×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Pengangguran Sistemis di Indonesia Akibat Kerusakan Struktural

Jumat, 18 Juli 2025 | 23:45 WIB Last Updated 2025-07-18T16:45:56Z

Tintasiyasi.ID -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyatakan bahwa masalah pengangguran sistemis di Indonesia paling mengkhawatirkan, yang dinilai bukan sekadar akibat malas bekerja, melainkan hasil dari kerusakan struktural dalam sistem ekonomi, sosial, dan pemerintahan.

 

Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, umat Islam harus bersikap proaktif dan cerdas dalam merespons berbagai problematika sosial. Salah satu problem paling mengkhawatirkan hari ini adalah pengangguran sistemis, yang bukan sekadar akibat dari malas bekerja, tetapi merupakan hasil dari kerusakan struktural dalam sistem ekonomi, sosial, dan pemerintahan,” sebut HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Jumat (18/07/2025).

 

Intellectual Oponion yang kesepuluh tersebut menyitat Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 yang menunjukkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,28 juta jiwa, dan sekitar 1 juta di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi. “Sebuah kondisi yang ironis,” tandas HILMI.

 

HILMI mengidentifikasi beberapa akar masalah struktural yang memicu tingginya angka pengangguran:

  • Sistem ekonomi kapitali: sistem ini menempatkan modal sebagai pusat kekuasaan, menyebabkan akses terhadap lahan, sumber daya, dan industri sering dimonopoli oleh korporasi besar dan elite politik. Menurut kajian Tirto (2022), 48 persen dari 55,9 juta hektare tanah bersertifikat di Indonesia dikuasai hanya oleh 60 keluarga.

Negara juga dinilai mengalokasikan anggaran besar untuk proyek-proyek prestisius seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) atau Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), namun abai pada pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pendidikan vokasional, dan penciptaan lapangan kerja berbasis komunitas.

  • Kebijakan ketenagakerjaan yang tidak adaptif: dunia kerja Indonesia masih terjebak dalam pola lama yang mempersiapkan lulusan untuk menjadi pegawai, bukan pencipta lapangan kerja.

Padahal, data World Economic Forum (2023) menunjukkan bahwa 60 persen pekerjaan masa depan akan berbasis teknologi, kreativitas, dan kewirausahaan, sebuah kebutuhan yang belum sepenuhnya dijawab oleh sistem pendidikan saat ini.

  • Krisis industri dan invasi produk impor: sejak pandemi COVID-19, ditambah tekanan dari produk impor murah, terutama dari Tiongkok, ribuan industri kecil dan menengah terpaksa tutup. Per Mei 2024, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mencatat lebih dari 7.000 UMKM di sektor manufaktur berhenti beroperasi, terutama karena mahalnya bahan baku dan tekanan pajak yang tinggi.

 

Solusi Islam

 

HILMI menegaskan bahwa Islam hadir bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi juga sebagai sistem kehidupan yang paripurna. “Dalam sistem Islam, pengangguran bukan sekadar masalah statistik, melainkan kegagalan negara dalam memenuhi amanatnya sebagai ra’in (pengurus urusan rakyat),” ulas HILMI.

 

Kewajiban mencari nafkah adalah syar’i bagi laki-laki, dan negara berkewajiban menyediakan kondisi agar kewajiban itu bisa ditunaikan, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah QS Al-Baqarah ayat 233.

 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada istri mereka dengan cara yang baik.

 

“Artinya, kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban syar’i bagi laki-laki, dan negara berkewajiban menyediakan kondisi agar kewajiban itu bisa ditunaikan,” sebut HILMI.

 

Solusi pengangguran dalam Islam bersifat sistemis, dengan poin-poin utama:

 

  • Negara wajib menjamin lapangan kerja, sebagaimana Rasululullah bersabda:

 

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah pemelihara rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.

 

Negara wajib:

    • Membuka lahan-lahan mati (ihya’ al-mawat), mendorong pertanian rakyat, dan memfasilitasi industri berbasis potensi lokal.
    • Membangun ekosistem untuk inovasi dan solusi kreatif, termasuk Pengembangan Ekonomi Digital Syariah (seperti marketplace halal, aplikasi keuangan syariah, layanan pendidikan daring, dan konsultasi berbasis AI syariah).
    • Membentuk inkubator wirausaha (social entrepreneurship) yang menghubungkan inventor, investor, dan entrepreneur, menyediakan pelatihan, modal tanpa riba, serta pasar bagi usaha kecil berbasis pemberdayaan komunitas dan keadilan distribusi.
    • Mendorong pertanian urban dan industri desa untuk mengubah desa menjadi pusat produksi lokal dengan konsep industri rumahan.
    • Mengembangkan koperasi syariah berbasis wakaf produktif untuk pemanfaatan aset wakaf sebagai wadah distribusi kerja dan pendapatan.

