TintaSiyasi.id -- Setiap rakyat tentu mendambakan memiliki tempat hunian yang bersih, aman, dan nyaman, karena tempat tinggal (perumahan) merupakan salah satu kebutuhan pokok kehidupan manusia. Seolah menjadi "angin segar" pemerintah merespons mewujudkan dambaan masyarakat agar dapat memiliki perumahan. Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yakni bagi pelaksanaan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tapera dan Program Tapera. Tapera ini akan diberlakukan selambat-lambatnya pada tahun 2027.
Presiden Jokowi juga telah menyetujui adanya mekanisme Tapera berupa besaran simpanan 3% dari pemotongan gaji sebesar 2.5% pada peserta dan 0,5% dibebankan kepada pemberi kerja/perusahaan sebagaimana rinciannya telah diatur pada pasal 15 ayat 2.
Simpanan dana yang disetor peserta setiap bulannya akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) dengan tujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi peserta, serta memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan peserta. (cnbcindonesia.com)
Peserta Tapera diantaranya PNS, TNI, Polri, buruh, karyawan swasta dan pekerja mandiri dengan gaji di bawah 8 juta, berusia 20 tahun atau sudah menikah dapat mendaftarkan kepesertaan Tapera. Sekilas niat pemerintah tersebut "baik", namun telah menuai banyak pro-kontra. Para pekerja dan para pengusaha pun banyak yang melakukan penolakan. Banyaknya penolakan membuat Tapera diwacanakan terjadi penundaan namun pola rezim hari ini seolah dapat ditebak.
Masih ingat dengan isu UU Ciptaker Omnibuslaw waktu lalu? berapa banyak rakyat yang melakukan penolakan bahkan penolakan terjadi di berbagai daerah untuk menolak UU tersebut. Apakah UU Ciptaker Omnibus lantas stop dan gagal tidak dilanjutkan? Nyatanya tetap saja digulirkan, sekalipun menimbulkan kontroversi dan banyak penolakan. Seberapa pun banyak suara rakyat yang melakukan penolakan nyatanya ini makin menunjukkan demokrasi sistem ilusi dan omong kosong tak mendengarkan suara terbanyak rakyat.
"Taste a water" berita tentang Tapera ini diduga untuk mengecek sejauh apa respons masyarakat apakah menolak ataukah rakyat setuju? jika rakyat setuju maka kebijakan ini akan mulus berlenggang maju, namun jika terjadi penolakan masif oleh rakyat maka pemerintah dengan sok bijaknya menyampaikan akan ditunda untuk meredam emosi sesaat masyarakat serta mengalihkan perhatian rakyat pada isu yang lainnya. Alibi perlu mengkaji ulang dan penundaan kebijakan Tapera ini, seolah-olah mencitrakan kalau pemerintah itu masih mau mendengarkan aspirasi rakyat, tapi apakah benar?. Adanya justru menunjukkan betapa sistem demokrasi cacat dalam memberikan solusi, tampak konsepnya tidak matang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
Tapera, Kebijakan Zalim Buah Paradigma Kapitalisme
Tapera yang disebut sebagai tabungan namun justru sifatnya diwajibkan, masyarakat dipaksa ikut bahkan ada ancaman diberikan sanksi apabila tidak mengikuti Tapera. Kewajiban Tapera ini diperuntukkan bagi para pegawai negeri dan juga pegawai swasta, bahkan apabila ada rakyat yang pendapatan gajinya di bawah UMR sekalipun boleh ikut mendaftar menjadi peserta Tapera.
Tabungannya pun dipatok 3%, menurut simulasi hitungan matematika yang dilakukan Jerome Polim misal keadaan UMR rakyat mencapai 5 juta sekalipun dapat dipastikan 100% gagal tidak mendapatkan rumah. Mengingat antara kenaikan harga properti rumah pertahun yang bisa naik hingga 20% namun tidak sebanding dengan kenaikan gaji masyarakat.
Bagi rakyat yang sudah memiliki rumah tetap wajib ikut serta dan disebut sebagai penabung mulia karena memberikan subsidi kepada yang lainnya. Bukankah subsidi yang memberikan harusnya negara namun mengapa rakyat yang diminta untuk memberi subsidi yang lainnya dengan sebutan gotong-rotong?. Ini menunjukan negara berlepas tanggung jawab dalam mensejahterakan rakyat.
