Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Belum Tentu Dikorupsi, tetapi Kezaliman Tapera Sudah Pasti

Sabtu, 01 Juni 2024 | 22:55 WIB Last Updated 2024-06-09T04:35:20Z
TintaSiyasi.com -- Menanggapi pernyataan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko bahwa penerapan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak akan berujung seperti kasus korupsi Asabri, Jurnalis Joko Prasetyo menegaskan sekalipun begitu, kezaliman Tapera sudah pasti.

"Akan seperti Asabri atau tidak itu masih prediksi. Tetapi kezaliman Tapera itu sudah pasti," tuturnya kepada Tintasiyasi.id, Sabtu 1 Juni 2024.

Om Joy, sapaan akrabnya, mengungkap sedikitnya ada lima kezaliman yang akan dirasakan rakyat usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan PP Nomor 25 Tahun 2020 mengenai Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berisi ketetapan pemotongan 3 persen dari gaji pekerja untuk Tapera.

"Kezaliman pertama, rakyat dipaksa nabung yang katanya untuk beli rumah. Orang yang sudah punya rumah bagaimana? Apakah dipaksa nabung juga, enggak? Kalau dipaksa nabung juga, lebih zalim lagi," ujarnya.

Kezaliman kedua, lanjutnya, tabungan tersebut diberi bunga sebesar lima persen per tahun. Ditambah lagi, adanya denda 0,1 persen per bulan dinilai Om Joy menjadi kezaliman berikutnya. Kezaliman ketiga, adanya denda 0,1 persen per bulan menjadi kezaliman berikutnya. "Telat nabung akan didenda 0,1 persen per bulan," ungkapnya.

Kezaliman keempat, sekalipun pekerja menjadi peserta terlama ikut Tapera, total uang yang didapatkan tidak seberapa. Bagi yang gajinya setara upah minimum regional (UMR) maka setelah 30 tahun (waktu terlama ikut Tapera), uang yang didapat tidak seberapa. Paling banter hanya cukup untuk uang muka beli rumah saja.

"Umur 20 tahun ikut Tapera. Umur 50 tahun, uang tabungan Taperanya baru bisa diambil. Begitu diambil, jadi bisa bayar uang muka untuk nyicil rumah," imbuhnya.

Kezaliman kelima, menurutnya Tapera sejatinya hanya kamuflase dari surat utang negara (SUN) yang dijajakan kepada rakyat.

"Tapera sejatinya hanya kamuflase dari surat utang negara (SUN). Pemerintah butuh dana segar untuk pembiayaan lain, maka dikeluarkanlah SUN yang menyasar seluruh rakyat Indonesia yang: usianya sudah 20 tahun ke atas dan sudah bekerja dengan penghasilan minimal sesuai UMR. Agar rakyat mau membeli SUN, maka dikamuflaselah istilah SUN dengan Tapera," terangnya.

Dia menegaskan, jika pemerintah serius, semestinya menyediakan rumah di awal sehingga rakyat bisa menempatinya sembari mencicil dengan cicilan tanpa bunga maupun denda.

"Kalau pemerintah serius ingin membantu rakyatnya memiliki rumah maka semestinya sedari awal pemerintah menyediakan rumahnya terlebih dahulu. Sehingga rakyat bisa tinggal di rumah tersebut sembari mencicilnya. Tetapi sama sekali tidak boleh ada bunga ataupun denda," tegasnya. 

Sementara untuk pekerja yang bergaji di atas UMR, menurutnya dianggap sudah bisa membeli rumah tanpa harus ikut Tapera. "Ini yang gajinya UMR ya. Lain cerita kalau gajinya puluhan juta. Kalau gajinya puluhan juta, ngapain juga ikut tapera. Nabung beberapa tahun saja sudah punya uang muka untuk beli rumah," ujarnya.

Dia menyayangkan karena pada kenyataannya, peserta Tapera tetap saja harus mengontrak rumah terlebih dahulu selama tiga puluh tahun (waktu terlama ikut Tapera). Setelah mendapat uang pengembalian Tapera pun, hanya cukup untuk uang muka membeli rumah.

"Tetapi kenyataannya, peserta Tapera tetap saja harus mengontrak rumah dahulu selama tiga puluh tahun (waktu terlama ikut Tapera), setelah dapat uang pengembalian Tapera, eh, hanya dapat uang untuk uang muka beli rumah aja," pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update