Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tapera: Zalim dan Wajib Ditolak

Kamis, 13 Juni 2024 | 08:13 WIB Last Updated 2024-06-13T01:13:31Z
Tintasiyasi.id.com -- Kegaduhan di tengah-tengah masyarakat akibat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus bergulir. Banyak yang tidak ikhlas dengan pemberlakuan potong gaji sebesar 3 persen, yaitu potongan sebanyak 2,5 persen diambil dari gaji pekerja dan sisanya 0,5 persen dibebankan kepada pemberi kerja.

Tapera akan menyasar para pekerja swasta dan pekerja mandiri yang memiliki penghasilan di atas upah minimum provinsi dan/atau kabupaten/kota, bukan hanya pegawai negeri sipil (PNS) saja seperti sebelumnya. Pekerja yang sudah memiliki rumah pun tetap diwajibkan menjadi peserta Tapera.

Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menyampaikan alasannya karena jumlah backlog kepemilikan rumah di Indonesia masih tinggi, yakni 9,9 juta orang. Setiap tahun ada 700.000-800.000 keluarga baru yang belum punya rumah. Sementara, kemampuan pemerintah dengan berbagai skema subsidi dan fasilitas pembiayaan perumahan dalam setahun kurang lebih hanya 250.000 unit.

Reaksi penolakan program Tapera yang keukeuh akan dijalankan pemerintah pada tahun 2027 sudah banyak disuarakan, baik oleh individu atau pun kelompok. Misalnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang menyatakan pada prinsipnya setuju dengan program Tapera, tetapi dalam catatan penolakannya disebutkan berbagai pertimbangan yang tidak mungkin para pekerja akan memiliki rumah.

Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di-PHK (pemutusan hubungan kerja).

Masyarakat juga khawatir uang hasil iuran tersebut tak jelas pengelolaanya, rumit pencairannya, dan rawan dikorupsi. Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan judicial review PP Tapera ke Mahkamah Agung.

Tapera

Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.

Dasar hukumnya adalah UUD 1945 Pasal 28 H Ayat (1) yang berbunyi Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; UU No. 1/2011 tentang Perumahan & Kawasan Pemukiman; UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat; PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera; dan PP No. 21 Tahun 2024.

Prinsip Tapera dalah gotong royong dan diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi defisit perumahan (backlog), namun bukan solusi tunggal untuk mengatasi backlog rumah nasional. 

Peserta terdiri atas pekerja dan pekerja mandiri yang penghasilannya paling sedikit sebesar upah minimum. Semua peserta membayar iuran, namun hanya peserta masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bisa memanfaatkan pembiayaan Tapera. Peserta bukan MBR hanya berhak menerima simpanan dan hasil pemupukannya.

Peserta Tapera adalah setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 bulan yang telah membayar simpanan. Kepesertaannya wajib bagi pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal sebesar upah minimum dan sukarela bagi pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum.

Peserta Tapera yang memenuhi kriteria dapat menggunakan dana pemanfaatannya untuk pembiayaan perumahan berupa pemilikan rumah, pembangunan rumah, dan perbaikan rumah yang merupakan rumah pertama, hanya diberikan satu kali, dan mempunyai nilai besaran tertentu tiap-tiap pembiayaan perumahan. Rumah tersebut dapat berupa rumah tunggal,  rumah deret, rumah susun, atau lainnya yang setara. Struktur pembinaan pengelolaan Tapera menurut UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat seperti bagan berikut.

Dalam pelaksanaannya, peserta Tapera nantinya akan diberikan pilihan yaitu Tapera konvensional atau Tapera syariah. Bank penyalur pembiayaan Tapera terdiri dari Bank BTN, Bank BRI, Bank BTN Syariah, Bank BNI, Bank BJB, Bank Sumut, Bank Sumut Syariah, Bank Nagari, Bank Nagari Syariah, dan Bank Kaltimtara. 

Telaah Kritis

Problem perumahan memang masih menjadi masalah di berbagai negara di dunia. Berbagai negara sudah berupaya mengatasinya dengan aneka program seperti Tapera. Namun mirisnya, hingga kini kebutuhan pokok rakyat berupa tempat tinggal belum terjamin dan masalah tersebut masih menggurita. 

Program semacam Tapera memang sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, Cina, Prancis, dan Jerman. Indonesia dianggap tertinggal jauh dari negara-negara lain tersebut.

