×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kurikulum Cinta, Sanggupkah Jadi Obat Pendidikan Kita?

Selasa, 05 Agustus 2025 | 22:38 WIB Last Updated 2025-08-05T15:39:06Z
TintaSiyasi.id -- Generasi kita tidak sedang baik-baik saja. Banyak yang rentan putus sekolah, banyak yang sekolah namun miskin budi pekerti. Tawuran pelajar hampir di setiap kota terjadi. Ada remaja yang terjerumus narkoba dan sederet masalah lainnya. Remaja kita hari ini merupakan buah dari sistem pendidikan saat ini.

Dari sederet fakta tersebut, kiranya layak dicari jalan keluar atas suramnya wajah pendidikan di negeri ini. Belum lagi anggapan bahwa pendidikan di Indonesia cenderung eksklusif dan minim toleransi, sehingga oleh pemerintah dirasa penting menghadirkan sentuhan baru dalam kurikulum pendidikan kita.

Kurikulum Basis Cinta, Untuk Siapa?

Kurikulum Berbasis Cinta yang baru saja diluncurkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia merupakan wajah baru pendidikan Islam di Indonesia. Kurikulum yang dicanangkan di pesantren dan sekolah berbasis agama ini diharapkan menjadi wajah pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual, sebagaimana dikatakan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar di Makassar, 24 Juli 2025 lalu (Republika, 25 Juli 2025).

Kurikulum ini diharapkan akan mewujudkan keharmonisan hidup antar siswa, baik di dalam satu sekolah maupun di sekolah lainnya. Siswa akan ditanamkan kepedulian, empati, dan kepekaan terhadap sekelilingnya. Siswa-siswa akan lebih humanis—itu harapannya. Siswa akan ditanamkan beberapa jenis cinta, mulai dari cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta pada sesama, cinta lingkungan, juga cinta bangsa dan negaranya.

Kondisi ini seolah hendak mengukuhkan pandangan bahwa pendidikan agama selama ini gagal menjadikan pelajar kita memiliki nilai-nilai spiritual, cinta, kemanusiaan, dan miskin kepekaan, sehingga harus dibuat kurikulum yang berbasis cinta.

Lalu, apakah kurikulum cinta ini akan mampu menjawab berbagai masalah yang dialami pelajar dan remaja hari ini? Rasanya hal ini perlu dianalisis lebih dalam.

Ketika kurikulum yang sudah ada dirasa belum mampu menjadikan pelajar negeri ini toleran, belum bisa peka terhadap lingkungan dan sesama, apakah dengan kurikulum cinta akan otomatis menjadikan anak didik jadi mudah bertoleransi? Atau justru buruknya potret pendidikan hari ini sebenarnya bukan hanya karena kurikulum yang belum pas dengan kebutuhan siswa. Ada faktor yang lebih besar yang menjadikan kurikulum dan paradigma berpikir murid, guru, dan pemangku kebijakan juga berbuah ketidakberesan dalam dunia pendidikan kita.

Sistem Pendidikan Islam, Solusi Pasti di Setiap Zaman

Sudah lebih dari lima kali kurikulum berganti nama, berganti baju, tapi hasil yang dituju tak jua terwujud. Barangkali ini membuktikan bahwa masalah sesungguhnya bukan cuma pada kurikulum saja. Ada konsep dasar yang perlu dibenahi, terutama mengenai apa yang menjadi tujuan pendidikan nasional. Sekadar mencetak generasi cerdas di atas kertas dengan ijazah mentereng, atau tujuan lain? Jika tujuan pendidikan hanya mencerdaskan anak bangsa, rasanya sudah cukup banyak yang cerdas. Tapi masalah dunia pendidikan dan remaja tak jua berkurang.

Mari melihat lebih jauh dan berpikir lebih mendalam. Akar masalah rusaknya moral, anggapan intoleran, dan minimnya budi pekerti siswa sedikit banyak dibentuk oleh kurikulum. Di sisi lain, kita tidak bisa menafikan bahwa pendidikan hari ini seolah jadi komoditas yang jadi sasaran orderan para pengusaha.

Sekolah hanya mengejar nilai-nilai berupa angka, minim sikap dan kepedulian pada masalah diri dan sekitarnya. Jadilah banyak orang cerdas tapi membodohi orang lain. Ada orang cerdas tapi sulit menyelesaikan masalahnya sendiri. Orang pintar, saat ada masalah, memilih bunuh diri.

Dari sini, maka perlu menata kembali sebuah paradigma pendidikan yang lebih mendasar, bahwa tujuan pendidikan selayaknya adalah membentuk kepribadian Islam. Kepribadian ini terlihat dalam pemikiran, sikap, dan tingkah laku seseorang. Belajar apa pun harus nyambung dengan iman dan memengaruhi perbuatan. Ilmu tak sekadar dihafal dan diujikan, tapi mewujud nyata dalam keseharian.

Inilah potret pendidikan komprehensif yang berlandaskan akidah Islam. Pendidikan yang tidak dijadikan komoditas. Konsep pendidikan yang jauh mendalam memikirkan nasib generasi sejak usia dini hingga perguruan tinggi. Pendidikan yang dilengkapi guru dan tenaga kependidikan yang sama-sama paham tujuan pendidikan, mendidik setulus hati dalam rangka meraih rida Allah—bukan semata mengejar jam pelajaran.

Guru-guru yang bekerja dengan landasan iman, amanah, dan kinerja terbaik didukung negara yang memberi kesejahteraan, tentu akan dengan mudah mendidik dan membersamai siswa serta membentuknya menjadi pribadi bertakwa dan berkepribadian Islam. Siswa yang cerdas dan unggul dalam teknologi, dan senantiasa taat pada aturan Tuhan. Itulah potret hasil pendidikan Islam.

Semua potret pendidikan ini hanya akan nyata adanya jika diberlakukan dalam sistem kehidupan yang Islami, yakni sistem pendidikan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi Islam dan sistem kehidupan Islam. Artinya, semua hal tersebut akan terasa adanya jika kita mau beralih ke konsep tata negara Islam.

Negara berlandaskan syariat atau aturan yang diturunkan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Konsep negara yang menjalankan nilai-nilai Islam secara utuh dan secara sempurna (kaffah) di semua bidang kehidupan. Yang oleh para ulama, sistem kehidupan atau ketatanegaraan ini disebut sebagai negara Islam yang dipimpin oleh khalifah. Maka, sudah saatnya kita sebagai Muslim bersama-sama bersuara dan mengajak umat untuk hidup dalam naungan sistem Islam—sistem yang akan menghadirkan kebaikan dan keberkahan dari Allah Swt., sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surah Al-A‘raf ayat 96 yang artinya:

“Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Sudah saatnya memilih dan menyuarakan syariat Islam. Semoga langkah kecil kita menuju ketaatan akan menjadi saksi di hari kiamat. Akan menjadi penyelamat di hari akhir. Āmīn.
Wallāhu a‘lam.

Kendari, 3 Agustus 2025


Oleh: Ramsa
(Pegiat Literasi)

Opini

×
Berita Terbaru Update