×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Korupsi Adalah Tren Sistem Demokrasi

Kamis, 17 Juli 2025 | 07:53 WIB Last Updated 2025-07-17T00:53:43Z

TintaSiyasi.id -- Tiada tahun tanpa dibanjiri banyaknya kasus korupsi. Baru-baru ini dilansir beritasatu.com pada Senin, 30 Juni 2025 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki adanya tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp 2,1 triliun, bahkan telah berlangsung pada periode 2020 hingga 2024. Tidak lama, di bulan lalu terdapat kasus korupsi oleh Wilmar Group, terkait adanya kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 11,8 triliun. Masih di tahun yang sama, sempat heboh korupsi kasus Pertamina Pertamax oplosan diperkirakan capai Rp 968,5 triliun. 

Sejatinya, fenomena maraknya pejabat tinggi yang korupsi adalah hal yang lumrah lahir dari sistem pemerintahan saat ini, apabila sistem pemerintahan ini berlandaskan atau berorientasikan sekuler kapitalistik neolib. Di mana sekuler adalah pemisahan aturan agama dengan kehidupan, memunculkan watak semena-mena dalam melakukan tindakan, bahkan dalam hal meraih keuntungan. Yang bahkan membelokkan pola pikir pemerintah sebagai pengurus rakyat menjadi oportunis yakni menggunakan jabatannya untuk meraih kekayaan sebanyak-banyaknya. Tabiat ini semakin diperlancar oleh sistem pemerintahan yang dipakai negeri ini yaitu sistem demokrasi. Dengan sistem inilah membuat rakyat atau wakil rakyat membuat aturan yang sering erat dengan hawa nafsunya dan kepentingan pribadi. Pemerintah tidak jarang membuat aturan yang memperlancar kepentingan pebisnis dan mewadahi setiap tindakan yang akan menyukseskan segala agenda untuk bisa mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Lebih parahnya lagi, sisi sistem demokrasi yang membiarkan manusia membuat aturan untuk bisa menyuburkan jabatan politik sekadar menjadi alat kekuasaan transaksional antara para pejabat satu dengan yang lainnya. Jelas rakyatlah yang menjadi korban karena tertipu dengan kebijakan efisiensi anggaran. Padahal kebutuhan hidup semakin menjadi beban.

Sedangkan di dalam Islam, orientasi kepemimpinan atau jabatan ialah berasas aqidah yang mana membentuk pribadi yang takwa yaitu takut kepada Allah SWT. Sehingga membuat jujur dan bertanggung jawab atas amanah yang dipegang. Tidak hanya pemilik kekuasaan tetapi siapapun justru akan menjadikan kehidupan berjalan sesuai tuntunan syariat. Sistem pemerintahan Islam juga akan menjadi standar seleksi yang tepat agar tercetaknya pemegang kekuasaan yang amanah, dan mewadahi penerapan amar makruf nahi munkar, meng-counter bagi siapapun yang bertindak semena-mena agar tetap dalam koridor syariat.

Islam juga mempunyai regulasi yang bisa dipakai cara lengkap dan komprehensif membentuk sistem yang akan mampu meminimalisir munculnya kasus pelanggaran seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan dan lain-lain. Seperti sanksi yang tegas seperti takzir kepada pelaku korupsi. Yaitu berupa penjara, denda, atau hukuman mati, tergantung pada beratnya tindakan korupsi dan dampaknya. Masyarakat juga memiliki peran untuk mencela, ber amar ma’ruf nahyi munkar kepada pelaku korupsi sebagai bentuk kepekaan dan kepedulian sosial. Selain menurunkan tingginya kasus korupsi, sistem yang berlandaskan Islam juga melahirkan masyarakat ideal tanpa korupsi dan penyimpangan betul-betul bisa dicegah, dan masyarakat hidup dalam level kesejahteraan tanpa tandingan ketika Islam diterapkan dalam naungan sistem Islam, Khilafah Islamiyah. []


Oleh: Ainun Syaifia
(Aktivis Surabaya)

Opini

×
Berita Terbaru Update