Selain itu, tabungan ini juga berbasis riba, sehingga ada iming-iming nanti akan bertambah dan berkembang sehingga bisa digunakan untuk kredit rumah, renovasi dan lain-lainnya dalam pengadaan rumah. Tapi tabungan ini tidak lantas bisa diambil sewaktu-waktu, karena Tapera baru bisa cair apabila keadaan si penabung sudah pensiun di atas usia 58 tahun, atau meninggal dunia. Sungguh betapa zalimnya!. Rumahnya pun tidak jelas nantinya seperti apa, tipe berapa, rumahnya dimana, apa jangan-jangan rumah terakhir sepetak di area tanah pemakaman?
Program tabungan perumahan yang dilakukan sejak masa Presiden Soeharto pun masih meninggalkan permasalahan, terbukti yang telah pensiun bahkan ada yang sudah meninggal dunia namun tidak dapat mencairkan uangnya, alasannya karena masalah pengelolaan data. Sekalipun model sejenis Tapera ini telah dilakukan oleh negara-negara lain seperti Inggris, Cina, Singapura, Malaysia dan lain sebagainya namun kebijakan Tapera ini sejatinya bukanlah solusi.
Kekeliruan kebijakan Tapera terletak pada paradigma yang digunakan yakni dengan ideologi Kapitalisme. Sistem kapitalisme dengan landasan sekularisme (memisahkan aturan agama dari kehidupan) saat ini telah mengurat daging pada sistem di negeri-negeri kaum muslimin di berbagai belahan dunia termasuk di negeri ini. Kebijakan sarat kezaliman pun banyak dilakukan termasuk dalam kebijakan Tapera ini. Meski wacara Tapera ditunda namun selayaknya masyarakat menyadari akan akar masalah yang terjadi yakni karena diterapkannya sistem kapitalisme.
Akibat paradigma kapitalisme pula penguasa hanya sekadar sebagai regulator penyedia minus pelayanan terhadap rakyat. Jika negara berorientasi pada profit, tentu takarannya untung atau rugi, maka jelas makin menunjukkan lepas tanggung jawab negara dalam hal pelayanan terhadap rakyat. Dana yang dihimpun pada Tapera ini juga mengkuatirkan apabila kemudian diinvestasikan pada sektor tertentu ketika investasi tersebut menguntungkan maka negara akan mengambil keuntungannya, namun ketika jatuh kerugian maka rakyatlah yang menjadi korban dan harus menanggung beban. Paradigma kapitalisme ini adalah paradigma batil, selain kebijakan Tapera yang seakan-akan menjadi satu inisiatif kreatif untuk solusi perumahan, masyarakat hari ini sudah terlampau terbebani dengan kebijakan zalim lainnya seperti pemungutan pajak di segala lini kehidupan, biaya UKT pendidikan yang tinggi, harga-harga kebutuhan pokok yang meroket, iuran BPJS dan BPJS ketenagakerjaan yang setiap bulannya harus menyetorkan premi, dan lain sebagainya.
Keadaan utang Indonesia pun makin memprihatinkan, dilansir kontan.co.id melalui data APBN 30 April 2024 utang Indonesia telah mencapai 8.338,43 Triliun. Bagaimana negara dapat memiliki uang di tengah keadaan keuangan defisit seperti saat ini?. Apakah Tapera ini berujung pada istilah "investasi bodong"? seperti seorang ibu yang berbinar saat momentum lebaran anak-anaknya mendapatkan amplop yang berisi uang, kemudian si ibu merayu-rayu si anak agar uangnya ditabung dan disimpan oleh ibu saja ya nak. Tapi karena ketidakamanahan seorang ibu, tatkala ibu tidak lagi memiliki simpanan uang maka uang anak tadi pun digunakan untuk belanja memenuhi kebutuhan lainnya dan endingnya sudah bisa ditebak ketika si anak meminta hak uangnya ternyata uangnya sudah habis. Keadaan ini semestinya membuat kita juga berpikir apakah Tapera ini nantinya uang tabungannya akan aman? dan apakah pengelolanya akan amanah di tengah-tengah keadaan sistem demokrasi yang menumbuhsuburkan budaya korupsi seperti saat ini?
