghargaan kepada anak atas prestasinya dan mengucapkan terima kasih atas partisipasinya dalam berbagai kegiatan positif. (rri.co.id, 23/7/2024)
Namun poin-poin yang menjadi tujuan dari pelaksanaan peringatan Hari Anak Nasioal yang sudah belasan tahun terselenggara, nampaknya masih belum sampai ke tujuan. Faktanya, beragam masalah masih menghantui. Faktanya, kondisi anak Indonesia masih jauh dari kata ideal. Angka kriminalitas dan kekerasan yang menimpa anak-anak masih terbilang tinggi.
Disebutkan bahwa dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada tahun 2019, sebanyak 12.285 anak mengalami kekerasan. Angka ini meningkat pada tahun 2020 menjadi 12.425 anak, bahkan semakin bertambah secara signifikan pada tahun 2022, yakni sebanyak 15.972 anak. Kasus yang menimpa anak juga sangat beragam mulai dari pencabulan, pemerkosaan, kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran, pelecehan seksual dan kekerasan seksual. (ombudsman.go.id, 13/2/2023)
Persoalan stunting juga tak kunjung menemui titik terang. Statistik PBB 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, dimana 6,3 juta merupakan anak usia dini atau balita stunting adalah balita Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan anak kekurangan gizi dalam dua tahun usianya, ibu kekurangan nutrisi saat kehamilan, dan sanitasi yang buruk. (paudpedia.kemdikbud.go.id, 10/7/2023)
Buta aksara juga jadi salah satu persoalan. Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah angka buta aksara yang ada di Indonesia pada rentang usia 15 sampai dengan 59 tahun adalah 2.666.859 orang. Ini bukan jumlah yang sedikit. Salah satu indikator keberhasilan pendidikan adalah tertuntaskannya masalah buta aksara ini.
Belum lagi persoalan-persoalan lain seperti bullying dan trafficking yang kian mengkhawatirkan. Sungguh miris kondisi dan nasib anak Indonesia. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Persoalan Sistematis
Anak adalah aset negara, generasi harapan penerus estafet pembangunan dan peradaban negara. Sudah seharusnya menjadikan isu anak sebagai prioritas yang utama, sebab negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin dan memenuhi hak setiap anak sebagai pewaris generasi.
Negara hingga saat ini mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai bentuk upaya pemenuhan hak-hak anak, seperti adanya program KLA (Kota/Kabupaten Layak Anak). KLA adalah kota yang dibangun berdasarkan prinsip pemenuhan hak anak, perlindungan anak, dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Demikian juga melalui Undang-undang, diantaranya UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. UU ini telah dua kali diubah melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 dan UU Nomor 17. Tahun 2016. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, negara mengamanatkan setiap daerah agar melakukan berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Hanya saja, berbagai regulasi ini tak juga mampu menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi anak-anak. Realitasnya, persoalan anak malah semakin kompleks. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh regulasi semata, melainkan karena penerapan sistem sekularisme di dalam seluruh aspek kehidupan yang menjadi asas penentuan kebijakan dan regulasi tersebut.
Sistem ini terbukti tidak mampu mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak anak Oleh karena itu, saatnya penerapan Islam secara total dan memdasar, sehingga perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak dapat terealisasi.
Sistem Islam Kaffah 'The Only Solution'
Dalam Islam, anak memiliki posisi yang sangat istimewa. Tak hanya sebagai cahaya mata keluarga, anak adalah jalan untuk mengalirkan pahala bagi orang tuanya setelah wafat. Maka sudah sepatutnya untuk memperhatikan dan memenuhi seluruh hak-hak mereka agar menjadi anak yang shalih dan salihah.
Rasulullah Saw bersabda, "Bilamana manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) anak shaleh yang mendoakannya." (HR Al Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Oleh karena itu, harus ada kesadaran setiap orang tua untuk selalu memperhatikan dan mendidik anak-anak mereka agar memiliki pribadi yang mulia, beriman, dan bertakwa. Orang tua harus membangun suasana keimanan dan ketakwaan setiap anak agar akidahnya terbina dan terdidik dengan benar, hingga terbangun akidah yang melahirkan kesadaran akan keimanan kepada Allah secara sempurna.
Dengan terbangunnya keimanan dan ketakwaan yang kokoh pada setiap individunya, maka akan terwujud pula suasana kehidupan yang penuh keimanan. Para tetangga, masyarakat, akan teguh dalam menjalankan syariat, beramar makruf nahi mungkar, berani membela kebenaran dan terjaga dalam kebaikan dengan standar hukum syariat.
Untuk mewujudkannya, mengharuskan adanya peran negara, yang notabenenya merupakan pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menerapkan dan menjalankan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari pendidikan yang berbasis pendidikan Islam, jaminan kesehatan dan pelayanannya, ketegasan sistem sanksi Islam yang mampu menjerakan pelakunya, sistem ekonomi Islam yang akan mampu memberikan jaminan kebutuhan umat termasuk pemenuhan berbagai kepentingan dan fasilitas yang dibutuhkan dalam penjaminan perlindungan dan hak anak. Wallahua'lam
Oleh: Linda Maulidia, S.Si.
Aktivis Muslimah