Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Adakah Khilafiyah dalam Penentuan Iduladha

Sabtu, 15 Juni 2024 | 08:09 WIB Last Updated 2024-06-15T01:10:00Z

TintaSiyasi.id -- Perbedaan hari Raya Idul Adha 1445 Hijriyah negeri-negeri Muslim, termasuk negeri ini kembali terjadi. Padahal Idul Adha bertepatan dengan puncak pelaksanaan ibadah haji di tanah suci Makkah, setiap bulan Dzulhijjah yang menyatukan tamu-tamu Allah di berbagai belahan dunia. 

Sebagaimana diberitakan, bahwa Arab Saudi melaksanakan Idul Adha pada Ahad, 16 Juni 2024, sementara Indonesia pada Senin, 17 Juni 2024. Mahkamah Agung Arab Saudi pada Kamis (6/6/2024) mengumumkan, bahwa 1 Dzulhijjah 1445 Hijriyah bertepatan dengan Jum'at (7/6/2024). Dengan demikian, hari raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1445 Hijriyah akan jatuh pada Ahad (16/6/2024). Sementara puncak haji wukuf di Arafah akan dilaksanakan pada Sabtu, 15 Juni 2024 bertepatan dengan 9 Dzulhijjah. Keputusan tersebut dilakukan setelah hilal yang menjadi pertanda akhir Dzulqa'dah dan awal Dzulhijjah terlihat di Arab Saudi.

"Berdasarkan hisab posisi hilal wilayah Indonesia yang sudah masuk kriteria MABIMS, serta adanya laporan hilal terlihat, disepakati bahwa 1 Dzulhijjah tahun 1445 Hijriyah jatuh pada hari Sabtu, tanggal 8 Juni 2024 Masehi dan insya Allah hari raya Idul Adha jatuh pada Senin, tanggal 17 Juni 2024," tutur Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki, dalam konferensi pers sidang isbat penetapan 1 Dzulhijjah 1445 Hijriyah. (www.kompas.com, 7/6/2024)

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu rukyat yang sama untuk Idul Fitri. Mazhab Syafi'i menganut rukyat lokal, yaitu mereka mengamalkan rukyat masing-masing negeri. Sementara mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali menganut rukyat Global, yakni mengamalkan rukyat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika rukyat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka rukyat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat merukyat. 

Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali telah sepakat mengamalkan rukyat yang sama untuk Idul Adha. Rukyat yang dimaksud adalah rukyatul hilal atau pengamatan bulan sabit untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Rukyat ini berlaku untuk seluruh dunia, karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir oleh orang banyak pihak, bahkan sejak masa kenabian dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali Radhiyallahu 'anhu, Dia berkata: 

"Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata: Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud dan Ad-Daruquthni) 

Namun, meskipun penetapan Idul Adha ini sudah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam, anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama, telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh pada hari pertama dari hari tasyrik, yakni tanggal 9 Zulhijah dan bukannya pada yaumun-nahr (hari penyembelihan kurban) tanggal 10 Dzulhijjah. 

Jika dicermati lebih dalam, perbedaan penentuan hari raya Idul Adha di antara negeri-negeri kaum Muslimin terjadi karena faktor fanatisme, yakni nasionalisme. Ide nasionalisme telah menjadikan umat Islam terpecah belah menjadi negara-negara bangsa (nation state). Pasca runtuhnya kekhilafahan Islam terakhir yang berpusat di Istanbul, Turki 1924, dunia Islam memang tidak lagi menjadi kekuatan politik yang disegani. Wilayahnya yang luas, terkotak-kotak menjadi lebih dari lima puluh negara dan terkerat-kerat oleh ikatan nasionalisme. Ikatan nasionalisme inilah yang menggantikan ikatan kokoh, berupa akidah dan persaudaraan Islam yang mereka miliki. Ikatan ini menjadikan mereka bersikap individualistik. 

Dalam hal penentuan hari raya Idul Adha misalnya, negeri ini merasa terpisah dengan negara Arab Saudi, sebagai tempat dilaksanakannya ibadah haji. Ikatan ini juga menjadikan mereka abai terhadap persoalan negara lain, lebih jauh lagi ide ini berasal dari Barat yang ditujukan untuk melanggengkan imperialismenya terhadap negeri-negeri Muslim. Mirisnya, sebagian umat Islam mengelu-elukan ide nasionalisme ini. Ide ini dipandang sebagai pemersatu bangsa, dengan dalih cinta tanah air sebagai bagian dari iman. Padahal kalimat tersebut hanyalah sebuah propaganda yang memecah belah kaum Muslim. Selain itu, kalimat tersebut bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW: 

"Bukanlah bagian dari golonganku orang yang menyerukan ashabiyah, bukanlah golonganku orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan golonganku orang yang mati di atas dasar ashabiyah." (HR. Abu Dawud)

Ashabiyah yang dimaksud di sini adalah perasaan fanatisme golongan, termasuk kesukuan dan nasionalisme. Perbedaan hari raya Idul Adha yang masih terus terjadi ini, seharusnya menyadarkan umat Islam untuk bersatu dalam satu kepemimpinan. Kepemimpinan yang mampu menyatukan umat hanyalah Khilafah Islamiyah. Semoga di momen Idul Adha yang identik dengan pengorbanan untuk taat, mampu melahirkan banyak umat Islam yang memiliki kadar keimanan dan ketaatan tinggi kepada Allah SWT yang menjadi modal terbitnya fajar kemenangan Islam.

Wallahu a'lam bishshawab. []



Opini

×
Berita Terbaru Update