×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Melayani Ilmu dan Ulama: Jalan Sunyi yang Mulia

Senin, 28 April 2025 | 10:52 WIB Last Updated 2025-04-28T03:52:32Z

TintaSiyasi.id -- Dalam dunia yang hiruk-pikuk dengan ambisi, kecepatan, dan pencapaian duniawi, melayani ilmu terdengar seperti sesuatu yang asing. Tapi bagi hati yang mencari cahaya, tak ada jalan yang lebih mulia selain menjadi pelayan ilmu dan pengamalnya.

“Layani ilmu dan para ulama pengamal ilmu, serta bersabarlah dalam menjalani hal itu.”

Kalimat ini bukan sekadar nasihat; ia adalah undangan untuk masuk ke jalan panjang yang hening, tapi penuh berkah. Sebab ilmu bukan hanya kumpulan kata-kata, bukan sekadar hafalan definisi atau gelar akademik. Ilmu—terutama ilmu yang membimbing hati menuju Allah—adalah nur, cahaya yang menerangi jalan hidup.

Dan cahaya itu tak sembarangan diturunkan. Ia hadir lewat perantara para ulama, orang-orang yang bukan hanya tahu, tapi juga hidup dalam apa yang mereka ketahui. Mereka tidak hanya fasih dalam lisan, tapi jujur dalam perbuatan. Ilmu mereka menyatu dengan amal, dan dari kedalaman itulah lahir hikmah yang mampu menggugah ruh.

Melayani ilmu berarti merendahkan ego.

Ia menuntut kerendahan hati, ketekunan, dan kesiapan untuk diuji. Ilmu sejati tidak mudah ditaklukkan oleh orang yang tergesa, atau oleh hati yang masih sibuk membanggakan diri. Justru, ilmu membuka diri kepada mereka yang sabar, yang bersedia duduk di kaki para guru, yang tak merasa lebih tahu, yang bersedia diam lebih banyak agar bisa benar-benar mendengar.

Melayani ulama pengamal ilmu berarti mencintai cahaya itu sendiri.
Mereka adalah pewaris para nabi. Dalam diri mereka, kita melihat secercah dari akhlak Rasulullah, walau tentu tak sempurna. Tapi keberadaan mereka adalah rahmat. Dengan mereka, ilmu tetap hidup; bukan hanya di lembaran kitab, tapi di dalam kehidupan.
Namun, jalan ini sunyi. Ia tak menjanjikan sorotan dunia. Kadang kita akan merasa lelah, tertinggal, atau bahkan tidak dianggap. Tapi sabarlah. Sabar dalam mencatat, dalam hadir di majelis, dalam menunggu waktu yang tepat untuk mengerti. Sabar dalam merasa “tidak tahu”—karena dari ketidaktahuan yang diakui dengan jujur, datanglah ilmu yang hakiki.

Allah berjanji meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Tapi sebelum ditinggikan, mereka diuji. Maka, bersabarlah. Karena sabar bukan beban, ia adalah pelindung hati. Dengan sabar, perjalananmu akan tetap lurus, walau kaki kadang gemetar.

Akhirnya, melayani ilmu bukan tentang menjadi siapa, tapi tentang menjadi hamba yang mengerti untuk apa ia hidup. Dan dalam khidmat itu, semoga Allah bukakan pintu-pintu pemahaman, keikhlasan, dan kedekatan dengan-Nya.

Jika engkau telah lebih dahulu bersabar melayani ilmu, ilmu tentu akan melayanimu dan bersabar melayanimu sebagaimana kesabaranmu melayaninya. Bila engkau bersabar melayani ilmu, niscaya engkau dianugerahi kepahaman hati dan cahaya batin.

Indah sekali ungkapan Al-Jailani —penuh nuansa hikmah dan kedalaman ruhani. Kalimat itu menyiratkan hubungan timbal balik antara seorang pencari ilmu dan ilmu itu sendiri: bahwa ilmu bukan sesuatu yang bisa dipaksa tunduk, tapi ia akan datang kepada siapa yang bersungguh-sungguh dan bersabar dalam mendekatinya.
Berikut pengembangan reflektif yang lebih panjang dari kalimatmu:

Kesabaran dalam Melayani Ilmu: Gerbang Menuju Cahaya Batin
"Jika engkau telah lebih dahulu bersabar melayani ilmu, ilmu tentu akan melayanimu dan bersabar melayanimu, sebagaimana kesabaranmu melayaninya. Bila engkau bersabar melayani ilmu, niscaya engkau dianugerahi kepahaman hati dan cahaya batin."
Ilmu bukanlah benda mati yang dapat diperebutkan atau dimiliki dengan paksa. Ia laksana tamu agung yang hanya akan singgah di rumah jiwa yang memuliakannya. Dan tamu agung ini tidak tergesa-gesa datang. Ia menunggu kesiapan jiwa, kebersihan niat, dan kesabaran dalam pelayanan.

Kesabaran adalah pintu awal perjumpaan dengan ilmu.
Bukan sabar pasif, melainkan sabar yang aktif: sabar dalam duduk di majelis-majelisnya, sabar dalam mencatat, mengulang, dan merenung. Sabar dalam kebingungan saat makna belum hadir sepenuhnya. Sabar juga dalam perjalanan yang panjang, di mana hasil dari pengembaraan ilmu kadang baru tampak setelah waktu yang panjang.

Jika engkau bersabar dalam melayani ilmu—mendekatinya dengan rendah hati, menjaga adabnya, mencintai para pewarisnya—maka ilmu itu sendiri akan berbalik melayanimu. Ia akan membuka pintu-pintunya yang tersembunyi, menyinari kalbumu dengan pemahaman, dan menyelimuti hatimu dengan ketenangan. Sebab ilmu yang diberkahi bukan hanya menambah wawasan, tapi menghidupkan hati.

Ilmu akan bersabar melayanimu, sebab ia tahu engkau telah sabar mendatanginya. Ia tidak mencemooh kekurangpahamanmu, tidak menertawakan keterbatasan akalmu. Sebaliknya, ia akan sabar menjelaskan, sabar menuntun, sabar membuka lapis demi lapis makna, hingga engkau pun tumbuh dari ketidaktahuan menuju cahaya pemahaman.

Dan di sanalah anugerah itu hadir: kepahaman hati dan cahaya batin. Bukan semata-mata kepandaian, tapi pemahaman yang lahir dari kedalaman ruhani. Bukan sekadar logika, tapi basirah—mata hati yang mampu melihat kebenaran bahkan di balik tirai-tirai dunia.

Mereka yang diberi kepahaman hati, akan tenang meski dunia gaduh. Mereka yang bercahaya batinnya, akan menemukan arah meski di tengah gelapnya zaman. Semua itu bermula dari satu hal: kesabaran dalam melayani ilmu.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo) 

Opini

×
Berita Terbaru Update