 

  • Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) sebagai kepemilikan umum: SDA besar seperti tambang, air, dan hutan tidak boleh dimonopoli perorangan atau korporasi, karena telah diingatkan oleh Nabi dalam hadisnya:

  

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput (hutan), dan api (energi).

 

  • Tidak Ada pajak tetap, tetapi dana syariat: pendapatan negara berasal dari zakat, kharaj, fa’i, jizyah, dan keuntungan pengelolaan harta milik umum. Hanya jika kas baitulmal tidak cukup, negara berhak menarik zakat secara temporer dan selektif hanya pada Muslim yang kaya.

Sistem ini memungkinkan negara memberikan pendidikan dan kesehatan secara gratis serta menciptakan lapangan kerja produktif tanpa membebani rakyat dengan pajak konsumtif.

 

Selain itu, negara dalam Islam memiliki kewajiban langsung untuk memberantas seluruh praktik yang merusak struktur ekonomi dan nilai-nilai masyarakat:

 

  • Praktik riba dan pinjaman online riba: dilarang tegas dalam Islam (QS al-Baqarah: 278).

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

 

Pinjaman online (pinjol) berbasis bunga yang menjebak jutaan keluarga harus dihapuskan secara sistemis.

  • Perjudian dan aplikasi berbasis judi: termasuk slot online, trading palsu, dan permainan "tebak skor", yang merusak generasi muda dan sering dikaitkan dengan penyucian uang haram serta kriminalitas (QS al-Ma’idah: 90).

 

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ

Sesungguhnya khamar, judi… adalah perbuatan keji dari perbuatan setan, maka jauhilah itu.

 

  • Pornografi, prostitusi berbasis aplikasi, dan eksploitasi seksual: perkembangan teknologi sayangnya diiringi dengan komodifikasi tubuh perempuan, dan bahkan anak-anak, melalui aplikasi yang membungkus prostitusi dalam istilah halus: "open BO", "sugar baby", "live show" dan sebagainya. Ini bukan hanya dosa, tapi juga faktor dehumanisasi perempuan dan kehancuran keluarga.

Negara wajib memblokir, membubarkan, dan menindak keras setiap platform digital dan jaringan sosial yang memfasilitasi praktik ini.

  • Monopoli dan penimbunan (Ihtikâr):

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Siapa yang melakukan penimbunan, maka ia telah berdosa. (HR Muslim).

Negara wajib memecah monopoli atas komoditas penting seperti sembako, energi, lahan pertanian, dan sarana transportasi publik (HR Muslim).

  • Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN): korupsi dianggap pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Sistem Islam mengatur pemimpin sebagai pengurus rakyat (ra’in), bukan pemilik negeri.

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. (HR al-Bukhari dan Muslim)

 

Sanksi dalam sistem Islam sangat tegas bagi pengkhianat amanah, termasuk hukuman takzir berat, pencabutan hak publik, dan penolakan jabatan seumur hidup bagi pelaku KKN.

 

HILMI menyimpulkan,”Semua distorsi ekonomi tersebut tidak hanya merusak distribusi kekayaan, tetapi juga menghancurkan struktur moral, sosial, dan masa depan generasi.”

 

“Tugas negara bukan hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga membersihkan akar-akar yang meracuni keadilan ekonomi. Hanya sistem Islam yang memiliki perangkat hukum, moral, dan kelembagaan untuk menghapus seluruh sumber kerusakan ini secara tuntas,” lugas HILMI.

 

Lanjut dikatakan, sungguh, pengangguran bukan takdir, tetapi buah dari sistem yang rusak. “Solusinya bukan sekadar pelatihan kerja, tetapi perubahan paradigma menuju sistem yang adil, amanah, dan berbasis wahyu,” jelas HILMI.

 

HILMI menukil firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf [7]: 96:

 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.

 

“Kini saatnya umat Islam mendorong terwujudnya tatanan yang menyejahterakan berdasarkan wahyu, bukan hawa nafsu segelintir elite. Tatanan ini hanya bisa terwujud melalui sistem Islam yang kaffah, di bawah naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. WalLâhu a’lam bish-shawâb,” pungkas HILMI.[] Rere

 

 


 

 

Opini

×
Berita Terbaru Update