—Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, Fathur Rabbani
Pendahuluan: Jalan Dua Golongan
Dalam setiap langkah kehidupan, manusia pada
hakikatnya sedang memilih satu dari dua jalan: jalan kesadaran menuju Allah,
atau jalan kelalaian menuju kebinasaan. Dalam kitab Fathur Rabbani,
Sayyid Abdul Qadir al-Jailani dengan sangat dalam menggambarkan dua sikap
manusia terhadap kehidupan dunia: orang mukmin yang mengumpulkan bekal, dan
orang kafir yang hanya mengejar kesenangan.
Ungkapan ini bukan sekadar kontras perilaku, melainkan
cerminan orientasi hidup yang menentukan nasib abadi manusia. Mari kita
telusuri lebih dalam hikmah besar yang tersembunyi dalam ungkapan bijak ini.
1. Dunia sebagai Jalan, Bukan Tujuan
Bagi seorang mukmin sejati, dunia adalah tempat
berlalu, bukan tempat menetap. Ia sadar bahwa hidup di dunia hanyalah
perhentian sejenak sebelum mencapai tujuan hakiki: perjumpaan dengan Allah Swt..
Imam Al-Jailani menekankan bahwa:
"Siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan, maka
ia akan tersesat dalam gelapnya syahwat. Tapi siapa yang menjadikannya jembatan
menuju Allah, maka ia akan dituntun oleh cahaya iman."
Inilah sebabnya mengapa seorang mukmin yang hakiki
selalu mengisi hidupnya dengan amal:
• Menjaga salat tepat waktu
• Bersedekah secara ikhlas
• Menghindari yang syubhat
• Mendidik hati dengan zikir dan tafakur
• Menjaga lisan dan menundukkan pandangan
Ia sedang menabung untuk hari perhitungan, bukan
sedang membangun istana di dunia yang akan hancur.
2. Orang Kafir dan Fatamorgana Dunia
Berbeda dengan orang mukmin, orang kafir tertipu oleh
dunia. Ia melihat dunia sebagai surga kecil, dan karena itu seluruh hidupnya
dipusatkan pada:
• Harta
• Jabatan
• Popularitas
• Kenikmatan fisik dan lahiriah
Dalam Fathur Rabbani, al-Jailani
memperingatkan:
"Orang kafir makan dan bersenang-senang seperti
hewan ternak, tidak pernah memikirkan ke mana ia akan pergi setelah mati. Ia
tertipu oleh dunia, dan dunia mempermainkannya seperti anak kecil yang
mempermainkan mainannya."
Allah Swt. berfirman:
Biarkan mereka makan dan
bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong). Maka kelak mereka
akan mengetahui. (QS Al-Hijr: 3)
Dunia memang menyenangkan bagi yang melupakan akhirat.
Namun ia ibarat pelangi yang tidak bisa disentuh, fatamorgana yang memabukkan,
dan perhiasan palsu yang akhirnya menipu.
3. Bekal Sejati: Takwa dan Keikhlasan
Imam Al-Jailani menyatakan bahwa bekal terbaik bukan
uang, bukan kekuasaan, bukan keturunan. Bekal terbaik adalah:
• Takwa (kesadaran penuh akan kehadiran Allah)
• Keikhlasan (meluruskan niat dalam amal)
• Rida (menerima qada dan qadar dengan lapang dada)
• Tawakal (berserah diri total kepada Allah)
• Mahabah (cinta yang murni kepada Allah)
Dalam Fathur Rabbani, beliau menasihati
murid-muridnya:
"Jadilah engkau seperti orang asing di dunia,
siapkan bekalmu seperti seorang musafir. Dunia bukan tempatmu, rumahmu yang
sebenarnya adalah di sisi Tuhanmu."
4. Tanda-Tanda Mukmin yang Mengumpulkan Bekal
Imam Al-Jailani menyingkap ciri-ciri orang mukmin
sejati, yaitu:
• Sedikit bicara, banyak amal
• Tak sibuk dengan urusan orang lain, tapi sibuk
membenahi diri
• Tidak tertipu oleh pujian, dan tidak patah karena
celaan
• Malamnya diisi dengan munajat, siangnya dengan kerja
yang halal
• Menghidupkan hatinya dengan ilmu dan zikir
Ia bukan sosok yang keras pada orang lain, tapi keras
pada dirinya. Ia menangis saat sendirian, karena ia tahu, yang akan ia hadapi
adalah hisab yang pasti.
5. Pesan Penutup: Saatnya Mengumpulkan Bekal
Wahai saudaraku, hari ini engkau masih hidup. Nafasmu
masih naik turun. Jantungmu masih berdetak. Tetapi itu tak akan selamanya.
Dunia ini ibarat pintu gerbang, bukan istana. Jangan habiskan waktumu untuk
membangun rumah di tempat yang akan hancur.
