×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mengaku Sufi Padahal Masih Kotor: Jalan Menuju Kesucian Lahir dan Batin

Kamis, 17 Juli 2025 | 06:09 WIB Last Updated 2025-07-16T23:09:29Z

"Mengaku Sufi Padahal Masih Kotor": Jalan Menuju Kesucian Lahir dan Batin
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si

TintaSiyasi.id-- “Sufi adalah orang yang batin dan lahirnya telah jernih dengan mengikuti Kitab Allah Azza wa Jalla dan Sunnah Rasul-Nya. Engkau mengaku sufi, padahal engkau kotor.” — Sayyid Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah

Pendahuluan: Tasawuf Bukan Klaim, tapi Jalan Panjang

Di zaman ini, istilah “sufi” sering kali menjadi label yang mudah diklaim tapi sulit diwujudkan dalam laku hidup. Banyak yang merasa dirinya telah mencapai maqam tinggi dalam spiritualitas hanya karena rajin wirid, ikut majelis zikir, atau memakai simbol-simbol kesufian. Namun benarkah demikian?

Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, seorang wali besar dan pembaharu ruhani umat Islam, mengingatkan dengan tegas dan tanpa basa-basi: "Engkau mengaku sufi, padahal engkau kotor." Ucapan ini adalah cambuk tajam bagi siapa pun yang ingin menempuh jalan spiritual sejati—bahwa jalan menuju Allah adalah jalan penyucian, bukan sekadar pengakuan.

1. Sufi Sejati: Jernih Lahir dan Batin
Sufi sejati adalah mereka yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai fondasi hidup, bukan hanya pengetahuan hafalan. Kesucian mereka tampak dalam dua sisi utama:

• Kesucian Lahir: Terlihat dari akhlaknya yang luhur, ucapannya yang santun, amanah dalam muamalah, serta ibadah yang konsisten.
• Kesucian Batin: Hatinya bersih dari riya’, sombong, dengki, cinta dunia, dan selalu merasa diawasi Allah (muroqobah).
Kesufian bukanlah lari dari syariat, tapi mendalamkannya. Seorang sufi tidak meninggalkan sholat karena merasa “hatinya selalu bersama Allah”, justru ia paling khusyuk dalam setiap rukuk dan sujud.

2. Mengapa Banyak yang “Mengaku” Tapi Belum “Menjadi”?
Sayyid Abdul Qadir tidak berbicara kepada orang kafir, tetapi kepada para murid yang merasa dirinya telah suci padahal masih diliputi nafsu dan kesombongan spiritual. Ini bahaya laten yang sering terjadi dalam dunia tasawuf: penyakit keakuan ruhani (ujub dan ghurur).

"Kamu mengira dirimu telah sampai, padahal baru berjalan. Kamu merasa bersih, padahal masih berlumur debu dunia."

Mengapa ini terjadi?
• Karena tasawuf dijadikan tren, bukan jalan hidup.
• Karena sibuk dengan majelis, tapi lalai dengan muhasabah.
• Karena lebih mencintai pengakuan manusia daripada pandangan Allah.

3. Tasawuf Adalah Jalan Penyucian, Bukan Pembenaran

Kesufian sejati bukan tempat bersembunyi dari tanggung jawab agama, tetapi tempat memperdalam makna pengabdian. Jalan sufi adalah jalan tazkiyatun nafs—membersihkan hati dari penyakit:
• Hasad (dengki)
• Riya’ (pamer amal)
• ‘Ujub (bangga diri)
• Takabbur (merasa lebih baik)
• Hubb al-dunya (cinta berlebihan pada dunia)

Tanpa tazkiyah, tasawuf hanya menjadi topeng ruhani. Maka, Sayyid Abdul Qadir menegaskan: “Bagaimana engkau mengaku suci, sedangkan hati masih penuh najis duniawi?”

4. Ciri-Ciri Sufi Sejati
Berikut beberapa ciri sufi sejati yang diwariskan oleh para wali Allah:
1. Tunduk pada syariat: Tidak pernah melanggar hukum Allah dalam perkara sekecil apa pun.
2. Hatinya selalu dzikir: Dalam sepi atau ramai, hati mereka selalu menyebut nama Allah.
3. Mencintai manusia karena Allah: Tidak memandang pangkat atau jabatan, tapi memuliakan karena iman.
4. Tidak merasa diri suci: Selalu merasa berdosa meski banyak amalnya.
5. Selalu menjaga adab terhadap Allah dan makhluk-Nya.

5. Renungan: Jalan Kesucian Adalah Jalan Kehinaan di Hadapan Allah
Seorang sufi tidak mencari kemuliaan di hadapan manusia, tapi keridhaan Allah. Ia rela terhina di mata dunia asalkan mulia di sisi Rabbul ‘Izzah. Ia sadar bahwa dirinya penuh kekurangan, dan justru karena itulah ia terus bersimpuh di hadapan-Nya.
"Tanda orang arif adalah yang semakin dalam ma’rifatnya, semakin dalam rasa takut dan hinanya di hadapan Allah."
— Imam Al-Ghazali

Penutup: Mari Menempuh Jalan Suci Itu
Jangan cepat mengaku sufi, sebelum kita betul-betul membersihkan:
• Niat kita: Apakah kita ibadah karena Allah, atau karena ingin dipuji?
• Hati kita: Apakah masih dengki, sombong, dan mencintai dunia?
• Perilaku kita: Apakah sesuai Al-Qur’an dan Sunnah?