Singapura misalnya, sudah memiliki program semacam Tapera sejak 1950-an dengan program yang dinamai Central Provident Fund (CPF); Malaysia memiliki program pembiayaan rumah yang dinamai Employees Provident Fund (EPF); Cina, programnya diberi nama Housing Provident Fund; Prancis (Compte D’epargne Logement dan Plan D’epargne Logement) sejak 1965; dan Jerman (Bauspar) sejak 1921.

Program yang dijalankan di luar negeri tersebut tidak bisa dikatakan sukses mengatasi persoalah perumahan, tetapi menunjukkan sebaliknya. Negara-negara itu faktanya tidak mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi rakyatnya, bahkan kezaliman pun terjadi dalam pelaksanaan program tersebut. Jumlah tunawisma sangat tinggi di negara rujukan tersebut.

Di Inggris diperkirakan ada sebanyak 105.000 rumah tangga di Inggris tinggal nomaden karena mereka tak memiliki tempat tinggal tetap; Kuala Lumpur sekitar 9.270 pada tahun 2023; Singapura, 921-1.050 orang tidur di tempat umum di seluruh Singapura setiap malamnya; China ada 2,41 juta tunawisma dengan 179.000 di antaranya di bawah umur; Prancis lebih dari 12.000 orang tidur di jalanan;  Jerman, pemerintah memperkirakan ada sekitar 375.000 tunawisma di negara tersebut, sementara Kelompok Kerja Federal untuk Bantuan bagi Tunawisma (BAG-W) memperkirakan jumlahnya mencapai 600.000 jiwa dan sekitar 50.000 hidup di jalanan.

Akar Masalah

Tapera sebagai solusi dari problem perumahan yang diambil oleh pemerintah sebenarnya merupakan salah satu problem cabang yang selalu ditimbulkan oleh kapitalisme sekuler, yaitu adanya disparitas yang lebar terhadap distribusi kekayaan, baik ditingkat lokal, nasional, maupun global. Ketimpangan ini disebabkan minimnya peran negara dalam pemenuhan pokok rakyat. Negara justru menyerahkan kewenangan pengurusan tersebut kepada operator, badan usaha, dan korporasi.

Watak mendasar dari sistem kapitalisme adalah negara hanya boleh menjadi regulator yang mengurusi kepentingan operator. Negara boleh melepaskan tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat menjadi terabaikan, termasuk kebutuhan perumahan. Adapun operator, badan usaha, atau korporasi, pada dasarnya didirikan dengan tujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk pribadi korporasi, bukan untuk rakyat. 

BP Tapera maupun bank penampung, serta bank kustodian adalah lembaga yang termasuk operator yang bertujuan mencari keuntungan materiel sebagaimana tertera dalam PP 21/2024 tentang Tapera. Hanya melalui operator inilah peserta Tapera yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) boleh mendapatkan pinjaman atau kredit untuk membangun rumah pertama.

Zalim

Sistem ini memang menghendaki negara tidak hadir sebagai pelayan rakyat. Akibatnya, rakyat miskin menjadi semakin sengsara, rakyat menengah terengah-engah, dan segelintir rakyat kaya leluasa memiliki dan menguasai apa pun yang mereka inginkan, baik menguasai sumber daya manusia maupun sumber daya alam.  

Program Tapera ini bukan saja merugikan dan memberatkan para pekerja, tetapi juga merugikan pemberi kerja. Para pekerja dipaksa untuk menerima pemotongan penghasilan mereka, yang sebelumnya saja mereka sudah harus menerima pemotongan untuk kesehatan maupun pajak penghasilan.

Mereka diwajibkan untuk sesuatu yang sebenarnya bersifat mubah, yaitu menabung. Padahal, di sisi lain mereka harus menerima kenyataan pahit dengan semakin tingginya berbagai kebutuhan pokok harian maupun pendidikan.
Pun dengan para pemberi kerja yang dirugikan. Mereka juga semakin bertambah biaya yang harus dikeluarkan, yaitu menanggung 0,5 persen iuran Tapera. Padahal mereka sudah dibebani dengan berbagai tanggungan yang harus diberikan kepada pekerjanya. Pemberi kerja harusnya hanya membayarkan sejumlah kompensasi sebesar manfaat yang diterimanya dari pekerja. 