Sistem Islam (Khilafah) Solusi Pengadaan Perumahan Rakyat
Sistem Islam memiliki solusi paripurna dalam menyelesaikan masalah kehidupan manusia. Negara Islam (Khilafah) merupakan negara yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Tujuan hidup untuk mendapatkan rida Allah menjadi tujuan yang melekat dalam naungan Khilafah, sehingga pemerintah akan menjadi pelayan rakyat. Melalui sistem pemerintahan Islam, Khilafah akan menjamin kesejahteraan, termasuk di dalamnya menjamin masyarakat baik muslim maupun non-muslim mendapatkan tempat tinggal perumahan yang layak, aman, nyaman dan syari.
Definisi sejahtera dalam Islam begitu jelas yakni terpenuhinya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan perumahan bagi setiap warga negara (muslim dan nonmuslim). Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam hal pengadaan perumahan diantaranya:
Pertama, Khilafah akan menyediakan lapangan pekerjaan dengan gaji yang tidak dipatok UMR melainkan digaji sesuai kapasitas. Adanya struktur adminstratif yang akan berlaku ikhsan dalam melayani rakyat dengan kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan dan ditangani secara profesional akan memudahkan rakyat mendapatkan lapangan pekerjaan.
Kedua, Khilafah dengan sistem ekonomi Islam akan mengelola sumber daya alam sesuai syariat Islam. Pada kepemilikan umum negara akan mengelola dan kemaslahatannya dikembalikan kepada masyarakat. Dalam hal pembangunan perumahan misalnya banyak bahan-bahan dari sumber daya alam, misal pasir, semen, kayu, baja, nikel, alumunium, besi dan lain sebagainya. Negara sebagai pengelola sumber daya akan akan menyediakan kepada masyarakat dengan harga sangat terjangkau atau bahkan gratis bagi fakir dan miskin.
Ketiga, Khilafah memiliki mekanisme pengelolaan tanah sehingga negara berhak mengambil tanah yang tidak dimanfaatkan apabila telah lebih dari 3 tahun. Hal ini juga yang akan mencegah terjadinya monopoli tanah yang membuat situasi harga tanah dan properti rumah hari ini selalu naik. Pengelolaan tanah dalam Khilafah akan memanfaatkan tanah dengan sebaik-baiknya, bahkan negara dapat membangunkan rumah dan memberikannya secara cuma-cuma kepada kalangan fakir dan miskin.
Keempat, larangan akad batil riba, tabungan atau iuran apapun yang mengandung riba dan akad batil akan ditiadakan dalam sistem Islam. Kelima, negara menerapkan sistem aturan Islam secara menyeluruh (bidang politik, ekonomi, pendidikan, sanksi dll).
Bukti hadirnya negara dengan pengaturan Islam dalam mengadakan rumah ini terjadi ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Yatsrib (Madinah) yang mengurusi terhadapan tempat tinggal kaum muhajirin. Pun di masa Kekhilafahan saat Umar bin Abdul Aziz sampai kesulitan menjumpai warganya yang berhak menerima zakat lantaran sudah terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat termasuk tempat tinggal.
Selayaknya para penguasa hari ini merenungkan sabda Rasulullah ﷺ berikut, "Sesungguhnya Allahlah Yang Menciptakan, memegang dan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki; dan Yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorang yang menuntutu karena kezaliman yang aku perbuat kepadanya dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta." (HR Ahmad)
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Saatnya mengakhiri segala bentuk kebijakan zalim yang kian membebani rakyat dengan penerapan syariat Islam secara kafah dalam naungan Khilafah. Sudah saatnya pengemban dakwah bersama umat menyongsong kemenangan Islam di masa mendatang dengan terwujudnya Khilafah 'ala minhajin nubuwwah dengan ikut serta dalam perjuangan dakwah secara berkelompok dengan jemaah yang konsisten menapaki metode dakwah Rasulullah ﷺ. Wallahualam bishawab. (Dari berbagai sumber)
Oleh. Hernani Sulistyaningsih, S.Pd.I.
Founder Channel Muslimah