Sayyid Abdul Qadir al-Jailani memberi kita cermin: bukan untuk menyalahkan orang lain, tapi untuk melihat diri sendiri dengan jujur. Jalan tasawuf adalah jalan perjuangan tanpa henti menuju Allah. Bukan untuk merasa suci, tapi untuk terus menyucikan diri.

Doa Penutup:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا، وَنَقِّ قُلُوبَنَا مِنْ كُلِّ دَنَسٍ، وَوَفِّقْنَا لاِتِّبَاعِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ.

Arti Harfiah:
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang suci, ampunilah dosa-dosa kami, bersihkanlah hati kami dari segala kotoran, berilah kami taufik untuk mengikuti Nabi-Mu Muhammad ﷺ, dan jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang saleh."

Makna Hakiki dan Reflektif
1. "اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ"
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang suci."
• Makna lahir: Memohon agar Allah menjadikan kita hamba yang menjaga kesucian fisik (thaharah), seperti wudhu, mandi janabah, kebersihan pakaian dan tempat.
• Makna batin: Lebih dalam lagi, ini adalah permohonan untuk disucikan jiwa dan hati dari penyakit-penyakit seperti riya’, ujub, takabbur, hasad, dan cinta dunia.
• Hikmah: Orang yang bersih luar dan dalam adalah yang paling dekat dengan Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ"
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

2. "وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا"
"Ampunilah dosa-dosa kami."
• Ini permintaan agar beban dosa yang menghalangi cahaya iman diangkat dan diampuni oleh Allah.
• Dosa adalah penghalang terbesar antara seorang hamba dan Rabb-nya. Tanpa ampunan Allah, ruhani kita menjadi gelap, doa tertolak, dan hidup kehilangan keberkahan.
• Doa ini mencerminkan sikap rendah hati seorang hamba yang sadar akan dosa-dosanya, betapa kecilnya dia di hadapan ampunan Allah yang tak terbatas.

3. "وَنَقِّ قُلُوبَنَا مِنْ كُلِّ دَنَسٍ"
"Bersihkanlah hati kami dari segala kotoran."
• Danas (دنس) adalah kotoran batin, seperti dendam, iri, kebencian, niat jahat, syahwat berlebihan, dan penyakit hati lainnya.
• Hati yang kotor adalah penjara bagi ruh. Cahaya Allah tidak bisa masuk ke dalam hati yang hitam.
• Doa ini meminta kepada Allah agar hati kita jernih dan bening, seperti kaca yang mampu memantulkan cahaya hidayah.
• Karena hanya hati yang suci yang mampu mencintai Allah dengan tulus dan menerima kebenaran dengan lapang.

4. "وَوَفِّقْنَا لاِتِّبَاعِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ ﷺ"
"Berilah kami taufik untuk mengikuti Nabi-Mu Muhammad ﷺ."
• Tidak cukup hanya tahu sunnah, kita butuh taufik (pertolongan dan kekuatan dari Allah) untuk bisa meneladani Rasulullah ﷺ.
• Ikut Nabi tidak hanya dalam ritual ibadah, tapi juga dalam akhlak, kesabaran, ketulusan, keadilan, dan perjuangan hidup.
• Nabi ﷺ adalah cermin kesempurnaan manusia, dan mengikuti beliau adalah jalan paling lurus menuju Allah.

5. "وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ"
"Dan jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang saleh."
• Saleh artinya baik dalam hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama).
• Menjadi hamba yang saleh adalah cita-cita para nabi dan orang-orang shaleh terdahulu, karena dari merekalah turun keberkahan hidup dan akhirat.
• Ini adalah pengakuan bahwa kita belum saleh, tapi memohon kepada Allah agar diberi jalan dan kekuatan untuk menjadi hamba yang dicintai-Nya.

Penutup Reflektif
Doa ini bukan sekadar permintaan biasa. Ia adalah tangisan ruh, permohonan seorang hamba yang ingin kembali kepada fitrahnya: suci, bersih, mengikuti Nabi, dan menjadi kekasih Allah. Setiap kalimat dalam doa ini mengandung pelajaran dan perjuangan. Bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk diamalkan.

Mari kita renungi kembali:
• Sudahkah kita menjaga kesucian lahir dan batin?
• Sudahkah kita memohon ampun dengan hati yang hancur?
• Sudahkah kita jujur dalam mengikuti sunnah Nabi?
• Sudahkah kita layak disebut hamba yang saleh?
Semoga Allah mengabulkan doa ini untuk kita semua.
اللهم آمين يا رب العالمين.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update