Kezaliman lainnya yaitu adanya sanksi jika tidak mau membayar iuran yang tersebut dalam PP Nomor 25 Tahun 2020 Pasal 55 Bagian Kedua tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif, pada Paragraf 1 tentang Sanksi Administratif Kepada Peserta Pekerja Mandiri dan pada Paragraf 2 Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja. Belum lagi muncul pertanyaan kritis dari masyarakat, mereka selama belum pensiun tinggal di mana.

Jika cukup untuk uang muka kredit rumah, bagaimana untuk mencicilnya. Apakah selama proses penarikan Tapera tiap bulan itu ada proyek pembangunan rumah sementara meskipun sederhana untuk ditinggali terlebih dahulu. 
Nampak bahwa kewajiban Tapera hanyalah menambah beban ekonomi rakyat. Iuran tersebut pun bukanlah iuran yang dibayar untuk cicilan rumah itu sendiri. Tetapi iuran itu hanyalah menjadi legalitas seseorang yang berhak mendapatkan harga perumahan dengan bunga rendah 5 persen. Jadi rakyat akan dibebani dua hal, iuran Tapera dan uang untuk membayar sewa rumah selama belum memiliki rumah.

Proyek pembangunan dan pengadaan rumah negara selama ini selalu mengandalkan swasta, karena swastalah atau korporasi yang menguasai sebagian besar lahan di Indonesia. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Auriga mengatakan, dari 53 juta hektare penguasaan lahan hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukkan rakyat. 94,8 persen sisanya dikuasai korporasi. Berarti swastalah yang bisa menentukan harga dari rumah yang dibangun kelak. Isu gaji para para badan pengurus dan komite Tapera pun menjadi sorotan. 

Angka puluhan juta siap masuk ke kantong para pengurus tersebut yang nantinya akan mengelola dan mengawasi uang Tapera. Tentu saja honor tersebut berasal dari iuran para pegawai yang terkategori MBR.

Waspada

Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2024 telah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, termasuk upah minimum bagi provinsi baru di Indonesia. Nilai rata-rata UMP tahun 2024 adalah Rp3.113.359,85 dengan jumlah pekerja Indonesia sebanyak 138.625.511 (data tahun 2023), dan dari total pekerja tersebut yang dimungkinkan berpenghasilan UMR (tingkat pendidikan SMA sampai S3) sebesar 58.227.734 pekerja, maka sedikitnya akan terkumpul dana iuran Tapera sebesar Rp5.438.516.862.564 dalam sebulan dan selama setahun akan terkumpul Rp65.262.202.350.768. 65 triliun setahun bukanlah angka yang kecil. 

Wajar jika masyarakat teringat luka lama yaitu kasus korupsi Taspen, Asabri, Jiwasraya, dan Dana Pensiun (Dapen) BUMN. Pekerja dengan status MBR patut cemas dengan uang bulanan yang mereka keluarkan. Apakah mereka benar-benar akan menikmati janji yang telah disebar rezim berkuasa ataukah dana akan menguap begitu saja nanti. 
Selain kekhawatiran yang telah disebutkan di atas, ada bahaya laten yang berpotensi mengambil kesempatan merebut simpati rakyat dan mengajak rakyat untuk berpikir dan bertindak seperti kaum tersebut, yaitu pengemban ideologi sosialis komunis. Misalnya dengan mencontohkan Korea Utara yang dikenal sebagai negara dengan banyak aturan ketat, termasuk untuk kepemilikan rumah bagi warga.

Korea Utara menjamin warganya untuk mendapatkan perumahan secara gratis, ternyata ada aturan yang melarang warga untuk membeli, menjual, dan menyewakan rumah. Negara menjamin kebutuhan perumahan selama warganya memenuhi syarat. Sangat dikhawatirkan bahwa anak-anak muda yang merasakan pahitnya sistem sekular bisa melirik sistem komunis untuk pijakan hidup.

Pengaturan Islam

Masih banyak yang menganggap bahwa solusi problem kehidupan hanya ada dua pilihan, kapitalis sekuler atau sosialis komunis. Islam tidak dipahamkan sebagai agama sekaligus ideologi. Padahal, semua orang yang menjadi warga negara Islam (khilafah) dijamin pemenuhan hak atas kebutuhan dasarnya, termasuk di antaranya adalah perumahan. Pemenuhan ini sifatnya bukan komunal atau rerata, tetapi pemenuhan secara sempurna individu per individu.

