TintaSiyasi.id -- “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
— (QS. At-Tin: 4)
Pendahuluan: Bahagia Itu Kodrat, Bukan Kemewahan.
Dalam dunia yang serba cepat, banyak orang yang berpikir bahwa kebahagiaan harus dikejar, dicari, bahkan dibeli. Sebagian merasa harus sukses dulu, kaya dulu, terkenal dulu — baru boleh bahagia. Tapi benarkah seperti itu?
Jika kita merenungi secara mendalam, maka kebahagiaan bukanlah sesuatu yang jauh, langka, atau sulit. Bahagia adalah fitrah manusia. Ia sudah ada dalam jiwa setiap insan sejak diciptakan. Ia bukan hadiah dari dunia luar, tapi warisan ilahiah yang diberikan oleh Sang Pencipta sejak awal.
1. Manusia: Makhluk Mulia dengan Potensi Bahagia
Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an:
"Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim"
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)
Ayat ini bukan hanya bicara tentang bentuk fisik manusia yang sempurna. Tapi juga tentang jiwa, akal, dan fitrah ruhani manusia yang agung. Di dalam setiap jiwa manusia sudah ditanamkan:
• Kecenderungan kepada kebaikan (fitrah),
• Kekuatan untuk mencintai dan dicintai,
• Dan potensi untuk merasakan kebahagiaan sejati.
Maka, ketika manusia hidup dalam kesesuaian dengan fitrahnya — hidup lurus, jujur, bersyukur, dan ikhlas — maka kebahagiaan akan hadir secara alami, tanpa dipaksa.
2. Fitrah Bahagia: Bukti dari Jiwa yang Tenang
Bahagia bukan karena hal-hal luar seperti mobil mewah, pujian, atau popularitas. Kebahagiaan adalah resonansi batin — ketika hati terasa ringan, jiwa terasa damai, dan hidup terasa bermakna.
Allah berfirman:
"Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang."
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Artinya, ketenangan dan kebahagiaan adalah bagian dari ruh kita, dan akan muncul saat kita kembali ke poros ilahiah: mengingat Allah, menerima takdir, menjalani hidup dengan lapang dada.
3. Mengapa Banyak Orang Tak Bahagia?
Jika bahagia adalah fitrah, mengapa banyak yang hidup dalam kecemasan, kesedihan, dan kegelisahan?
Jawabannya: karena fitrah itu tertutup oleh kabut dunia:
• Luka masa lalu yang belum disembuhkan.
• Ambisi duniawi yang membutakan hati.
• Keinginan yang tak pernah usai.
• Iri hati dan perbandingan sosial yang tak sehat.
Seperti matahari yang selalu ada, tapi tak tampak saat tertutup awan — begitulah fitrah kebahagiaan. Ia tetap ada, tapi tidak terasa saat tertutup oleh dosa, kebencian, dan kealpaan dari Allah.
4. Bahagia adalah Jalan Pulang, Bukan Tujuan Akhir
Dalam konsep sufistik, kebahagiaan bukan tujuan, tapi buah dari perjalanan kembali kepada Allah. Bahagia bukan target, tapi hasil dari:
• Menyucikan hati,
• Menguatkan iman,
• Dan membebaskan diri dari keterikatan dunia.
Imam Al-Ghazali berkata,
“Kebahagiaan sejati adalah ketika hati bersatu dengan Tuhan-nya dan merasa cukup dengan-Nya.”
5. Prinsip-Prinsip Bahagia dalam Islam
Islam tidak menafikan dunia. Tapi Islam mengajarkan bahwa dunia bukan sumber bahagia. Berikut prinsip-prinsip bahagia dalam Islam:
Syukur atas yang ada
Setiap hari adalah anugerah. Setiap nafas adalah nikmat. Orang yang bersyukur akan merasa cukup, dan rasa cukup adalah awal dari bahagia.
Ikhlas menerima takdir
Ikhlas bukan berarti menyerah, tapi menerima dengan lapang dada. Orang yang ikhlas hatinya ringan dan bebas dari dendam.
Sederhana dalam keinginan
Semakin sedikit keinginan, semakin tenang hidup. Kesederhanaan adalah jalan cepat menuju bahagia.
Memberi, bukan hanya menerima
Kebahagiaan tumbuh ketika kita berbagi, membantu, dan mendoakan orang lain. Jiwa manusia dirancang untuk memberi, bukan hanya menuntut.
Dekat dengan Allah
Zikir, shalat, doa, dan membaca Al-Qur’an adalah sumber energi kebahagiaan ruhani. Ketika ruh kenyang, jiwa pun tenang.
6. Bahagia Itu Menular dan Menguatkan Umat
Orang yang bahagia secara fitrah:
• Lebih mudah memaafkan,
• Lebih sabar dalam ujian,
• Lebih ikhlas dalam beramal,
• Lebih ringan menginspirasi orang lain.
Kebahagiaan yang sejati bukan hanya untuk diri sendiri, tapi mengalir dalam keluarga, masyarakat, dan umat. Umat yang bahagia adalah umat yang sehat jiwanya, optimis hidupnya, dan kuat perjuangannya.
Penutup: Kembali ke Fitrah, Kembali ke Bahagia
Bahagia bukan di luar sana. Bahagia ada di dalam sini. Bahagia adalah fitrah ruhani, dan Allah-lah yang menanamkannya dalam jiwa setiap insan. Maka siapa pun kita, seburuk apapun masa lalu kita, selama kita mau kembali — maka Allah akan bukakan jalan bahagia itu.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah).”
— (QS. An-Nahl: 97)
Doa untuk Jiwa yang Rindu Bahagia
“Ya Allah… kembalikan kami pada fitrah-Mu. Bersihkan hati kami dari tamak, iri, dan keluh kesah. Jadikan kami hamba-hamba-Mu yang bahagia karena cukup, tenang karena yakin, dan damai karena dekat dengan-Mu…”
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)