Tintasiyasi.id.com -- 27 Mei 2025 lalu, Presiden Republik Prancis Emmanuel Marcon tiba di Indonesia bersama dengan istrinya Brigitte Macron pada selasa malam. Kedatangan Presiden Prancis ini disebut dengan kunjungan dalam rangka kerja sama antara Prancis dan Indonesia dalam hal sapi dan sawit.
Dikutip dari Metrotvnews bahwa kunjungan ini bukan hanya simbolik saja melainkan sebagai salah satu bentuk penguatan kerjasama. Sambutan yang diberikan juga tidak main-main. Presiden Republik Indonesia terlihat menyambut hangat kunjungan ini.
Sambutan hangat dan meriah atas kedatangan kepala negara Perancis, negara yang banyak membuat kebijakan islamophobia perlu menjadi perhatian. Namun dibalik itu semua ada hal yang Kaum muslimin tidak boleh lupa akan negara-negara yang membuat kebijakan yang memusuhi Islam dan umatnya.
Perancis adalah contoh negara yang sering membuat kebijakan yang menguatkan islamophobia, seperti pelarangan hijab, kasus kartun yg menghina Nabi saw, dan lain-lain.
Sikap yang tegas serta menunjukkan pembelaan atas kemuliaan agama seharusnya ditunjukkan oleh pemimpin negeri-negeri muslim, terlebih sebagai negara dengan umat Islam yang jumlahnya mayoritas.
Namun dalam sistem sekuler kapitalisme, di mana hubungan negara dilihat berdasarkan manfaat, maka abai atas sikap suatu negara terhadap Islam. Kehormatan agama serta kaum muslimin bukan lagi menjadi hal utama yg diprioritaskan oleh para pemimpin negeri.
Mereka dengan lapang dada menyambut dan menjalin hubungan dengan negara-negara yang notabennya memiliki latar yang buruk terhadap Islam. Tetapi karena asas sekuler kapitalisme ini menjadikan mereka buta dan tidak peduli akan hal tersebut, yang ada hanyalah mengejar manfaat dan keuntungan untuk segolongan mereka dan oligarki tentunya. Tidak seharusnya negara abai dalam memandang hal ini.
Islam memberikan tuntunan bagaimana bersikap terhadap orang yang memusuhi agama Allah. Apalagi jika banyak kebijakan yang menyengsarakan umat Islam.
Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur bagaimana seorang muslim bersikap terhadap non muslim atau orang kafir, tetapi Islam juga mengatur bagaimana negara atau kepala negara Islam harusnya bersikap terhadap negara kafir serta orang kafir.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani didalam kitab yang beliau tulis yakni Syakhshiyah Islamiyah jilid II diterangkan bahwa sikap negara muslim terhadap orang kafir:
Pertama, kafir harbi hakiki, yakni negara yang menunjukkan secara gamblang permusuhannya terhadap umat Islam, bahkan hingga melakukan penyerangan yaitu dengan cara mendakwahi mereka dengan Islam, apabila mereka menolak, atau hingga melakukan perlawanan dengan peperangan, maka tentu akan diperangi.
Kedua, kafir yang telah melakukan sebuah perjanjian atau disebut dengan istilah muahid dengan daulah Islam atau kafir musta’min maka tidak boleh disakiti, dianiaya, atau bahkan dibunuh. Allah Swt berfirman:
“Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya.” [QS At-Taubah: 4].
Ketiga, kafir dzimmi, mereka adalah warga negara Daulah Islam. Mereka akan dijamin agar kemudian mendapatkan haknya berupa perlindungan, serta penjagaan dari pemerintahan Islam. Hal ini seiring dengan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah.
Beliau bersabda; “Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekalipun.” [HR Ahmad].
Dalam Islam, negara-negara di dunia hanya dibagi dua, yakni Darul Islam (Negara Islam) dan Darul kufur (Negara Kafir). Islam juga sudah menentukan tuntunan bersikap terhadap negara kafir sesuai posisi negara tersebut terhadap Daulah Islam.
Tuntunan Islam ini seharusnya menjadi pedoman setiap muslim, terlebih penguasa. Apalagi di tengah penjajahan Palestina yang mendapat dukungan dari penguasa Barat Ada banyak contoh sikap tegas para khalifah atas negara penjajah dan kebijakannya yang menghina Islam.
Khalifah Abu Baqar As-Siddiq menghukum orang yang menghina Nabi Muhammad saw dengan hukuman mati sebagai balasan atas perilaku menghina agama. Ini gambaran bagaimana ketegasan yang harus dilakukan oleh para pemimpin muslim bukan malah bersulang ditengah gemerlap lampu pesta di istana.
Umat Islam seharusnya memiliki negara yang kuat dan berpengaruh dalam konstelasi hubungan negara-negara di dunia sebagaimana pernah diraih oleh Daulah islam dan kekhilafahan selanjutnya. Umat Islam harusnya menjadi ummat yang memegang kendali atas kekuasaan ummat itu sendiri.
Bukan malahan menjadi budak bagi para negeri-negeri kafir yang jelas-jelas telah mencoreng dan melukai kaum muslimin. Ini lah gambaran menyakitkan ketika umat muslim hari ini tidak menjadikan hukum Allah sebagai sumber hukum.
Bukan malah melanggengkan hukum buatan orang kafir.
Umat harus berjuang Kembali untuk mewujudlkan khilafah yang menjadi negara adidaya dan disegani negara-negara ini.
Perjuangan ini bukanlah perjuangan yang main-main yang bisa dicapai dengan leha. Bagaimana jawaban Rasulullah kepada bunda Aisyah ketika beliau diminta untuk beristirahat. "Tidak ada istirahat setelah wasilah ini datang".
Kata- kata ini menjadi motivasi bagi kita untuk senatiasa membara dalam memperjuangkan kembali Islam dan tidak lupa juga senantiasa meminta pertolongan Allalh dalam setiap langkah kaki perjuangan ini. "Hidup Mulia atau Mati Syahid".
Wallahu'alam bishshawwab.[]
Oleh: Kasmawati
(Aktivis Muslimah)