Saat Rasulullah ﷺ hijrah, di Madinah bangkit sebuah gerakan pembangunan yang sangat luas, bahkan menjadi industri bangunan yang mendapat perhatian kaum Muslim. Hal ini karena melihat kaum Muhajirin yang membutuhkan tempat tinggal di Madinah. Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara menggariskan beberapa langkah dan menentukan beberapa distrik di mana mereka akan membangun rumah-rumahnya.

Saat itu Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara secara langsung mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, yaitu kaum Muhajirin yang berhijrah tanpa membawa harta (yang sebelumnya mereka miliki di Makkah yang sudah mereka tinggalkan). Sistem khilafah menempatkan penguasa (imam/kepala negara) sebagai pe-riayah (pelayan) urusan rakyat dengan landasan hukum syariat.

Penguasa tidak boleh mewajibkan sesuatu yang mubah, seperti mewajibkan menabung, yang jika tidak mau, maka akan dikenai sanksi. Juga tidak boleh menghalalkan sesuatu yang haram. Oleh karena itu, negara yang diwakili penguasa dalam sistem khilafah akan berupaya optimal melayani rakyatnya dengan menyediakan hunian layak (pantas dihuni manusia), nyaman (memenuhi aspek kesehatan dan lingkungan), harga terjangkau, dan dengan skema syari.

Sumber pembiayaan pembangunan perumahan diambil dari Baitulmal dan pembiayaan bersifat mutlak. Artinya, tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja apa pun alasannya. Bukan dengan cara pemupukan dana yang dihimpun dari rakyat lalu didepositokan atau diinvestasikan di pasar modal, bukan pula dengan cara utang atau penarikan pajak kepada seluruh rakyat.Bahkan, negara khilafah dibolehkan memberikan tanah miliknya kepada rakyat miskin secara cuma-cuma untuk dibangun rumah. Demikian juga lahan-lahan yang dimiliki negara, bisa langsung dibangunkan rumah untuk rakyat miskin.

Khilafah juga mengelola industri bahan bangunan yang bersumber dari bahan tambang yang berlimpah. Negara mengolah barang tambang agar dihasilkan semen, besi, aluminium, tembaga, dan lain-lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian, individu rakyat mudah menggunakannya baik secara gratis maupun membeli dengan harga murah. Rakyat miskin yang memiliki rumah namun tidak layak huni dan mengharuskan renovasi, maka negara harus melakukan renovasi langsung dan segera tanpa melalui operator (bank-bank penyalur maupun pengembang) dan tanpa syarat rumit.

Dakwah

Program Tapera sekilas tampak baik, tetapi hakikinya irasional dan zalim. Yang nampak jelas bahwa program ini sebenarnya akal-akalan pemerintah melepaskan tanggung jawab untuk menyediakan perumahan bagi warga negaranya. Semua diliberalkan, dikapitalisasi, dan rakyat harus bertahan hidup sendiri. Maka masyarakat harus semakin melek politik dan paham terhadap setiap kebijakan yang bertentangan dengan Islam serta menolaknya.

مَاۤ أَنزَلۡنَا عَلَیۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰۤ﴾ [طه ٢]}

Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Nabi Muhammad) supaya engkau menjadi susah. (Q.S. Thaha: 2)
Jangan sampai umat bak pepatah, lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau, yang artinya lepas dari sistem kapitalis sekuler masuk ke sistem sosialis komunis. Kondisi yang sama-sama buruknya.

Padahal, kaum Muslim telah Allah ﷺ jadikan sebagai umat terbaik dengan segala potensi alam dan manusianya.
Para pengemban dakwah, sudahkah kita memaksimalkan ikhtiar terbaik agar masyarakat sadar bahwa dirinya hanya akan mulia dan sejahtera dengan aturan Islam, yaitu aturan dari Sang Khalik dan Al-Mudabbir. Sudahkah aktivitas kita fokus kepada teladan Rasulullah ﷺ dalam membentuk masyarakat yang Islami?

Sudahkah seluruh malam-malam kita tengadah bercucuran harap memohon kemenangan dan pertolongan-Nya? Sudahkah kita layakkan diri sebagai pengemban dakwah dengan ilmu-ilmu? Mari kita renungkan dan pacu diri untuk tak lelah berdakwah mengembalikan kehidupan Islam dengan kutipan dari sejarawan dan sosiolog Muslim Ibnu Khaldun, di antara tanda sebuah negara yang akan hancur adalah semakin besar dan beragam jenis pajak yang dipungut ke rakyatnya. Wallahu a’lam bishshawwab…

Oleh: Reni Tri Yuli Setiawati
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update