Sayyid Abdul Qadir al-Jailani mengajak kita untuk
bangkit:
"Wahai anak Adam, bangkitlah dari kelalaianmu!
Dunia bukan rumahmu, akhiratlah tempat tinggalmu. Siapkan bekalmu, karena
perjalananmu panjang, dan kau tak tahu kapan ajal akan menjemputmu."
Doa Renungan.
اللهم اجعلنا من
عبادك الذين يستعدون للقاءك، ولا تجعلنا من الغافلين عن آخرتهم. ارزقنا الإخلاص
والتقوى واليقين، وحققنا بحبك ورضاك يا أرحم الراحمين.
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk
hamba-hamba-Mu yang bersiap-siap untuk berjumpa dengan-Mu, dan jangan jadikan
kami termasuk orang yang lalai akan akhiratnya. Anugerahkan kami keikhlasan,
takwa, dan keyakinan. Sempurnakan kami dalam cinta dan rida-Mu, wahai Yang Maha
Pengasih."
Makna Hakiki dan Reflektif
1. “اللهم اجعلنا من عبادك الذين يستعدون للقاءك”
“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu
yang bersiap-siap untuk berjumpa dengan-Mu.”
Makna Hakiki:
Permohonan agar hidup kita selalu berada dalam
kesiapan menghadapi kematian dan hari perjumpaan dengan Allah (yaumul liqa’).
Ini mengandung kesadaran bahwa:
• Hidup ini bukan tujuan akhir.
• Setiap detik adalah kesempatan menabung amal.
• Kita bukan hanya menjalani hidup, tetapi sedang
menuju titik temu dengan Sang Pencipta.
Refleksi:
Orang yang sadar akan pertemuan ini akan hidup dengan
penuh tujuan, tidak sia-sia. Ia berhati-hati dalam langkah, menjaga lisan,
merawat hati, dan memperbanyak amal. Ia tidak takut mati, karena ia telah
bersiap.
2. “ولا تجعلنا من الغافلين عن آخرتهم”
“Dan jangan jadikan kami termasuk orang yang lalai
akan akhiratnya.”
Makna Hakiki:
Permohonan agar tidak terjatuh dalam kelalaian dunia
yang menyebabkan lupa terhadap hari akhir, hari di mana segala amal
diperhitungkan.
Refleksi:
Kelalaian adalah musuh rohani yang sangat halus. Kita
bisa tampak aktif secara lahiriah, tetapi hati mungkin lalai: lalai berzikir,
lalai bersyukur, lalai mengingat kematian. Doa ini menegaskan agar Allah
menjaga kita dari tipu daya dunia dan menjadikan akhirat sebagai orientasi
utama.
3. “ارزقنا الإخلاص والتقوى واليقين”
“Anugerahkanlah kepada kami keikhlasan, ketakwaan, dan
keyakinan.”
Makna Hakiki:
Ini adalah permohonan untuk tiga pilar besar rohani:
• Ikhlas: amal hanya untuk Allah, tanpa pamrih dunia.
• Takwa: menjaga diri dari murka Allah dengan taat dan
meninggalkan maksiat.
• Yakin: keyakinan penuh terhadap janji dan takdir
Allah tanpa keraguan.
Refleksi:
Tanpa keikhlasan, amal kita bisa menjadi kosong
nilainya. Tanpa takwa, kita mudah tergelincir. Tanpa keyakinan, kita rapuh di
hadapan ujian. Maka, doa ini adalah fondasi bagi kemurnian perjalanan rohani
seorang hamba.
4. “وحققنا بحبك ورضاك يا أرحم الراحمين”
“Sempurnakan kami dalam cinta dan rida-Mu, wahai Yang
Maha Pengasih.”
Makna Hakiki:
Puncak permohonan dalam doa ini: cinta Allah dan keridaan-Nya.
Karena rida Allah adalah tujuan akhir, dan cinta Allah adalah kekuatan rohani
paling agung yang bisa dimiliki seorang hamba.
Refleksi:
Orang yang mencintai Allah akan ringan meninggalkan
dunia. Ia merasa cukup dengan Allah, dan hanya mencari senyum-Nya. Hidupnya
tenang, hatinya bersih, dan jiwanya penuh harap untuk diterima di sisi-Nya.
Kesimpulan Renungan
Doa ini adalah cermin hati para arifin, hamba-hamba
Allah yang tidak sekadar ingin selamat, tapi ingin mulia di sisi-Nya. Ia
menyatukan:
• Kesadaran akan akhirat,
• Perlindungan dari kelalaian dunia,
• Permohonan untuk ikhlas, takwa, dan yakin,
• Dan pengharapan besar untuk cinta dan rida Allah.
Doa ini bukan hanya untuk diucapkan, tapi untuk
dijalani.
Siapa yang hidup dengan makna doa ini, ia tidak akan
pernah merugi—karena ia sedang berjalan menuju surga dalam keadaan sadar,
bersih, dan dicintai.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif,
M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual
dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo