Tintassiyasi.id.com -- Bukan rahasia lagi kasus korupsi hari ini mendarah daging. Kasus korupsi dari hari ke hari terus bertambah, selain itu para koruptor seperti tidak punya rasa malu. Seperti yang terjadi di Kementan, dana rakyat ia gunakan untuk keperluan pribadi, mulai dari umroh, sewa biduan, cucunya magang di Kementan, melakukan hajatan sunatan bagi cucunya, dan masih banyak lagi.
Dilansir dari kompas.com (1/5/2024) Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut, kasus dugaan korupsi dan pemerasan yang menjerat mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) sangat banal. Pasalnya, SYL memeras para anak buahnya hingga miliaran rupiah untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Kemudian sebelumnya, kasus korupsi timah yang menyerat suami artis canti Sandra Dewi, yang menelan kerugian negara 271 triliun. Angka yang fantastis. Selanjutnya baru-baru ini terkuak korupsi di PT Antam yang menelan kerugian 109 ton emas. Dilansir dari detik.com (29/5/2024) Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut kasus dugaan korupsi terkait tata kelola komoditi emas sebesar 109 ton di PT Antam tahun 2010-2021. Ada 6 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sampai kapankah rakyat terus-menerus dipertontonkan kezaliman penguasa? Sanksi yang ada nyatanya tidak membuat efek jera, hukum bisa diotak- atik sesuai kepentingan.
Sebenarnya rakyat sudah jengah dengan semua sandiwara penguasa hari ini. Penguasa yang seharusnya mengurus kepentingan rakyat malah asyik menggarong duit rakyat. Di mana tanggungjawabnya?
Sudah saatnya masyarakat sadar, bahwa mendarah dagingnya korupsi hari ini dipengaruhi oleh sistem kehidupan. Sistem hari ini hanya mementingkan materi, entah dari mana asalnya yang penting cuan cuan cuan.
Begitu pun dengan pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil dalam sistem demokrasi, karena sistem ini berbiaya mahal, yang mana ketika pemilu membutuhkan uang yang banyak, sehingga ketika penguasa berkuasa merupakan kesempatan untuk mengembalikan modal, salah satunya dengan cara korupsi. Berbagai undang-undang nyatanya tidak menyiutkan nyali koruptor untuk berhenti menggarong duit rakyat.
Padahal jabatan adalah amanah yang diberikan rakyat untuk penguasa, yang mana dengan jabatan tersebut rakyat diurus kehidupannya. Namun dalam sistem demokrasi tidak mungkin penguasa mengurus rakyatnya tanpa ada imbalan.
Masyarakat juga harus sadar bahwa harus ada sistem alternatif untuk menyelesaikan problem kehidupan ini, yakni dengan kembali ke aturan Islam. Mengapa? Karena Islam memiliki seperangkat aturan dari Allah yang jika aturan digunakan maka akan timbul keberkahan dari mana saja.
Islam juga mengatur ketika melakukan pemilihan pejabat. Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah, serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Tentang sikap amanah, Allah SWT. telah berfirman
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, padahal kalian tahu.” (TQS Al-Anfal [8]: 27).
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul saw. bersabda.
“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulûl.” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).
Kelima, Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
Adapun secara kuratif, maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam, hukuman untuk koruptor masuk kategori takzîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa.
Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda, atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman takzîr ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 78—89).
Begitulah Islam memberantas korupsi hingga keakarnya. Sudah saatnya umat kembali pada aturan Islam.[]
Oleh: Alfia Purwanti
(Analis Mutiara Umat Institute)